Kamis, 16 Juli 2015

[Cerpen Stripping] Infal #6





Episode sebelumnya : Infal #5


* * *


Retno yang sore itu sedang menyemprot koleksi anggreknya menoleh ketika mendengar pintu kecil pagar rumahnya terbuka dan tertutup. Ia tersenyum lebar melihat siapa yang datang.

“Hai, Mbak!” sapanya.

“Jeng Retno, iki piye kok bisa-bisanya calon mantuku mbabu di tempatnya Bu Wondo?”

Retno terbengong sejenak. Wanda Respati menghempaskan tubuhnya di bangku besi tak jauh dari tempat Retno berdiri. Retno meletakkan semprotannya ke atas meja.

“Memangnya Mbak Wanda nggak tahu?” Retno menanggapi dengan sabar.

Wanda Respati menggeleng.

“Ronan nggak cerita?”

Wanda Respati kembali menggeleng. “Tapi Gaby tahu.”

“Lha, terus Mbak tahunya dari mana? Gaby?”

“Tadi ketemu di hipermarket. Sasya sama Bu Wondo. Lha kok Sasya nyamar jadi Wati? Infalan yang kerja di Bu Wondo. Kaget aku! Tak’kira Sasya ikut ke Belgia to, beberapa hari nggak kelihatan. Lha kok ketemu-ketemu, malah mbabu to?”

Retno terkekeh karenanya. Apalagi melihat wajah Wanda Respati yang terlihat takjub.

“Mbak Wanda kok kayak nggak kenal Sasya saja?” ucapnya. “Sasya kan ajaib anaknya.”

“Lha iya, kuwi piye ceritane?

Retno kemudian membeberkan kronologi bagaimana Sasya bisa terdampar di rumah Rini Suwondo. Ekspresi Wanda Respati berganti-ganti. Takjub, tak percaya, geli, melongo, dan entah apa lagi.

* * *

Hari-hari lebaran berlalu begitu saja bagi keluarga Suwondo yang memang tak merayakannya. Tak terasa sudah sepuluh hari hampir berlalu sejak Wati pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah ini. Pada malam terakhir itu Wati sudah siap mengepak semua bajunya, siap untuk pergi besok sore.

Entah apes atau apa bagi Wati, Diana muncul keesokan harinya, di hari terakhir ia bekerja. Masih dengan judes yang sama. Masih dengan celaan di sana-sini. Tapi Wati tak mengacuhkannya. Sore nanti Retno akan menjemputnya. Dan setelah itu ia bebas merdeka.

Menjelang jam empat sore, Rini Suwondo memanggil Wati. Yang dipanggil kemudian duduk dengan takzim di sebuah sofa tunggal di ruang keluarga. Di tangan Rini Suwondo tergenggam amplop putih.

“Hari ini kamu sudah selesai kerja di sini,” ucap Rini Suwondo, agak berat. “Aku terima kasih sekali sudah dibantu selama Suni nggak ada. Kerjamu bagus, masakanmu enak. Beruntung sekali majikanmu. Kalau sudah nggak betah di majikanmu, kamu ke sini saja ya? Aku terima dengan senang hati.”

Wati mengangguk sambil tertawa dalam hati.

“Ini gajimu,” Rini Suwondo menyodorkan amplop yang sedari tadi dipegangnya. “Sesuai perjanjian, ongkos menyeterika urusanmu sama yang punya laundry ya?”

Wati kembali mengangguk sambil menerima amplop itu.

“Terima kasih, Bu. Maafkan semua salah saya selama ada di sini.”

“Ya, sama-sama. Sudah, kamu siap-siap dulu.”

Wati mengangguk untuk kesekian kalinya.

* * *

Rini Suwondo menunggu kedatangan Retno di teras depan. Suwondo dan Diana juga ada di situ. Suwondo asyik dengan tablet di tangannya, sementara Diana tenggelam dalam layar BB yang dipegangnya.

Menjelang jam lima sore, sebuah mobil berhenti di depan pagar. Rini Suwondo mengerutkan keningnya karena mobil itu bukan mobil yang biasa dipakai Retno. Lain halnya dengan Diana. Gadis itu mendadak gelagapan sampai hampir jatuh dari kursinya.

“Ma, itu boss,” bisiknya panik.

Boss?” Rini Suwondo menatap Diana, tak mengerti.

Sebelum menyadari apa yang terjadi, Wati sudah muncul.

“Tamu, Bu? Mau dibukakan pintunya?”

“Sudah! Aku saja!” tukas Diana.

Tanpa menunggu jawaban siapa pun, Diana segera melesat ke pintu pagar. Dengan wajah manis ia membuka pintu pagar selebar-lebarnya. Jendela mobil tamu itu turun pelan-pelan.

“Sore, Pak Ronan,” sapa Diana semanis gula-gula.

“Lho, kok kamu di sini?” ucap laki-laki muda di belakang kemudi.

“Ini rumah saya,” jawab Diana, tetap manis. “Rumah ortu saya sih...”

“Oh...,” laki-laki itu manggut-manggut. “Tapi bener Sarasvati kerja di sini?”

“Sarasvati?” Diana mengerutkan keningnya.

“Wati,” terdengar suara lain dari dalam mobil. Suara perempuan. “Infalnya Bu Wondo namanya Wati.”

“Oh...,” Diana manyun sesaat, seakan alerginya kambuh mendengar nama Wati disebut-sebut. “Silakan masuk, Pak, Bu.”

Laki-laki itu melajukan mobilnya, masuk ke carport. Rini Suwondo yang akhirnya menyadari siapa yang datang menyambutnya dengan wajah sumringah.

“Jeng Wanda... Apa kabar?”

“Baik...,” Wanda Respati menyambut cipika-cipiki Rini Suwondo begitu ia turun dari mobil.

“Kok nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini. Jadi nggak disiapin apa-apa nih!”

“Hahaha... Nggak apa-apa, Jeng. Saya sudah kangen sama calon mantu, makanya ke sini.”

“Calon mantu?” wajah Rini Suwondo tampak ceria berbunga-bunga. “Kok Diana nggak bilang yaaa?”

Diana? Wanda Respati mengerutkan kening. Ditolehnya si perjaka yang mengekor di belakangnya.

“Sasya apa Diana to?” gumamnya galak.

“Lho, ya Sasya, Ma... Nggak ada yang lain,” gerutu si perjaka.

Wanda Respati kembali tersenyum manis sambil menatap Rini Suwondo. “Saya sebetulnya mau menjemput Wati. Dimintain tolong Jeng Retno. Kan sudah habis kontrak to, di sini? Jeng Retno ada tamu, jadi nggak bisa ke sini.”

“Oh...,” wajah Rini Suwondo tampak ragu-ragu. Ia menoleh ke arah Diana. “Panggil Wati.”

Diana segera beranjak dari teras depan. Dan sosok yang dicarinya tengah membenahi tas pakaiannya di dalam kamar. Siap untuk pergi.

“Bongkar lagi tasmu,” ucap Diana dingin.

Wati menatapnya tak mengerti.

“Aku nggak mau kamu nyolong sesuatu dari rumah ini. Bongkar lagi tasmu!”

Wati berdiri. Ia menatap Diana yang tingginya hanya setelinganya. Dengan sorot mata tajam ditentangnya mata Diana. Diam-diam Diana merasa gentar karenanya.

“Belajarlah untuk bersikap baik pada semua orang, Mbak Diana” ucap Wati sejelas-jelasnya. “Saya hanya berniat membantu di sini, bukan buat nyolong apa pun. Saya tahu susahnya cari ART infal karena mama saya pernah mengalaminya. Dan satu hal lagi, Mas Ronan menyukai gadis yang bersikap manis luar-dalam. Asli. Bukan cuma sekadar topeng. Permisi.”

Wati meraih tas dan melangkah mantap keluar dari kamar. Dilewatinya Diana yang masih tertegun. Ia kemudian melenggang ke teras.

“Sudah?” Rini Suwondo menatap Wati begitu gadis itu muncul.

Wati tersenyum sambil mengangguk. Tak perlu waktu lebih lama lagi untuk berpamitan. Dan Rini Suwondo pun terpaksa melepasnya pergi.

* * *

Epilog


Suni kembali ke dapur setelah menutup pintu pagar. Di tangannya ada sebuah kotak cukup besar yang baru saja dikirimkan oleh seorang kurir. Di depan dapur ia berpapasan dengan Rini Suwondo.

“Ada kiriman, Bu,” ucap Suni.

“Apa? Dari siapa?”

“Nggak tahu. Kata yang bawa tadi kiriman dari restoran apa gitu.”

Rini Suwondo kemudian membaca kartu kecil yang ada di bungkus luar kotak. EuropeSky.

EuropeSky? Jaringan resto mahal nan eksklusif itu? Nggak salah?

“Bener buat kita?” Rini Suwondo memastikan lagi.

Suni mengangguk, “Bener kok, Bu.”

Rini Suwondo pun segera menyuruh Suni untuk membukanya. Bau sedap segera menyerbu hidungnya. Ada lima kotak yang lebih kecil di dalam kotak besar itu. Sebuah kertas tertempel di atas tutup kotak teratas. Rini Suwondo membacanya.


Terima kasih banyak atas kebaikan Keluarga Suwondo memperlakukan putri kami, Sarasvati Voorhoof (Sasya/Wati), selama bekerja sebagai ART infal. Bersama ini kami kembalikan seutuhnya gaji yang telah diterima Sasya, mohon disalurkan kepada pihak yang lebih membutuhkan.

Ttd.
Fritz dan Yuliani Voorhoof
EuropeSky


Rini Suwondo terbengong menatap lima porsi Chicken Cordon Bleu kiriman dari EuropeSky, beserta sebuah amplop putih tebal yang tiga hari lalu diberikannya pada Wati.

Wati? Babu indo itu? Sarasvati Voorhoof? Fritz Voorhoof? Pemilik EuropeSky? Jeng Retno! Jeng Retno!

Rini Suwondo segera meraih ponselnya dengan panik untuk menghubungi Retno.

* * * * *

T.A.M.A.T


Thanks to Patricia Saraswati


Prekuel kisah ini dapat diklik di  sini.



8 komentar:

  1. Cuma satu penulis yang bisa bikin saya ketwa, terhibur tanpa membuat orang kesel. Ya mbak Lis.... I love this story. Love the author and the inspirator also.... Makasih mbak lizzzzzzz....

    BalasHapus
  2. Sayang wati dah ada yang punyaaaaa... Coba kalau anaknya yang pulang bujang yang cowok... Hahahahahaha ngayal....

    BalasHapus
  3. junooo...
    carikan mama mantu yg seperti wati.
    separo bule, pinter di sekolah, pinter masak, pinter cari duit, gak bisa nyetrika juga gak papa...

    inget ya...
    SEPERTI W-A-T-I

    #emaksetresgaadaART

    BalasHapus
  4. Keren ceritanya. Tadi kira'in Reinald akan jatuh cinta kepada Wati :)

    BalasHapus
  5. Mbak Lis..sory..baru sempet ngikutin..kok...tiba-tiba ilang fb mbak Lis...

    BalasHapus
  6. gak cuma sekali lho baca ini... udah lama ngikutin m.lizz, njuk ngilang.. baru ketemu lagi belum lama.. buka2 lagi ... ketemu babu infal ini... masih ngakak juga... top banget mbak lizz..

    BalasHapus