Kamis, 25 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #20





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #19



* * *



“Mas, sudah berapa minggu nggak pulang ke Jakarta?”

Rafael mengangkat wajah, mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Ditatapnya Hartono sejenak.

“Ada sebulanan, Pak,” jawabnya lirih.

“Mas Rafa kerja terlalu keras, sampai sakit.”

“Saya sudah nggak apa-apa kok,” dicobanya untuk tersenyum.

Hartono menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tatapannya belum lepas dari wajah Rafael. Di matanya, wajah anak muda itu terlihat letih dan lebih tirus dari biasanya.

“Mas...,” Hartono terlihat sangat berhati-hati. “Nggak ada yang penting minggu depan. Mas pulang saja. Istirahat. Ibu pasti kangen sama Mas.”

“Entahlah, Pak,” Rafael meletakkan ponselnya di atas meja. “Saya sebetulnya ingin pulang, tapi...”

“Mas bisa cerita sama saya kalau Mas mau,” Hartono mengulas senyum.

Rafael menatap Hartono. Seolah menimbang sesuatu sebelum memutuskan untuk bicara.

“Pak, saya lagi dekat sama seorang perempuan,” Rafael menghela napas panjang. “Saya nggak tahu saya mencintainya atau tidak. Yang jelas saya merasa nyaman bersamanya. Seperti teman, tapi kok saya merasa lebih dari itu. Dibilang pacaran, kok belum sampai ke situ. Saya mencoba untuk tidak menghubunginya sejak saya terakhir pulang itu. Dia juga tidak menghubungi saya. Entahlah, Pak...”

“Hm...,” Hartono menegakkan punggungnya. “Mas merasa kangen padanya?”

Rafael menggeleng pelan. “Saya cuma merasa ada yang kosong dalam hidup saya.”

“Pulanglah, Mas. Temui dia. Mungkin Mas tidak mengenali apa yang ada dalam hati Mas Rafa. Ambillah waktu untuk untuk itu, untuk diri Mas sendiri. Menikmati hidup. Menikmati hasil kerja keras Mas selama ini. Menikmati membina hubungan dengan perempuan yang Mas inginkan, yang Mas butuhkan untuk mendampingi Mas. Saya tahu Mas beda dengan Mas Steve. Tapi ada beberapa hal yang bisa Mas contoh dari Mas Steve. Sedikit lebih menikmati hidup tanpa meninggalkan tanggung jawab.”

Rafael tercenung mendengar ucapan panjang lebar Hartono.

Sedikit saja lebih menikmati hidup?

Ditatapnya Hartono. Pelan dia mengangguk. Tak ada yang salah dalam ucapan laki-laki setengah baya di hadapannya itu. Dalam banyak hal dia menemukan sosok papanya dalam diri Hartono. Hartono sudah seperti ayah kedua baginya.

Hartono adalah karyawan papanya yang paling setia. Seharusnya Hartonolah yang memegang pucuk pimpinan cabang Bogor. Tapi dengan senang hati dia mempersilahkan Rafael memangku jabatan itu ketika saatnya tiba dan harus puas hanya dengan menjadi tangan kanan Rafael.

“Baiklah, Pak. Saya pulang nanti sore. Kalau hari Senin saya nggak muncul berarti saya libur seminggu ya? Tolong Pak Har handle semuanya.”

“Siap, Mas!” Hartono mengacungkan jempolnya.

* * *

Adita berusaha sekuat tenaga mengubah wajahnya jadi berekspresi seceria mungkin. Tidak terlalu berhasil. Tapi setidaknya cukup untuk menutupi debar hatinya ketika langkahnya makin dekat ke teras belakang ruko. Sempat dihelanya napas panjang sebelum menemui tamunya.

“Sore, Tante,” sapanya lembut.

Lea menoleh sambil bangkit dari duduknya. Dikembangkannya lengan lebar-lebar. Membuat Adita terpaksa tenggelam di dalamnya sambil menerima ciuman hangat di kedua belah pipinya.

“Apa kabar, Tante?” Adita duduk di seberang Lea berbarengan dengan perempuan itu kembali duduk di kursinya.

“Baik,” senyum Lea. “Hanya saja...”

Entah kenapa debar jantung Adita terasa menguat. Pelan dia menunduk. Tanpa kentara dia menyentuh beberapa bagian layar ponselnya. Sejenak kemudian diangkatnya lagi wajahnya.

“Tante bisa cerita apa saja sama saya,” Adita mengerjapkan mata, “kalau Tante berkenan.”

“Hm...,” Lea menatap Adita. “Entahlah, Dit. Mama cuma merasa ada yang nggak beres dengan hubunganmu dan Rafa. Mama bukannya mau ikut campur. Hanya ingin tahu. Siapa tahu kalau memang ada masalah, Mama bisa bantu.”

Adita menelan ludah. Tenggorokannya terasa sakit tiba-tiba.

“Nggak ada apa-apa sih, Tante...,” jawaban Adita terdengar tak meyakinkan. “Memang belakangan ini saya juga sibuk banget. Ada karyawan yang keluar dan ada karyawan baru masuk. Jadi saya harus mengajari dulu. Kelihatannya Mas Rafa juga sibuk. Makanya komunikasi kami jadi berkurang. Tapi semuanya baik-baik saja kok. Saya minta maaf, Tante. Waktu Mas Rafa sakit, saya sama sekali nggak menengok. Waktu itu saya sendiri juga lagi dalam kondisi nggak keruan.”

Ingin rasanya Adita hilang ditelan bumi saat itu juga. Apalagi menerima tatapan Lea yang sedemikian rupa. Terlihat tidak menuntut penjelasan, tapi juga seolah tak percaya 100% atas apa yang telah didengarnya sendiri dari mulut Adita. Membuat Adita merasa terjebak dalam ketakutan akan salah bicara atau bersikap.

“Iya, Mama mengerti,” senyum Lea. “Rafa bilang kok, sama Mama, soal kamu juga lagi butuh istirahat.” Lea menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi.  “Hm... Mungkin Mama berharap terlalu banyak dari hubungan kalian. Ada beberapa hal yang membaik belakangan ini. Hubungan Steve dan Rafa. Mereka sudah mulai mau mengobrol. Tante juga melihat Rafa sedikit berubah. Jadi lebih ceria, nggak seserius biasanya, terlihat lebih santai menjalani hidup. Semuanya terjadi sejak ada kamu dalam hidupnya. Hanya saja beberapa minggu ini Mama seolah kehilangan kontak dengannya. Sejujurnya Mama khawatir. Terakhir dia kembali ke Bogor dalam kondisi belum begitu sehat.”

Adita tercenung mendengar penuturan panjang-lebar Lea.

Kalau benar semuanya membaik, kenapa dia tak juga menghubungiku? Bahkan untuk sekadar menyapa? Atau mengucapkan selamat tinggal saat semua kontrak berakhir? Atau aku yang berharap terlalu banyak? Ah...

“Jadi betul ya, nggak ada apa-apa?”

Adita tersentak. Dia mengangkat wajah dan menemukan wajah teduh Lea menunggu jawaban darinya. Adita mengangguk sedikit. Mencoba untuk tersenyum.

“Ya sudah. Seandainya ada apa-apa, kalian coba selesaikan dulu ya?”

Adita kembali mengangguk.

* * *

Malam sudah makin hitam ketika Rafael membelokkan mobilnya ke lahan parkir kompleks ruko itu. Jam digital di dashboard-nya menunjukkan angka 07:22 PM. Terpaksa dia parkir agak jauh karena sudah tak tersisa tempat lagi di depan tempat usaha Adita.

Ketika dia masuk, tempat itu ramai oleh pengunjung. Seorang pramusaji menyapanya, “Maaf, Mas, tempatnya sudah penuh.”

Rafael menatapnya. Kelihatannya pramusaji itu orang baru sehingga tak mengenalnya. Dia tersenyum.

“Saya cari Mbak Dita. Ada?”

“Ada di kantornya.”

“Oh... Oke!”

Tanpa menunggu jawaban, Rafael segera menapakkan langkahnya menaiki tangga. Ketika pramusaji itu hendak mencegahnya, pramusaji yang lain mencegahnya.

“Itu Mas Rafa, cowoknya Mbak Dita.”

"Aduuuh... Ganteng bangeeet..."

Rafael tersenyum mendengar kalimat-kalimat lirih yang menggema di belakang punggungnya itu. Dan Adita ditemukannya tengah tergolek di atas sofa di dalam ruangan kantor yang pintunya terbuka lebar. Tertidur lelap. Dengan wajah yang terlihat menyimpan keletihan.

Rafael tercenung melihatnya. Pelan dia duduk di atas sofa pendek di dekat Adita. Matanya menyusuri semua gurat yang membayang halus di wajah Adita. Ada keharuan yang merebak begitu saja ketika menyadari bahwa selama ini sudah begitu keras perjuangan Adita untuk mendapat kehidupan yang jauh lebih baik.

Dan sudah beberapa minggu ini aku sengaja meninggalkannya...

Sebuah penyesalan terbit dalam hati Rafael.

Membiarkannya menanggung semuanya sendirian...

Pelan Rafael menghela napas panjang.

Dan aku kalah...

“Mas...”

Rafael tersentak kaget. Dia menoleh cepat ke arah pintu. Seorang karyawan Adita tengah berdiri di sana. Spontan Rafael meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Dari tempatnya berdiri, karyawan Adita itu bisa melihat sosok Adita yang tengah tertidur pulas. Dia mengangguk mengerti.

“Mas mau minum apa?” bisiknya kemudian.

Rafael menggeleng sambil bangkit pelan-pelan. Dia kemudian keluar dari ruangan itu tanpa suara, diikuti Alif, karyawan Adita itu.

“Semuanya beres di sini, Lif?” tanya Rafael sambil berjalan menuruni tangga.

Alif mengangguk.

“Aku lihat ada pramusaji baru tadi.”

“Iya, Mas. Eki sama Yuni keluar. Eki dapat kerja pabrikan. Yuni pulang kampung. Ibunya sakit keras. Gantinya Udik sama Mery.”

“Oh...”

“Mas lama nggak ke sini.”

“Iya, banyak kerjaan, Lif.”

“Saya bikinkan lemon tea ya, Mas?”

“Boleh... jangan terlalu panas ya?”

“Baik, Mas.”

Rafael kemudian duduk di teras belakang. Tak lama kemudian Alif sudah muncul lagi dengan membawa segelas teh lemon hangat dan seporsi schotel kesukaan Rafa.

“Silakan, Mas,” ucap Alif sambil menghidangkannya pada Rafael. “Kalau mau lagi, panggil saya saja.”

Rafael mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

* * *

Bunyi alarm ponsel itu membuat Adita terjaga. Sambil mengerjapkan mata dia meraba ke sisi kiri tubuhnya. Mendapati ponselnya bergetar, terjepit antara pinggulnya dan sandaran sofa. Angka 19:40 tertera jelas di layar ponselnya. Dia pun menguap.

Tapi gerakan mulutnya terhenti ketika dia menyadari sesuatu. Ada bau lain yang mengelus hidungnya. Samar. Sangat samar. Tapi berhasil membuatnya bangun dan duduk tegak di sofa. Wangi parfum beraroma maskulin yang sangat dikenalnya.

Otakku sepertinya sudah rusak, dia menggerutu dalam hati. Bahkan wangi parfumnya pun seolah melekat di otakku.

Adita menggelengkan kepalanya yang terasa pening. Dihelanya napas panjang. Dan aroma wangi itu menghilang begitu saja. Dia kemudian berjalan ke arah meja kerjanya. Sisa teh yang masih setengah gelas dihabiskannya beberapa teguk sebelum dia duduk, menyisir rambut, dan membenahi wajahnya supaya kelihatan lebih segar. Setelah semua selesai, dia pun keluar dari kantornya.

“Mbak Dita mau makan apa? Atau mau dibelikan makanan apa?” tanya Mimi begitu Adita sampai di bawah.

“Semua sudah pada makan?”

“Sudah, Mbak.”

“Hm... Tolong belikan ifu mie capcay saja di depot pojokan situ ya?” Adita mengeluarkan dompet dari saku celananya.

“Mas Rafa dibelikan juga? Atau mau ditawarin pilihan lainnya?”

“Hah?” Adita mengerutkan kening. “Mas Rafa?”

“Lho, Mbak Dita nggak tahu Mas Rafa ke sini? Tuh! Ada di teras belakang.”

Seketika ada dentaman-dentaman liar muncul dalam dada Adita. Tanpa peduli keheranan di wajah Mimi, dia pun melangkah ke teras belakang.

Jadi benar dia ada di sini? Melihatku tertidur? Astaga...

Adita merasa langkahnya agak limbung. Dia perlu berhenti sejenak untuk menata hatinya sebelum melanjutkan langkah.

Dan benar! Sosok itu ada di sana. Duduk diam di kursi teras belakang sambil pelan-pelan menyuap sesendok demi sesendok schotel ke dalam mulutnya. Adita membuka mulutnya.

“Mas...”

Dia tak bisa menahan suaranya agar tidak bergetar. Dan Rafael menoleh. Menatapnya dengan sorot mata yang sungguh sukar diartikan. Membuat Adita harus menyandar sejenak di kusen pintu agar dia tidak lebih limbung lagi.

* * *

Bersambung ke episode selanjutnya : Rinai Renjana Ungu #21



2 komentar: