Rabu, 17 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #17





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #16



* * *


Entah pesona apa yang dimiliki oleh Steve, begitu saja Anna sudah terjebak di dalamnya. Dan itu adalah tentang Steve. Bukan lagi Rafael. Ataukah dia membayangkan sosok Rafael dalam diri Steve? Anna berusaha untuk mengingkari kemungkinan itu.

Steve selalu membawanya dalam keceriaan yang nyaris tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menyeretnya larut dalam sensasi dan petualangan yang baru. Membuat setiap harinya jadi lebih berwarna.

Apakah ini yang dinamakan cinta?

Anna terpaksa menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Sungguh, dia tak bisa menjawabnya. Yang jelas dia perlahan tenggelam dalam tatapan mata Steve yang penuh cinta.

Tapi terkadang dia masih juga mengintip dari balik jendela pet shop-nya di akhir minggu. Dengan tatapan tepat menuju ke seberang jalan. Berharap hasrat liarnya terpenuhi. Untuk sekedar sekilas menatap sosok Rafael. Yang kadang muncul, kadang juga tidak. Yang walaupun muncul tak pernah sekali pun menengok ke arahnya. Sekilas sekali pun.

Anna menggigit bibirnya. Rafael... Betapa sosok laki-laki yang begitu tenang itu telah menemukan tambatan hatinya. Sedikit banyak dia mulai mengenal Rafael dari banyak cerita Steve. Dan makin mengenal Rafael membuat Anna merasa makin tak adil pada Steve.

Itu yang membuatnya menerima Steve menjadi kekasihnya. Tanpa paksaan dari Steve. Dia sendiri yang memaksa diri. Berusaha sekuat tenaga membunuh perasaan yang tumbuh liar dan tak terkendali terhadap seorang Rafael.

* * *

Semakin dihindari, perasaan gelisah itu makin sering muncul sepanjang hari ini. Tatapan Adita tampak kosong walaupun tepat mengarah pada layar laptopnya. Kejadian kemarin sore masih saja berputar di dalam benaknya. Ketika Anna mengungkapkan sesuatu dengan wajah malu-malu.

“Mbak, aku sudah jadian sama Mas Steve.”

Adita tak tahu harus bersorak gembira ataukah merasa sedih. Seharusnya dia gembira mendengar berita itu. Tapi diam-diam ada sesuatu yang lain merayapi hatinya.

Hubungannya dengan Rafael akan segera selesai. Kenapa seolah ada suatu perasaan berat seperti ketika tahu akan kehilangan sesuatu yang berharga? Adita menggigit bibirnya.

Dia hanya mengangkat wajah dengan lesu ketika salah seorang karyawannya mengatakan ada Rafael di luar. Sedang menunggunya. Mau tak mau dia bangkit dan turun ke lantai bawah.

Dari ujung tangga dia melemparkan tatapannya menembus partisi one way. Sosok itu dilihatnya seudah duduk di sudut sambil mempermainkan gadget di tangannya. Masih mengenakan pantalon dan kemeja yang lengan panjangnya tergulung sampai ke bawah siku.

Pelan dihelanya napas panjang. Berkali-kali. Menyiapkan hatinya untuk menikmati detik-detik terakhirnya bersama Rafael.

* * *

“Hai!”

Rafael mengangkat wajahnya. Adita sudah ada di depannya, menarik kursi, untuk kemudian duduk dengan posisi berseberangan dipisahkan oleh meja.

“Apa kabar?” Rafael mengulas senyum.

“Baik,” Adita membalas senyum itu.

Rafael mengerutkan keningnya. Bukan gesture yang biasa, pikirnya. Biasanya dia jauh lebih ceria dari ini...

“Kamu sakit?”

Adita menggelengkan kepalanya.

“Langsung dari Bogor?” Adita kemudian mengalihkan pembicaraan.

“Ya,” Rafael mengangguk.

Tepat saat itu muncul salah seorang karyawan membawakan pesanan Rafael. Seporsi schotel makaroni yang masih mengepulkan asap, sebuah puding coklat, segelas es teh lemon, dan segelas air putih.

“Mbak Dita mau minum dan makan apa?”

“Apa sajalah, terserah,” sekilas Adita menatap karyawannya itu.

Kembali Rafael mengerutkan keningnya sambil meneguk air putih. Ditatapnya Adita yang tertunduk.

“Dit... Kamu sakit ya?”

Adita mengangkat wajahnya. Ditatapnya Rafael sejenak sebelum menjawab, “Nggak sih... Cuma PMS.”

“Oh...”

“Makan dulu, Mas, mumpung masih hangat.”

Rafael mengangguk sambil meraih piring berisi schotel. Menikmatinya sambil sesekali menatap Adita yang tampak sibuk mengedarkan tatapan ke seluruh penjuru ruangan, sementara karyawannya datang membawa segelas teh hangat dan ketan susu. Seolah memastikan bahwa kondisi di situ baik-baik saja.

Ada apa sebenarnya, Dit?

“Mas...”

Tiba-tiba saja tatapan Adita jatuh ke arahnya. Membuat gerakan Rafael terhenti seketika.

“Ya?” gumamnya.

“Sebaiknya Mas mulai memikirkan untuk kembali pada Mbak Mega itu.”

Rafael sempat tertegun mendengar kalimat itu. Sejenak kemudian ia meletakkan sendoknya dan menatap Adita. Dalam.

“Kenapa?”

“Ya...,” Adita meneguk teh hangatnya. “Kalau masih cinta, kenapa tidak?”

“Hm...,” Rafael menyandarkan punggungnya.

Adita masih menatapnya. Menunggu jawaban.

“Kalau sudah nggak cinta lagi?” seulas senyum terbit di wajah teduh Rafael. “Dia sudah punya keluarga, Dit.”

“Oh...,” bibir Adita membundar tanpa suara.

“Umur anaknya sudah hampir dua tahun,” lanjut Rafael. “Dan cinta itu sudah lama padam.”

“Kalau sudah padam, kenapa Mas nggak cari cinta yang lain?”

“Dan membuat semuanya terulang lagi dan jarak Steve denganku makin lebar?” Rafael menggeleng pelan. “Hampir saja terjadi lagi, Dit...”

Adita menghela napas panjang. Ya, tentu saja dia masih ingat betul kenapa dia bisa ada di tempat ini sekarang, bagaimana dia bertemu Rafael, dan tiba-tiba saja terjebak dalam situasi yang setidaknya terasa rumit dalam benak dan hatinya.

“Oh ya, aku mau mengajakmu jalan sore ini. Tapi kalau kamu nggak enak badan, nggak apa-apa ditunda dulu.”

“Hm...,” Adita mengerutkan kening. “Tadinya aku berencana pulang cepat sore ini. Mandi, terus tidur. Tapi kalau Mas Rafa ada keperluan penting, ya nggak apa-apa kutemani.”

“Oh... Ya sudah, kamu istirahat saja, Dit,” Rafael menepuk lembut jemari Adita. “Nggak terlalu penting kok. Besok juga bisa kalau kamu sudah mendingan.”

“Memangnya mau ke mana?”

“Nonton Jazz Night Festival. Besok masih ada kok.”

Adita menatap Rafael. Berusaha menemukan kekecewaan dalam wajah itu. Tapi nihil. Yang ada hanya tatapan bening dan wajah yang bersih ‘tanpa dosa’.

“Besok saja ya?”

“Iya...,” Rafael tertawa kecil. “Ayo, kuantar pulang biar kamu cepat istirahat.”

Adita mengangguk.

* * *

Watini membuka pintu garasi lebar-lebar. Rafael mengerutkan kening ketika melihat garasi itu kosong. Dibukanya kaca jendela.

“Mama pergi, Yu?” tanyanya sambil melajukan mobil pelan-pelan.

“Ibu ke klinik, Mas. Kucingnya ada yang sakit.”

“Oh... Sama Pak Mun?”

Watini mengangguk. Sejenak kemudian ditutupnya kembali pintu garasi.

“Mas Rafa nggak pergi lagi?”

Rafael menggeleng sambil menutup pintu mobilnya. Dia kemudian melenggang masuk.

“Mau makan sekarang, Mas?” Tunik melongokkan kepalanya dari dapur.

“Nanti, Yu,” Rafael meneruskan langkahnya ke kamar.

Hal yang diinginkannya sekarang cuma dua : mandi, kemudian merebahkan diri di atas kasur.

* * *

“Mbak Anna sama Mas Steve sudah jadian tuh!”

Rafael menghela napas panjang sambil meringkuk di bawah selimut. Terngiang di telinganya ucapan Adita ketika dia mengantarkan gadis itu pulang sore tadi.

Lalu apa? Mendadak ‘putus’?

“Sssh...”

Rafael mendesis ketika nyeri itu terasa menghantam lagi ulu hatinya, diikuti rasa pening di kepala.

Ketika aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Adita, lantas semua itu akan hilang begitu saja?

Pelan Rafael menggelengkan kepala. Tak rela. Getar itu memang tak ada. Setidaknya, dia belum menemukannya dalam hati.

Tapi kenapa aku nyaman sekali berada di sampingnya?

Rafael memejamkan mata ketika rasa nyeri itu menetap dan tak mau pergi. Bahkan sekarang ditambah dengan rasa mual dan mulas melilit. Meskipun tak mengharapkannya, tapi dia sudah mengira bahwa cepat atau lambat hal ini akan terjadi juga. Sudah beberapa hari ini makannya tidak teratur. Waktu dan tenaganya seolah diforsir untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang dia menerima akibatnya.

“Raf, kamu belum makan?”

Pintu terbuka.

Aduh... jangan sekarang! Rafael mengerang dalam hati.

“Raf?”

Maag-ku kambuh, Ma...,” bisiknya kemudian.

“Astagaaa!” Lea buru-buru menghampiri Rafael.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #18

(Mohon maaf kepada semua Pembaca. Khusus minggu ini RRU tayang hari Rabu dan Sabtu. Minggu depan dan seterusnya, jadwalnya akan kembali seperti semula, yaitu tayang pada hari Senin dan Kamis. Terima kasih atas perhatian Pembaca semuanya...)





6 komentar:

  1. Akhirnya hadir juga...hehehe. Senin dan Selasa bolak balik ke sini, ee baru ada hari ini.....Met Siang Mb Lizz, terima kasih tulisannya muantap....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf, Mbak Mirna... Tayangan minggu lalu kacau jadwalnya karena sempet tepar. Makasih atensinya ya...

      Hapus