Sabtu, 20 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #18





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #17



* * *


Steve tak jadi membuka lebar-lebar pintu garasi. Tampaknya malam ini dia harus cukup puas memarkir mobilnya di carport. Di dalam garasi sudah ada mobil Rafael, berdampingan dengan mobil mamanya. Nyaris tanpa suara, dia kemudian menutup dan menggembok pintu pagar.

Hening menyergap ketika dia masuk ke dalam rumah. Jarum jam dinding di ruang tengah hampir berhimpitan di angka 12. Dia menoleh ketika hendak membuka pintu kamarnya dan mendengar pintu kamar sebelah terbuka dari dalam.

“Baru pulang?”

“Lho, Mama belum tidur?”

Keduanya berucap bersamaan. Steve kemudian mengangguk, sedangkan Lea menggeleng. Steve mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar. Dia mengekor Lea yang berjalan ke dapur.

“Tumben ngobrol di dalam?” Steve mengarahkan wajahnya sekilas ke arah kamar Rafael.

“Rafa sakit,” Lea menuang air putih ke dalam sebuah gelas. “Maag-nya kambuh.”

“Oh...,” Steve termangu sejenak.

“Anna bagaimana?”

“Baik,” senyum Steve. “Dia kirim salam buat Mama.”

Lea mengangguk sambil tersenyum samar. Keletihan tampak menggantung di wajahnya. Steve menepuk lembut bahu Lea.

“Mama istirahat saja,” ucapnya halus. “Biar aku tidur di kamar Rafa.”

Tanpa berpikir panjang, Lea menyetujuinya. Sejujurnya dia memang sudah cukup kelelahan menjalani kegiatannya sepanjang hari tadi.

* * *

Dalam temaram cahaya lampu kamar, Steve menatap Rafael yang berbaring meringkuk di bawah selimut di atas tempat tidur. Dihelanya napas panjang.

Sudah berapa lama sejak aku sering mengganggunya dengan mengungsi ke kamar ini?

Steve mengerjapkan mata. Kamar Rafael selalu dirasanya lebih nyaman daripada kamarnya. Tentu saja! Dengan segalanya yang selalu lebih bersih dan teratur lebih rapi, siapa saja pasti akan betah berada di dalamnya. Pelan dia membaringkan tubuh di samping Rafael.

Bahkan posisi tidurnya pun manis, Steve tersenyum dalam hati ketika mendapati sisi kasur yang ditempatinya masih terasa cukup longgar.

Dia pun mulai memejamkan mata.

“Kamu ngapain di sini?”

Seketika mata Steve terbuka kembali. Dia menoleh dan mendapati Rafael tengah menatapnya. Walaupun terlihat sayu, tapi masih ada sisa sorot tajam dalam mata Rafael. Tanpa sadar Steve bangun terduduk.

“Kamu ini... Sudah sakit masih juga bawel!” Steve menggerutu dengan suara rendah. “Sudah merem saja! Atau ngomong terus terang kalau butuh apa-apa.”

Pelan Rafael bangun dan berbalik, menurunkan kaki dari tempat tidur. Ketika akan berdiri, dia terduduk kembali sambil mendesis.

“Kamu mau ngapain?”

Dengan sekali loncat dari sisi seberang tempat tidur, Steve sudah berjongkok di depan Rafael yang masih terduduk sambil memegang ulu hatinya. Sebersit rasa khawatir muncul di hatinya ketika melihat wajah Rafael seperti menahan sakit.

“Aku mau ke kamar mandi,” jawab Rafael kemudian, setengah menggumam.

Tanpa banyak kata Steve kemudian meraih bahu Rafael sambil membantu saudara kembarnya itu berdiri. Dengan hati-hati Steve menopang tubuh Rafael. Sampai di depan kamar mandi Steve menghentikan langkahnya. Ditatapnya Rafael.

“Kamu kuat? Atau mau kutemani sampai ke dalam?”

“Memangnya aku sejompo itu?” gerutu Rafael sambil melanjutkan langkahnya masuk ke kamar mandi, kemudian menutup pintunya rapat-rapat.

Steve menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tak ada pilihan lain kecuali harus bersabar menunggu hingga Rafael menuntaskan keperluannya di kamar mandi. Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Rafael terlihat agak limbung ketika melangkah keluar. Dengan sigap Steve menangkap Rafael.

“Apa salahnya sih, minta bantuan?” untuk kesekian kalinya Steve menggerutu.

Rafael diam saja. Terlalu letih untuk berdebat dengan Steve lewat tengah malam begini. Sejenak sebelum kembali berbaring, tangannya meraih gelas di atas meja, tapi Steve sudah mendahuluinya.

“Kamu mau air putih hangat?”

Rafael mengangguk.

“Sudah, kamu rebahan dulu. Kuambilkan sebentar.”

Rafael berbaring kembali ketika Steve menghilang keluar dari kamar. Masih tersisa rasa tak percaya di hatinya. Steve? Dihelanya napas panjang sambil memejamkan mata.

Mungkin sebenarnya memang tidak seburuk itu hubungannya dengan Steve. Seandainya rasa sayang sudah habis ditindas sikap saling menjauh, setidaknya masih ada sisa-sisa rasa peduli. Dan sesungguhnya ada sebersit kerinduan menyeruak ke dalam hati Rafael. Tentang sebuah kedekatan yang dulu pernah dinikmatinya bersama Steve. Kedekatan yang kemudian menguap begitu saja.

Ah...

Dia membuka matanya lagi ketika tiba-tiba saja sebuah tangan menyelip di belakang bahunya. Berusaha membantunya bangun. Steve sudah kembali dengan segelas air putih hangat. Sama sekali tanpa suara.

“Kamu mau obat lagi?”

Rafael menggeleng sambil berbaring kembali setelah minum. Dia meringkuk lagi ketika dirasanya perih masih terasa di ulu hatinya. Steve pun berbaring diam di sebelah Rafael. Ketika dia hendak memejamkan mata, suara lirih itu menembus telinganya, “Makasih, Steve...”

Sebuah keharuan mendadak terasa mendesak di dadanya. Membuatnya hanya bisa berucap nyaris tanpa suara, “Ya, sama-sama...”

* * *

Ada yang terasa hangat di hati Lea ketika matanya menangkap sesuatu yang indah itu. Steve dan Rafael tampak terlelap bersisian. Sebuah pemandangan yang entah sudah berapa tahun tak pernah lagi dilhatnya.

Tanpa suara dia kemudian membuka tirai jendela. Perlahan suasana temaram itu berganti menjadi terangnya pagi hari. Steve merasa terusik. Pelan dia membuka mata. Perlu beberapa detik hingga dia menyadari ada di mana dia sekarang. Ketika dia menoleh ke sisi kirinya, dilihatnya Rafael masih tertidur dengan posisi sama seperti semalam. Meringkuk menghadap ke arahnya.

“Pulas dia semalam?” bisik Lea.

Steve menggeleng sambil menguap.

“Sempat bangun, ke kamar mandi,” Steve pelan-pelan bangkit. “Terus minum. Kutawari obat nggak mau. Kelihatannya masih kesakitan.”

“Ya sudah, biar dia istirahat dulu.”

“Aku mandi dulu, Ma,” Steve mencium sekilas pipi Lea.

“Sekalian saja lanjut sarapan.”

Steve mengangguk.

Sepeninggal Steve, Lea meraba kening Rafael. Terasa hangat. Usapan lembut itu mengusik Rafael. Beberapa detik kemudian dia membuka mata. Terlihat kuyu. Membuat hati Lea terasa perih.

“Pagi, Ma...,” bisik Rafael.

“Pagi...,” Lea berusaha tersenyum. “Masih sakit?”

“Nggak terlalu sih... Cuma masih nggak enak saja rasanya. Perih, kembung, mual.”

“Itu tandanya kamu memang harus istirahat,” Lea duduk di tepi tempat tidur. “Kerja boleh rajin, harus malahan..., tapi tetap harus ingat kesehatan. Ingat makan teratur. Ingat istirahat.”

Rafael memejamkan matanya lagi. Mom is always right. Tapi menyesali kebodohannya mengabaikan hal-hal penting itu rasanya juga percuma. Sudah terlambat. Sudah terlanjur dia harus terkapar seperti ini.

* * *

“Kamu mau pergi sama Anna hari ini?”

Steve menghentikan suapan nasi gorengnya. Ditatapnya Lea sambil menggeleng.

“Memangnya kenapa, Ma?” dia malah balik bertanya.

Lea duduk di kursi di sebelah Steve.

“Mama sudah terlanjur janji mau ikut bakti sosial,” Lea menopang pelipis kirinya. “Tapi Mama nggak tega tinggalin Rafa.”

“Kan ada aku,” Steve melanjutkan acara sarapannya. “Aku nggak ada rencana keluar kok. Lagian Anna mau pergi sama Bang Jemmy. Mama pergi saja. Kalau cuma jagain Rafa saja aku masih sanggup. Toh nggak harus gendong dia ke sana-sini, ngedotin, ganti pampers.”

Lea tertawa melihat cengiran jahil Steve. Dielusnya lengan kekar Steve.

“Jangan sampai dia telat makan. Kalau dia tidur, bangunkan saja.”

“Siap, Ma!”

“Ya sudah, Mama siap-siap dulu ya?”

Steve mengacungkan jempolnya.

* * *

Keheningan itu menyergap lagi begitu Steve masuk ke kamar Rafael. Dikihatnya Rafael memejamkan mata, tapi perasaannya mengatakan bahwa saudara kembarnya itu tidak sedang tidur. Pelan dia duduk di tepi tempat tidur. Rafael pun membuka matanya.

“Mama sudah berangkat?”

Steve mengangguk.

Rafael memejamkan matanya lagi.

“Mau kupanggilkan Adita?”

“Buat apa?” Rafael balik bertanya, tanpa membuka mata.

“Ya siapa tahu kamu ingin ditemani Adita?”

“Nggak usah. Dia juga lagi butuh istirahat.”

Steve pindah duduk ke sofa, tak jauh dari tempat tidur Rafael. Diambilnya remote televisi di meja pendek di depannya. Tapi diurungkannya memencet tombol on ketika didengarnya celetukan Rafael, “Gambarnya buram. Kayaknya kabel antenanya putus kena angin kencang beberapa minggu lalu.”

“Nggak suruh Pak Mun benerin?” Steve meletakkan kembali remote televisi itu.

“Ngerjain orang tua...,” gerutu Rafael.

“Ya sudah, aku betulkan dulu,” Steve bangkit dari duduknya.

“Nggak usah repot-repot,” gumam Rafael.

Steve menjawabnya dengan keluar dari kamar itu. Tak sampai setengah jam kemudian dia sudah kembali dengan nampan berisi makan siang Rafael.

“Bangun, woi!” serunya.

Rafael membuka mata. Pelan-pelan dia bangun. Kepalanya masih terasa pening. Diminumnya sebutir obat. Steve meletakkan nampan di meja depan sofa. Dia kemudian duduk sambil meraih remote televisi lagi.

“Nah, beres kan?” ucapnya ceria ketika televisi di kamar Rafael itu menampakkan gambar yang begitu bersih.

Mau tak mau Rafael tersenyum melihatnya. Dia kemudian pindah ke sofa. Dibukanya tutup nampan. Seporsi nasi tim ayam tampak sudah menunggu untuk disantap. Tapi Rafael menutup lagi nampan itu.

“Lho, nggak jadi?” Steve mengerutkan kening. “Makanlah dulu...”

“Iya, sebentar. Biar obatku bekerja dulu. Kamu ini ternyata sama bawelnya dengan Mama.”

“Lho, kalau kamu kenapa-kenapa selama Mama pergi, aku juga yang repot. Jadi tersangka nomor satu,” gerutu Steve.

Rafael tersenyum mendengarnya.

Lalu keduanya tenggelam dalam diam. Sama-sama menatap layar televisi. Seharusnya ada banyak kata yang terucap. Tapi entah kenapa lidah keduanya terasa kelu. Kaku. Terbelenggu sikap saling menjauh yang sudah terlalu lama dipelihara.

Rafael menghela napas panjang ketika dirasanya dadanya menyesak dalam keheningan itu. Ingin rasanya kembali seperti dulu. Ketika mereka berdua begitu dekat. Tapi dia tak tahu harus mulai dari mana. Sudah terlalu banyak hal yang terlewatkan begitu saja.

Sejujurnya Steve pun mengalami hal yang sama. Hanya melihat televisi dengan tatapan kosong. Dengan pikiran mengembara entah kemana. Ketika didengarnya helaan napas Rafael, dia menoleh.

“Kamu kalau belum kuat bangun rebahan saja,” celetuknya. “Aku juga pernah kena maag, jadi tahu rasanya.”

Tapi jawaban Rafael yang diungkapkannya dengan gumaman lirih sungguh jauh di luar topik, “Kapan terakhir kita ngobrol enak bareng?”

Steve tercenung mendengar gumaman itu. Kemudian keduanya saling menatap. Lama.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #19


6 komentar:

  1. Sweet story mbak lizz, jadi ngademin sambil nunggu buka puasa...he..he..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih singgahnya ya, Mbak Ita... Selamat menjalankan ibadah puasa...

      Hapus
  2. Ikannya udah sekalian aku kasih maem ya tan hahahaa :D

    BalasHapus