Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #16
* * *
Entah
pesona apa yang dimiliki oleh Steve, begitu saja Anna sudah terjebak di
dalamnya. Dan itu adalah tentang Steve. Bukan lagi Rafael. Ataukah dia
membayangkan sosok Rafael dalam diri Steve? Anna berusaha untuk mengingkari
kemungkinan itu.
Steve
selalu membawanya dalam keceriaan yang nyaris tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Menyeretnya larut dalam sensasi dan petualangan yang baru. Membuat
setiap harinya jadi lebih berwarna.
Apakah ini yang dinamakan
cinta?
Anna
terpaksa menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Sungguh, dia tak bisa menjawabnya.
Yang jelas dia perlahan tenggelam dalam tatapan mata Steve yang penuh cinta.
Tapi
terkadang dia masih juga mengintip dari balik jendela pet shop-nya di akhir minggu. Dengan tatapan tepat menuju ke
seberang jalan. Berharap hasrat liarnya terpenuhi. Untuk sekedar sekilas
menatap sosok Rafael. Yang kadang muncul, kadang juga tidak. Yang walaupun
muncul tak pernah sekali pun menengok ke arahnya. Sekilas sekali pun.
Anna
menggigit bibirnya. Rafael... Betapa
sosok laki-laki yang begitu tenang itu telah menemukan tambatan hatinya. Sedikit
banyak dia mulai mengenal Rafael dari banyak cerita Steve. Dan makin mengenal
Rafael membuat Anna merasa makin tak adil pada Steve.
Itu
yang membuatnya menerima Steve menjadi kekasihnya. Tanpa paksaan dari Steve.
Dia sendiri yang memaksa diri. Berusaha sekuat tenaga membunuh perasaan yang
tumbuh liar dan tak terkendali terhadap seorang Rafael.
* * *
Semakin
dihindari, perasaan gelisah itu makin sering muncul sepanjang hari ini. Tatapan
Adita tampak kosong walaupun tepat mengarah pada layar laptopnya. Kejadian
kemarin sore masih saja berputar di dalam benaknya. Ketika Anna mengungkapkan
sesuatu dengan wajah malu-malu.
“Mbak, aku sudah jadian sama
Mas Steve.”
Adita
tak tahu harus bersorak gembira ataukah merasa sedih. Seharusnya dia gembira
mendengar berita itu. Tapi diam-diam ada sesuatu yang lain merayapi hatinya.
Hubungannya
dengan Rafael akan segera selesai. Kenapa seolah ada suatu perasaan berat
seperti ketika tahu akan kehilangan sesuatu yang berharga? Adita menggigit bibirnya.
Dia
hanya mengangkat wajah dengan lesu ketika salah seorang karyawannya mengatakan
ada Rafael di luar. Sedang menunggunya. Mau tak mau dia bangkit dan turun ke
lantai bawah.
Dari
ujung tangga dia melemparkan tatapannya menembus partisi one way. Sosok itu dilihatnya seudah duduk di sudut sambil
mempermainkan gadget di tangannya.
Masih mengenakan pantalon dan kemeja yang lengan panjangnya tergulung sampai ke
bawah siku.
Pelan
dihelanya napas panjang. Berkali-kali. Menyiapkan hatinya untuk menikmati detik-detik
terakhirnya bersama Rafael.
* * *
“Hai!”
Rafael
mengangkat wajahnya. Adita sudah ada di depannya, menarik kursi, untuk kemudian
duduk dengan posisi berseberangan dipisahkan oleh meja.
“Apa
kabar?” Rafael mengulas senyum.
“Baik,”
Adita membalas senyum itu.
Rafael
mengerutkan keningnya. Bukan gesture yang
biasa, pikirnya. Biasanya dia jauh
lebih ceria dari ini...
“Kamu
sakit?”
Adita
menggelengkan kepalanya.
“Langsung
dari Bogor?” Adita kemudian mengalihkan pembicaraan.
“Ya,”
Rafael mengangguk.
Tepat
saat itu muncul salah seorang karyawan membawakan pesanan Rafael. Seporsi schotel makaroni yang masih mengepulkan
asap, sebuah puding coklat, segelas es teh lemon, dan segelas air putih.
“Mbak
Dita mau minum dan makan apa?”
“Apa
sajalah, terserah,” sekilas Adita menatap karyawannya itu.
Kembali
Rafael mengerutkan keningnya sambil meneguk air putih. Ditatapnya Adita yang
tertunduk.
“Dit...
Kamu sakit ya?”
Adita
mengangkat wajahnya. Ditatapnya Rafael sejenak sebelum menjawab, “Nggak sih... Cuma
PMS.”
“Oh...”
“Makan
dulu, Mas, mumpung masih hangat.”
Rafael
mengangguk sambil meraih piring berisi schotel.
Menikmatinya sambil sesekali menatap Adita yang tampak sibuk mengedarkan
tatapan ke seluruh penjuru ruangan, sementara karyawannya datang membawa
segelas teh hangat dan ketan susu. Seolah memastikan bahwa kondisi di situ
baik-baik saja.
Ada apa sebenarnya, Dit?
“Mas...”
Tiba-tiba
saja tatapan Adita jatuh ke arahnya. Membuat gerakan Rafael terhenti seketika.
“Ya?”
gumamnya.
“Sebaiknya
Mas mulai memikirkan untuk kembali pada Mbak Mega itu.”
Rafael
sempat tertegun mendengar kalimat itu. Sejenak kemudian ia meletakkan sendoknya
dan menatap Adita. Dalam.
“Kenapa?”
“Ya...,”
Adita meneguk teh hangatnya. “Kalau masih cinta, kenapa tidak?”
“Hm...,”
Rafael menyandarkan punggungnya.
Adita
masih menatapnya. Menunggu jawaban.
“Kalau
sudah nggak cinta lagi?” seulas senyum terbit di wajah teduh Rafael. “Dia sudah
punya keluarga, Dit.”
“Oh...,”
bibir Adita membundar tanpa suara.
“Umur
anaknya sudah hampir dua tahun,” lanjut Rafael. “Dan cinta itu sudah lama
padam.”
“Kalau
sudah padam, kenapa Mas nggak cari cinta yang lain?”
“Dan
membuat semuanya terulang lagi dan jarak Steve denganku makin lebar?” Rafael
menggeleng pelan. “Hampir saja terjadi lagi, Dit...”
Adita
menghela napas panjang. Ya, tentu saja dia masih ingat betul kenapa dia bisa
ada di tempat ini sekarang, bagaimana dia bertemu Rafael, dan tiba-tiba saja
terjebak dalam situasi yang setidaknya terasa rumit dalam benak dan hatinya.
“Oh
ya, aku mau mengajakmu jalan sore ini. Tapi kalau kamu nggak enak badan, nggak
apa-apa ditunda dulu.”
“Hm...,”
Adita mengerutkan kening. “Tadinya aku berencana pulang cepat sore ini. Mandi,
terus tidur. Tapi kalau Mas Rafa ada keperluan penting, ya nggak apa-apa
kutemani.”
“Oh...
Ya sudah, kamu istirahat saja, Dit,” Rafael menepuk lembut jemari Adita. “Nggak
terlalu penting kok. Besok juga bisa kalau kamu sudah mendingan.”
“Memangnya
mau ke mana?”
“Nonton
Jazz Night Festival. Besok masih ada kok.”
Adita
menatap Rafael. Berusaha menemukan kekecewaan dalam wajah itu. Tapi nihil. Yang
ada hanya tatapan bening dan wajah yang bersih ‘tanpa dosa’.
“Besok
saja ya?”
“Iya...,”
Rafael tertawa kecil. “Ayo, kuantar pulang biar kamu cepat istirahat.”
Adita
mengangguk.
* * *
Watini
membuka pintu garasi lebar-lebar. Rafael mengerutkan kening ketika melihat
garasi itu kosong. Dibukanya kaca jendela.
“Mama
pergi, Yu?” tanyanya sambil melajukan mobil pelan-pelan.
“Ibu
ke klinik, Mas. Kucingnya ada yang sakit.”
“Oh...
Sama Pak Mun?”
Watini
mengangguk. Sejenak kemudian ditutupnya kembali pintu garasi.
“Mas
Rafa nggak pergi lagi?”
Rafael
menggeleng sambil menutup pintu mobilnya. Dia kemudian melenggang masuk.
“Mau
makan sekarang, Mas?” Tunik melongokkan kepalanya dari dapur.
“Nanti,
Yu,” Rafael meneruskan langkahnya ke kamar.
Hal
yang diinginkannya sekarang cuma dua : mandi, kemudian merebahkan diri di atas
kasur.
* * *
“Mbak Anna sama Mas Steve
sudah jadian tuh!”
Rafael
menghela napas panjang sambil meringkuk di bawah selimut. Terngiang di
telinganya ucapan Adita ketika dia mengantarkan gadis itu pulang sore tadi.
Lalu apa? Mendadak ‘putus’?
“Sssh...”
Rafael
mendesis ketika nyeri itu terasa menghantam lagi ulu hatinya, diikuti rasa
pening di kepala.
Ketika aku sudah mulai
terbiasa dengan kehadiran Adita, lantas semua itu akan hilang begitu saja?
Pelan
Rafael menggelengkan kepala. Tak rela. Getar itu memang tak ada. Setidaknya,
dia belum menemukannya dalam hati.
Tapi kenapa aku nyaman
sekali berada di sampingnya?
Rafael
memejamkan mata ketika rasa nyeri itu menetap dan tak mau pergi. Bahkan
sekarang ditambah dengan rasa mual dan mulas melilit. Meskipun tak
mengharapkannya, tapi dia sudah mengira bahwa cepat atau lambat hal ini akan
terjadi juga. Sudah beberapa hari ini makannya tidak teratur. Waktu dan
tenaganya seolah diforsir untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang dia menerima
akibatnya.
“Raf,
kamu belum makan?”
Pintu
terbuka.
Aduh... jangan sekarang! Rafael
mengerang dalam hati.
“Raf?”
“Maag-ku kambuh, Ma...,” bisiknya kemudian.
“Astagaaa!”
Lea buru-buru menghampiri Rafael.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #18
(Mohon
maaf kepada semua Pembaca. Khusus minggu ini RRU tayang hari Rabu
dan Sabtu.
Minggu depan dan seterusnya, jadwalnya akan kembali seperti semula, yaitu tayang
pada hari Senin dan Kamis. Terima kasih atas perhatian Pembaca
semuanya...)
Akhirnya hadir juga...hehehe. Senin dan Selasa bolak balik ke sini, ee baru ada hari ini.....Met Siang Mb Lizz, terima kasih tulisannya muantap....
BalasHapusMohon maaf, Mbak Mirna... Tayangan minggu lalu kacau jadwalnya karena sempet tepar. Makasih atensinya ya...
HapusLanjut bu, ceritanya seru
BalasHapusMakasih singgahnya, Bu Fabina...
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur...
Hapus