Senin, 29 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #21





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #20


* * *


Anna berdiri diam di balik vitrase jendela kamarnya di lantai dua, tepat di atas pet shop. Dia tercenung ketika melihat sebuah mobil yang dikenalnya betul meluncur masuk ke lahan parkir di seberang jalan. Matanya terus mengikuti hingga mobil itu berhenti di sebuah sudut.

Debar di dadanya terasa meliar ketika dilihatnya sosok itu keluar dari dalam mobil dan melangkah yakin menuju ke ruko tempat Adita membuka usaha. Pelan Anna meletakkan kedua telapak tangannya di dada. Seolah mencoba untuk menenangkan jantungnya.

Seandainya...

Pikirannya mulai ikut meliar bersama debar-debar yang tak kunjung berhenti. Tangannya mulai mengepal seiring dengan menghilangnya sosok itu ke dalam warung Adita.

Kenapa kamu tidak sedikit pun menoleh ke arahku? Kenapa tidak pernah? Sedikiiit saja...

Dan kepalan itu menghantam lemah kusen jendela.

Ketika dia menatap wajah pucat Rafael beberapa minggu yang lalu, ketika Steve mengajaknya ke rumah pada suatu sore di hari Selasa, ada yang terasa nyeri di hatinya. Ingin dia berlama-lama mengobrol, bertukar kabar, berbagi cerita dengan Rafael yang tengah menekuni laptopnya di sudut teras belakang, tapi Steve sudah menariknya pergi.

“Dia nggak mau diganggu kalau lagi sibuk begitu,” bisik Steve.

“Tapi kan dia lagi sakit?” Anna balas berbisik.

“Obatnya ya tetap bekerja walaupun resminya cuti.”

Anna menatap di kedalaman mata Steve. Tak ditemukannya sinar main-main di sana.

“Kalau dia lelah dia akan berhenti. Istirahat,” bisik Steve lagi. “Kalau dia masih juga bandel, Mama akan turun tangan.”

Maka dia pun membiarkan Steve membawanya menjauh dari Rafael.

Dan selamanya akan tetap jauh...

Anna menutup tirai jendelanya pelan-pelan. Masih ada yang terasa berdenyar di sekujur tubuhnya. Denyar yang menyakitkan.

Dan entah sampai kapan aku akan tetap merindukanmu...

Ditinggalkannya jendela ketika mendengar pintu diketuk dari luar.

“Mbak...,” terdengar suara Mbok. “Ada Mas Steve tuh!”

Dihelanya napas panjang sebelum keluar. Setidaknya dia masih punya seseorang untuk ditatap. Seseorang yang wajahnya begitu mirip dengan orang yang kini tengah berada di seberang jalan.

* * *

Wajah tampan itu terlihat segar. Anna mengerutkan keningnya. Seperti ada yang berubah... Sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. Kacamatanya... Dan model rambutnya...

“Hai!”

Anna mengembangkan senyumnya menyambut sapaan itu.

“Baru dari barber shop ya?” Anna menunjuk kepala Steve.

Steve tertawa sambil mengelus rambutnya. “Cakep nggak?”

Anna tertawa juga. “Kacamatanya ganti juga.”

“Iya,” Steve nyengir. “Pas gendong salah satu kucing Mama, cakarnya menyambar kacamataku. Jatuh, pecah. Jadi sekalian saja ganti frame.”

“Mau minum apa?” Anna hendak beranjak pergi.

“Eh, nggak usah,” Steve buru-buru mencegahnya. “Aku mau ajak kamu jalan.”

“Ke mana?”

“Ke mana saja,” Steve tersenyum lebar. “Asal bersamamu.”

“Gombal banget,” Anna mengibaskan tangannya dengan bibir mengulas senyum lebar. “Ya sudah, aku ganti baju dulu.”

“Pakai celana, pakai jaket.”

Walau tak mengerti kenapa harus ada dress code seperti itu, tapi Anna menurutinya juga. Dan dia baru mengerti setelah berada di luar bersama Steve. Kali ini laki-laki itu tidak membawa mobilnya, melainkan sebuah motor sport 600 cc. Beberapa saat kemudian Anna sudah duduk manis di belakang Steve.

Diam-diam Anna tersenyum. Semuanya tentang Steve sungguh susah untuk diduga. Juga tempat di mana Steve membawanya menjelang malam yang cerah itu. Hanya ke taman kota tak jauh dari rumah Anna.

Di sebuah bangku taman mereka duduk berdampingan. Berbagi sebungkus kacang rebus. Menikmati sari tebu dalam gelas kertas. Mencuil arum manis bergantian dari gulungannya yang cukup besar. Meniup-niup kuah bakso panas di dalam mangkok.

Dan hati Steve sungguh tergetar hebat melihat pendar cahaya di wajah Anna setiap kali gadis itu tersenyum dan tertawa. Membuatnya ingin meletakkan gadis itu ke dalam kotak kaca dan memajangnya di sebuah tempat yang membuatnya bisa menatapnya setiap saat. Dia menggeleng pelan menyadari bahwa pikiran melanturnya itu tak akan pernah bisa terjadi.

Anna menatap punggung Steve ketika laki-laki itu mengembalikan mangkok bakso ke gerobak penjualnya. Dan dia terperangkap dalam tatapan Steve ketika tiba-tiba saja laki-laki itu menoleh.

“Mau jagung rebus?”

Anna menggeleng.

“Jagung bakar?”

Anna menggeleng lagi. “Aku sudah kenyang.”

“Tapi aku masih lapar,” Steve memegang perutnya dengan wajah memelas.

“Astaga...,” Anna tertawa sambil melihat ke arlojinya. Sudah hampir jam setengah sepuluh malam.

“Warung Adita masih buka nggak ya? Biasanya tutup jam berapa?”

Anna berdehem sebelum menjawab, “Sampai jam 12 juga masih buka. Apalagi weekend begini.”

“Lanjut ke sana yuk!”

Dan Anna sama sekali tak menemukan alasan untuk menolak kendati jantungnya kembali berdebar kencang.

Ke sana? Ada kemungkinan bertemu denganNYA?

Anna menelan ludah sambil bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Steve.

* * *

“Hai!” Rafael mencoba tersenyum ketika Adita muncul di teras belakang ruko.

Adita melangkah ragu mendekatinya. Beberapa detik kemudian gadis itu sudah duduk di seberangnya, berbatasan meja. Ditatapnya Adita.

“Kok kamu kurusan?”

Adita tercengang. “Masak sih?”

Rafael mengangguk. Adita menatapnya.

“Mas juga tuh...”

“Masak sih?” Rafael menirukan nada suara Adita ketika mengucapkan kalimat yang sama.

Adita tertawa mendengarnya. Ada yang terasa hangat dalam hati Rafael ketika mendengar tawa itu. Dia pun mengulas senyum di bibirnya.

“Mas sudah makan?”

“Nih...,” Rafael menyorongkan piring kecilnya yang sudah kosong.

“Itu kan cuma cemilan,” Adita menggelengkan kepalanya. “Aku lapar, belum makan. Ke depot di pojokan situ yuk!”

Tanpa menjawab, Rafael pun bangkit dari duduknya.

“Sudah hampir jam delapan kok belum makan, Dit?” ucap Rafael sambil berjalan ke luar ruko.

“Iya, aku ketiduran tadi.”

“Hm... Iya, kamu tadi pulas banget. Jadi nggak tega mau bangunin.”

“Hehehe...,” Adita tersipu. “Untung aku tidurnya tanpa ngiler.”

“Melek atau merem, kamu tetap manis banget kok.”

Ucapan Rafael terdengar begitu serius di telinga Adita. Membuatnya segan untuk bercanda lagi.

Masih tersisa beberapa bangku kosong di depot chinese food yang mereka tuju. Adita tetap terlihat asyik melihat-lihat lembaran menu walaupun mereka sudah melakukan pemesanan. Hanya saja beberapa saat kemudian dia merasa terusik. Ketika dia mengangkat wajah, tatapan Rafael seketika menguncinya. Dia mengerjapkan mata.

“Aku yang berlebihan, atau memang kamu sekarang lebih pendiam?”

Adita tercekat mendengar suara lirih Rafael. Dia benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Ingin dia membahas kontrak yang sudah pernah mereka tanda tangani bersama, tapi dia tak tahu harus mulai dari mana. Pelan dia mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Apakah kamu juga memikirkan hal yang sama denganku?”

Seketika Adita kembali menatap Rafael. “Soal apa?”

“Mm...,” Rafael terlihat ragu-ragu. “Kontrak kita...”

Sebuah tusukan yang menyisakan rasa nyeri tiba-tiba muncul di hati Adita. Dia kembali menghindari tatapan Rafael. Tapi sesaat kemudian dia mencoba untuk memberikan jawabannya.

“Aku hanya berusaha untuk menjalankan isi kontrak secara benar walaupun kapan berakhirnya tidak tercantum,” gumam Adita. “Tapi melihat perkembangan keadaan yang ada sekarang, kelihatannya memang sudah mendekati akhir. So...,” Adita mengangkat bahu.

Rafael menghela napas panjang. Terasa berat. Apalagi ketika matanya menatap senyum Adita yang terlihat begitu dipaksakan.

“Oh ya, sore tadi Tante ke sini,” lanjut Adita, lirih.

“Tante siapa?” Rafael mengerutkan kening.

“Tante Lea,” Adita merogoh kantong celananya. Sebuah ponsel kemudian tergenggam di tangannya. Dia merogoh saku celananya yang sebelah lagi. Ditariknya sebuah handsfree. Setelah memasang handsfree itu pada ponsel dan menyentuh layarnya, Adita mengulurkannya pada Rafael.

“Aku tadi merekamnya. Pembicaraan kami.”

Rafael mengambil alih ponsel itu. Beberapa detik kemudian dia sudah asyik merenungi semua yang terdengar di telinganya. Ketika rekaman itu berakhir, pelan Rafael melepaskan earphone dari telinganya. Dia kemudian mengembalikan ponsel itu pada Adita.

Lalu keduanya tenggelam dalam hening. Asyik bermain dengan pikirannya masing-masing. Dia mengangkat wajah ketika Adita berucap lirih.

“Perasaan Tante sangat peka, Mas... Aku nggak bisa membohongi beliau lebih lanjut.”

Rafael menghela napas panjang. Dia kemudian mengulurkan tangannya. Adita menatapnya sambil mengerutkan kening. Tapi ketika dilihatnya uluran tangan itu mengajaknya berjabat, maka dia pun menyambutnya. Rafael menggenggam tangan itu dengan hangat.

“Dengan ini kontrak kita selesai. Senang bekerja sama denganmu,” ucap Rafael cepat dalam satu kali tarikan napas.

Seketika ada sebongkah besar serpihan hati yang terasa hilang dari dalam diri Adita.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #22


7 komentar:

  1. Hik hik hik,masih nunggu hari kamis

    BalasHapus
  2. sippoooo mak, nunggu again :))))

    BalasHapus
  3. Kape komen kok cek angele yo mba? Aq nguprek blog e pean durung mari dino iki

    BalasHapus
  4. Berharap Rafael menyatakan cinta.... wah... indahnya. Hehehehehehe... tapi ngga bisa ya?

    BalasHapus
  5. aku pengen bakmie cap cay...
    aku pengen makaroni schotel...
    aku pengen puding...
    aku pengen jus jeruk...

    tapi gak bisa karena gigiku masih cenut2...

    akankah perasaan rafael dan adista seperti gigiku dan semua makanan itu...
    pengen tapi gak bisa ???

    BalasHapus