Senin, 22 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #19





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #18



* * *



“Aku heran kali ini seleramu lain dari biasanya.”

“Selera apa?”

“Selera terhadap cewek.”

“Lain bagaimana?”

“Biasanya kan kita suka cewek yang sama.”

“Oh... Orang kan boleh berubah, Steve...”

“Hm...”

Lea membatalkan langkahnya keluar ke teras belakang. Dia memutuskan untuk membiarkan pembicaraan itu terus berjalan lagi setelah sekian tahun lamanya terhenti. Kemudian dia beranjak ke arah jendela kaca gelap jendela ruang makan. Dari balik vitrase dia melihat Steve dan Rafael tengah duduk bersisian di sofa teras belakang. Saling bicara satu sama lain. Tersenyum bersama.

Ada yang terasa menghangat di pelupuk matanya. Pada satu titik ternyata Tuhan mengabulkan permohonan yang dipanjatkannya pada setiap kesempatan yang dia miliki. Permohonan untuk melihat kembalinya kehangatan di antara Steve dan Rafael.

Yang tengah dilihatnya mungkin baru awal. Tapi sudah cukup menerbitkan harapan baru di hatinya. Membuatnya mengukir senyum di bibir di tengah keharuaan yang terasa menyesakkan dadanya.

“Bu...”

Lea menoleh sambil menghapus airmatanya. Watini tengah menatapnya.

“Ada Bu Emi di depan. Antar uang arisannya Ibu.”

“Oh... Ya...,” Lea mengangguk sambil beranjak pergi.

* * *

“Aku heran kali ini seleramu lain dari biasanya,” Steve kemudian menghirup es tehnya.

“Selera apa?” Rafael menoleh cepat walau hanya sekilas.

“Selera terhadap cewek.”

“Lain bagaimana?” sejujurnya dada Rafael serasa tertohok.

“Biasanya kan kita suka cewek yang sama.”

“Oh... Orang kan boleh berubah, Steve...,” jawab Rafael setengah menggumam sambil menjangkau gelas air putihnya.

“Hm... Sorry to say, but... Aku sempat mencurigaimu. Maksudku... Kamu dan Adita... sebetulnya nggak benar-benar pacaran.”

Hampir saja Rafael tersedak. Air yang sudah dikulumnya terpaksa ditelannya dengan susah-payah.

“Aku bukan player seperti kamu,” Rafael menggenggam gelasnya sambil menatap lantai.

Beberapa detik kemudian dia berdiri dan melangkah pergi. Steve tercenung menatap punggung Rafael. Sebersit penyesalan muncul di hatinya. Dihelanya napas panjang.

Terkadang otak dan mulut memang tidak sinkron. Otaknya memberi perintah agar dia mengambil kesempatan itu untuk berbaikan dengan Rafael. Hanya saja mulutnya seolah membelot dengan mengucapkan hal-hal yang agaknya cukup sensitif buat Rafael.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Steve merutuk dalam hati sambil menggosok-gosok wajahnya dengan kedua belah telapak tangan.

* * *

Seleraku masih tetap seperti biasanya, Steve...

Rafael pelan-pelan menutup pintu di belakang punggungnya. Beberapa detik kemudian dia sudah merebahkan punggungnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang langit-langit kamar. Membebaskan pikirannya mengembara. Tapi semuanya terpaksa berhenti ketika ponsel di sebelah bantalnya bergetar beberapa kali. Buru-buru diraihnya benda itu.

“Ya, Dit? Halo...”

“Sore, Mas... Mm... Aku cuma mau tanya, Mas Rafa jadi mengajakku nonton festival jazz nggak?”

Seketika Rafael menepuk keningnya mendengar suara ragu-ragu itu menggema dari seberang sana.

“Aduh... Maaf, Dit... Maaf banget...,” ucapnya penuh penyesalan. “Nggak jadi saja ya? Aku lagi nggak enak badan.”

“Oh... Iya, nggak apa-apa. Kebetulan aku juga rasanya capek banget. Ingin istirahat saja di rumah.”

“Warungnya bagaimana?”

“Aku sudah serahkan sama anak-anak. Semoga bereslah...”

“Yang kemarin berlanjut, Dit?”

“Apanya?”

“PMS-mu.”

“Oh... Iya, makanya aku ingin di rumah saja.”

“Maaf ya, aku nggak bisa ke rumahmu.”

“Iya... Nggak apa-apa. Memangnya Mas Rafa kenapa?”

Maag-ku kambuh. Memang makanku nggak teratur akhir-akhir ini. Banyak kerjaan.”

“Ya sudah, sama-sama bobok manis saja di rumah, hehehe...”

“Hehehe... Iya...”

“Oke, deh! Mas Rafa cepet sembuh ya?”

“Kamu juga ya?”

“Bye...”

Rafael menatap ponselnya sebelum meletakkannya kembali. Kembali rasa sesak itu muncul di dadanya. Tanpa dia tahu mengapa dan bagaimana harus melepaskannya.

* * *

Apakah kecewa? Atau justru lega?

Adita menggelengkan kepalanya dengan putus asa sambil meletakkan ponselnya. Ada beragam rasa yang muncul bersamaan. Begitu saja saling bergumul dalam hatinya. Ada beberapa yang terasa bertentangan. Menambah sesak dadanya.

Aku ini kenapa?

Adita menatap cermin. Ada pantulan wajah dengan ekspresi yang tak dimengertinya terpantul di sana. Dia mengerjapkan mata.

Sesungguhnya ada rasa ingin bertemu Rafael. Sekaligus keengganan untuk bertatap muka. Ada rasa rindu. Sekaligus muncul kesadaran bahwa dia sebenarnya bukanlah apa-apa bagi Rafael. Dan masih banyak lagi rasa yang dia tak mampu menjabarkannya.

Benarkah aku mulai tertarik padanya? Oh, no... Sesuatu yang nggak boleh terjadi!

Adita terhenyak seketika saat menyadari bahwa kemungkinan itu muncul begitu saja. Kemungkinan yang sungguh-sungguh ingin diingkarinya. Pelan dia membuka laci meja riasnya. Tatapannya jatuh pada sebentuk amplop coklat yang dia hafal betul apa isinya. Kontrak yang ditandatanginya bersama Rafael. Kontrak sebagai penyedia dan pemakai jasa kekasih sewaan.

Pelan dia menegakkan punggungnya. Ditatapnya sekali lagi wajahnya yang terpantul di cermin.

Ayolah! Kau sudah mengalami banyak hal yang jauh lebih berat daripada ini. Bertahan! Bertahan!

Ketika dihelanya napas panjang, terasa kesesakan itu mulai terurai sedikit demi sedikit.

Harus profesional!

Dia mengerjapkan mata.

* * *

Lea menatap rinai hujan itu dengan hati terasa kosong. Ini sudah minggu keempat Rafael tak pulang ke Jakarta. Alasannya sibuk, banyak pekerjaan, banyak pengiriman barang, ada audit, ada kunjungan customer, dan sederet alasan lain yang sebetulnya bukanlah hal yang aneh. Hanya saja perasaannya berkata lain. Menangkap gelagat yang tak biasa. Gelagat yang hanya bisa dirasakan, tak bisa dijabarkan.

Pada saat itu pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Adita. Entah kenapa. Tapi impuls itu tanpa berpanjang kata membuatnya meraih kunci mobil dan beranjak ke garasi.

“Ibu mau ke mana?”

Suara Tunik menyetop sejenak langkah Lea.

“Aku mau keluar sebentar, Nik.”

“Saya panggilkan Pan Mun ya, Bu?”

Tapi Lea menggeleng dan meneruskan langkahnya. “Aku sendirian saja, Nik...”

Tunik tak bisa berbuat lain kecuali buru-buru membuka pintu garasi, berlari kecil di bawah lindungan kanopi, kemudian membuka pintu pagar. Beberapa detik kemudian mobil Lea sudah meluncur keluar. Entah kemana.

* * *

Angka-angka yang tertera di layar laptop itu menjadi satu-satunya hal yang bisa menghibur hatinya belakangan ini. Hasil penjualan yang stabil, cenderung meningkat. Membuat pundi-pundinya terisi rupiah yang jumlahnya makin mendekati titik impas.

Lalu semuanya akan selesai...

Adita bangkit dari duduknya. Pelan dia mendekati jendela ruangan kantornya di lantai atas ruko. Ditatapnya titik-titik hujan yang membentuk tirai rapat di luar sana.

Ketika sebuah SUV perlahan merapat ke seberang, dia mengerjapkan mata. Steve. Mengunjungi Anna. Kesetiaan yang sudah disaksikannya sendiri beberapa minggu ini. Tanpa bisa dicegah, ada rasa nyeri yang terasa menggigit hatinya. Terutama ketika mengingat seperti apa hubungannya dengan Rafael selama beberapa minggu belakangan ini.

Tak ada lagi dering telepon di siang hari. Atau pesan pendek di pagi hari. Atau getar-getar ponsel di malam hari saat dia chatting dengan Rafael. Semuanya mendingin begitu saja. Tanpa dia pernah berani menghubungi Rafael terlebih dahulu sejak terakhir dia menelepon untuk urusan menonton festival jazz yang gagal itu.

“Mbak...”

Adita tersentak. Ia menoleh ke arah pintu.

“Ada Ibu Lea ingin bertemu Mbak Dita.”

Dihelanya napas panjang. “Tolong bawa ke teras belakang dulu ya? Tawarin makan sama minum.”

Mimi mengangguk, kemudian menghilang dari pandangan Adita. Mata Adita mengerjap,

Apa lagi sekarang?

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #20



3 komentar:

  1. Good post mbak, nggak dijawab no problem yang penting donatnya kirim atambua he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Donatnya dibahaaasss...
      Makasih mampirnya, Pak Subur...

      Hapus
  2. Tante lagi sibuk yaaaaaa? Yang penting udah baca dan bisa komentar tan, hahaaaiii.. :D

    BalasHapus