Kamis, 11 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #16





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #15



* * *



Rafael menjabat uluran tangan Mega dengan tenang. Berusaha tenang. Diulasnya senyum.

“Baik. Kamu sendiri?”

Mega mengangguk, “Baik juga.”

“Oh ya, kenalkan,” Rafael melepaskan genggaman tangannya, kemudian menggamit lengan Adita, “ini Adita.”

Adita dan Mega berjabat tangan. Saling mengucapkan nama.

“Sama siapa ke sini?” Rafael menatap Mega.

“Sendiri.”

“Oh...”

Adita beringsut menyisih dari pertemuan tak terduga itu. Sedikit banyak dia tahu siapa Mega. Rafael sudah pernah menyebutnya. Dan ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ekspresi Rafael, dia merasa tak lagi sanggup melihatnya lebih lama.

Ada luka yang mendadak tergambar begitu dalam di mata Rafael. Adita sungguh tahu kenapa. Tanpa Rafael menyatakannya pun dia sudah memahami seberapa besar cinta yang pernah dimiliki Rafael pada Mega.

Dan perempuan itu...

Adita mendesah dalam hati.

“Mau ke mana?”

Adita tersentak. Dia berbalik dan mendapati Rafael tengah menatapnya.

“Ambil es buah.”

Melihat Rafael tak mencegahnya. Adita pun melanjutkan langkah. Begitu mencapai meja es buah yang hanya berjarak dua meter dari tempat Rafael dan Mega berhadapan muka, Adita mendengar suara lain yang menyeruak begitu saja.

“Whoaaa... Reuni...”

Adita memutari meja supaya bisa melihat apa yang terjadi di belakangnya. Sambil mengulurkan tangan menjangkau segelas es buah, mata Adita menangkap sekilas apa yang baru saja ditinggalkannya.

Steve yang menggandeng Anna sudah ada di sana bersama Rafael dan Mega. Entah ada pembicaraan apa, Adita tak terlalu bisa mengikuti. Beberapa detik kemudian Anna melihatnya. Gadis itu segera melepaskan diri dari Steve dan menghampiri Adita.

“Siapa?” bisiknya begitu berada di dekat Adita.

“Ambillah es buah dulu,” Adita balas berbisik.

“Oh iya...,” Anna menjangkau gelas es buah terdekat.

Keduanya lalu menjauh, merapat ke arah dinding.

“Siapa?” ulang Anna.

“Mantannya Mas Rafa,” jawab Adita, pendek.

“Hah?” Anna membulatkan matanya.

Adita menatap Anna. Heran. “Memangnya Mas Steve nggak pernah cerita?”

Anna menggeleng. “Apa yang harus diceritakan? Mbak Dita kan tahu bagaimana sebenarnya hubunganku dengan Steve? Jadi, bagaimana ceritanya?”

Ada tatapan menuntut dalam mata Anna. Membuat Adita bimbang, harus menceritakannya atau tidak. Maka ia menghela napas panjang sebelum menjawab.

“Mereka kan dulu berantem hebat gara-gara perempuan itu,” bisik Adita kemudian. “Mega namanya. Mas Steve nggak terima Mega lebih pilih Mas Rafa.”

“Terus?”

“Ya akhirnya bubaran. Nggak nyaman juga kan, menjalin hubungan dalam kondisi seperti itu...”

“Oh...”

Anna menatap ketiga orang yang masih bercakap di seberang sana. Dari tempatnya berdiri jelas terlihat bahwa Steve memonopoli pembicaraan itu. Terlihat tak memberi kesempatan pada Rafael dan Mega untuk bertukar cerita.

“Kok Mbak malah pergi?”

Adita tercenung mendengar bisikan Anna itu. Sejenak kemudian ditatapnya Anna.

“Aku nggak mau ganggu, Mbak,” senyumnya.

Anna tercekat.

Ada berapa persen perempuan di dunia ini yang membiarkan kekasihnya bernostalgia dengan mantannya?

Perlahan Anna menggelengkan kepalanya. Pada saat itu tatapannya bertemu dengan tatapan Rafael. Dan dia merasa seolah ada aliran listrik berlarian di sekujur tubuhnya.

* * *

Ada banyak kata yang tak terungkapkan. Rafael hanya bisa sesekali menatap Mega. Membiarkan Steve bercerita tentang ini dan itu. Mega pun terlihat hanya menanggapi Steve sekenanya. Tapi seolah Steve tak merasa. Dia tetap asyik berceloteh membahas masa lalu.

Perlahan sisa rasa nyeri itu muncul walau Rafael berusaha untuk menindasnya. Apalagi dia tahu status Mega sekarang yang sudah jadi seorang ibu dari seorang batita. Terlihat bahagia juga dengan pernikahannya. Terlihat tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan hidup Mega.

Rafael menarik napas panjang pelan-pelan. Berusaha untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Dicarinya Adita dengan matanya. Ditemukannya gadis itu tengah bersama Anna. Menikmati es buah di seberang sana.

Dia sungguh berharap Adita melabuhkan tatapan sejenak padanya. Sehingga dia bisa mengirimkan sinyal agar Adita datang mendekat dan menyelamatkannya keluar dari ‘reuni’ itu. Tapi Adita tak sedikit pun menengok ke arahnya.

Yang dia peroleh kemudian justru tatapan Anna. Sejenak Rafael tenggelam di dalamnya. Dengan berbagai tingkatan debar memenuhi dadanya.

“Aku nggak bisa lama-lama di sini.”

Rafael tersentak mendengar suara Mega. Dia mengalihkan tatapannya.

“Anakku belum bisa kutinggal lama-lama walaupun ada papanya,” senyum Mega. “Aku pamit dulu ya?”

Setelah berjabat tangan, Mega kemudian melenggang pergi. Steve dan Rafael sama-sama menatapnya.

“Hm... Hot mama...,” bisiknya nakal.

“Habis kamu kalau sampai Anna dengar ucapanmu,” ucap Rafael tandas sambil berlalu. Membuat Steve terbungkam seketika.

* * *

Aku senang kamu sudah move on.

Rafael merebahkan diri di kasur dengan mata tetap menekuni layar ponsel.

Dan kelihatannya pilihanmu selalu sama. Gadis baik-baik. Hanya saja rasanya aneh melihat betapa seleramu dan Steve bisa tak sama lagi kali ini.

Dihelanya napas panjang sambil menatap langit-langit kamar. Diletakkannya ponsel itu di atas perutnya.

Seandainya kamu tahu ceritanya, Me..., gumam Rafael dalam hati. Dipejamkannya mata. Lalu bergantian tiga wajah itu muncul dalam benaknya. Mega, Anna, Adita.

“Kenapa sih Mama selalu bandingkan aku dengan Rafa?!”

Rafael tersentak kaget mendengar suara Steve dari balik pintu kamarnya. Cukup jelas terdengar di malam yang hening begini.

“Mama nggak bandingkan kamu dengan Rafa,” terdengar suara mamanya. “Mama hanya ingin kamu memperlakukan Anna dengan lebih baik. Nggak menyamakan dia dengan semua gadis nggak keruan yang pernah kamu pacari!”

Hening sejenak.

“Dengar, Steve, nggak ada salahnya mencontoh hal-hal baik yang dilakukan orang lain. Termasuk bagaimana harus memperlakukan gadis baik-baik seperti Anna. Bagaimana membuatnya nyaman bersamamu. Seperti Rafa memperlakukan Adita.”

“Oh... Mama masih mengawasi kami seperti mengawasi anak TK?”

“Mama nggak mengawasi kalian! Nggak perlu diawasi juga sudah jelas kelihatan bagaimana nggak nyamannya Anna selama berada di pesta tadi. Lain betul dengan Adita. Semuanya karena kamu terlalu pamer keberadaanmu dengan Anna pada semua kerabat.”

“Itu karena aku bangga padanya, Ma. Aku nggak mau menyembunyikan keberadaannya. Begitu caraku memperlakukan kekasihku.”

“Walaupun itu membuat kekasihmu sendiri nggak nyaman?” suara Lea terdengar meninggi. “Kalau kamu mau disebut dewasa, kurangi sedikit sifat egoismu, Steve. Pahami keinginan orang yang kamu kasihi. Bukan malah menuruti kemauan dirimu sendiri!”

Tak ada lagi jawaban yang terdengar. Rafael menghela napas panjang. Rasanya menjengkelkan sekali mendengar untuk kesekian kali namanya dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang dia sendiri merasa tak terlibat. Tapi dia juga tak bisa menyalahkan mamanya. Apalagi dia memahami bahwa maksud mamanya menegur Steve adalah benar.

Entahlah... Rasanya makin ruwet saja hidupku belakangan ini!

Rafael memutuskan untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan seluruh benaknya yang mulai terasa letih.

* * *


Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #17



10 komentar:

  1. Penasarannnnnnnnnnnnnn..... Selamat pagi bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Met pagi. Mbak MM... Selamat beraktivitas, makasih mampirnya...

      Hapus
  2. Hari Senin berarti besok pagi kan?#macakdogol

    Yo wis.....kapanpun hari senin tiba.....tak enteni. Lanjuuutttt!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru bales, MBak... Senin wis wingi lho... *macakdogolpindho*
      Nuwus mampire yo...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih atensinya ya, Pak... Selamat pagi dan selamat berkarya...

      Hapus
  4. Wah, makin penasaran nunggu lanjutannya

    BalasHapus