Senin, 08 Juni 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #15





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #14



* * *



“Semuanya ini benar-benar membuatku tak nyaman,” keluh Anna sambil menyuapkan sesendok puding ke dalam mulutnya.

Adita menatapnya dengan iba. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama. Hanya saja, mengakui perasaan itu pada Anna secara jujur berarti dia sedang membuka kedoknya sendiri. Dan itu sangat membahayakan Rafael.

“Menurutku, Mas Steve itu menarik juga sih, Mbak,” senyum Adita kemudian. “Nggak jauh beda dari Mas Rafa.”

“Namanya juga kembar identik,” Anna meringis sekilas. “Secara penampilan pasti nggak beda jauh. Tapi sifatnya?”

Adita langsung menyetujui ucapan itu, walau hanya dalam hati. Jelas dia bisa melihat bahwa Rafael adalah seorang yang sangat tenang dan kelihatan jauh lebih matang daripada Steve yang terkesan pecicilan.

“Dan Bu Lea itu,” lanjut Anna, “care banget dengan apa yang terjadi pada anak kembarnya. Sampai-sampai kita pun kecipratan care itu. Masuk akal nggak sih?”

“Ya...,” Adita menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Terlalu care ya? Sepertinya itu juga yang sempat membuat Mas Rafa awalnya menyembunyikan tentang aku pada mamanya. Tapi akhirnya kejadian juga hubungan kami ketahuan, hehehe...”

Anna menghela napas panjang. Ditatapnya Adita dengan kadar serius naik sekian kali lipat.

“Bersyukurlah Mbak Dita dapat Mas Rafa,” gumamnya nyaris tanpa suara.

Adita tercenung mendengar kalimat itu. Seutuhnya dia bisa menangkap adanya nada lara yang tersirat di dalamnya. Entah kenapa sebuah perasaan bersalah kemudian menggunung di hatinya.

Dia juga perempuan. Sama seperti Anna. Perasaannya belumlah terlalu tumpul hingga dia masih bisa mengenali pendar-pendar keinginan dalam mata Anna. Keinginan untuk memperoleh seorang laki-laki seperti Rafael. Bukan Steve.

Tiba-tiba saja Adita merasa terjebak di tengah situasi yang baginya cukup rumit. Ada Rafael dan Anna yang saling memiliki rasa yang sama. Dan dia berada di tengah keduanya begitu saja.

“Hm... Betul perkiraanku!”

Keduanya sama-sama kaget dan menoleh mendengar suara itu. Steve mendadak saja hadir dengan seulas senyumnya yang cerah.

“Kalau nggak ada di pet shop atau klinik, pasti ada di sini!”

Aduuuh... Dia lagi!

Anna makin kehilangan mood karena merasa acara ngerumpinya dengan Adita jadi terganggu. Dengan putus asa ditatapnya Steve.

“Sekarang apa lagi?” ketusnya.

Steve masih mempertahankan senyum lebarnya.

“Kangen,” jawabnya singkat.

Anna mendengus mendengarnya.

Diam-diam Adita beringsut dari duduknya. Tanpa kentara, dia pun meninggalkan tempat itu supaya tak mengganggu Steve dan Anna.

* * *

Dia sebetulnya tertarik pada Mas Rafa. Aku bisa merasakan itu.

Rafael tercenung menatap ponselnya. Pesan dari Adita masih bisa terbaca dengan sangat jelas di sana.

Kenapa harus menyakiti diri sendiri dengan mengingkarinya?

Rafael menghela napas panjang.

Ya, aku tahu alasannya. Tapi apakah tak ada jalan lain? Kupikir Mas Steve bisa bersaing secara dewasa saat ini.

Sekali lagi Rafael menghela napas panjang.

Tentu saja dia mengenal Steve jauh lebih baik daripada siapa pun. Mungkin benar Steve sudah jauh lebih dewasa dan bisa bersaing dengannya untuk mendapatkan Anna dengan cara yang ‘baik dan benar’. Tapi siapa bisa menjamin bahwa Steve akan sedewasa itu pula menghadapi kekalahannya? Apalagi saat ini mata hatinya sudah menangkap ada sesuatu yang lain dari Anna terhadapnya. Sesuatu yang akan membuat Steve kalah telak. Dan dia tak berani membayangkan apa akibatnya bila hal itu benar-benar terjadi.

Dan Adita...

Sejak awal dia sendiri yang sudah melibatkan Adita dalam jalinan rumit itu walaupun harus ada tebusan berupa sejumlah nominal tunai yang cukup besar. Dan hingga detik ini, rasanya Adita masih bisa bersikap dengan sangat profesional. Membuat perjanjian itu berjalan terus hingga menuju ke titik akhir yang entah kapan datangnya. Saat Steve sudah benar-benar nyata keluar sebagai pemenang hati Anna.

Selanjutnya, Rafael hanya bisa menghenyakkan punggungnya pada sandaran kursi dengan pikiran terasa penat. Entah harus menguraikan kerumitan itu dari ujung mana. Dia sama sekali tak punya bayangan sedikit pun.

* * *

Setengah mati Rafael meneguhkan hatinya untuk tidak menoleh pada Anna di sepanjang acara resepsi itu. Dia berusaha hanya fokus pada Adita.

Benar seperti bayangannya. Gaun batik berwarna dasar merah bata itu terlihat sangat pas membungkus tubuh Adita. Bukan itu saja. Warnanya terlihat sangat cocok dengan kulit sawo matang cerah yang dimiliki Adita. Membuatnya terlihat makin manis dan segar.

Dan tentu saja yang paling cerah wajahnya, selain pengantin dan keluarganya, adalah Lea. Beberapa kerabat yang mengetahuinya hadir dengan membawa serta kedua gadis anak laki-laki kembarnya tak hentinya memuji pilihan anak-anak itu.

Tentu saja satu hal tak luput dari pantauannya. Sekali lagi Steve dan Rafael memperlihatkan dua sisi yang berlawanan. Bila Steve terang-terangan show off tentang dia dan Anna pada setiap kerabat yang ditemuinya, maka Rafael justru menjauhkan Adita dari semua itu.

Tanpa kentara Rafael membawa Adita pada sudut-sudut yang nyaris tak terjangkau radar para kerabat. Dan Lea jelas-jelas bisa menangkap perbedaan gesture Anna dan Adita. Bila Anna terlihat sering tersipu dan salah tingkah karena sikap Steve, maka Adita terlihat cukup nyaman dengan keberadaannya di samping Rafael pada acara itu.

Pelan Lea menghela napas panjang. Memang benar bahwa Anna tidaklah seperti kebanyakan gadis-gadis Steve yang pernah dibawanya ke rumah. Rasanya tidaklah terlalu berlebihan bila mengharapkan Anna menjadi pelabuhan terakhir Steve karena dialah yang terbaik. Tapi diam-diam dia merasa khawatir.

Sikap show off  Steve yang nyaris sama dengan ketika dia berada di samping gadis-gadisnya yang lalu bisa jadi malah akan jadi bumerang tersendiri suatu saat kelak. Anna jelas-jelas bukanlah salah satu gadis pengejar Steve yang rela diperlakukan apa saja hanya demi bisa berada di dekat Steve.

Hm... Dia perlu ditatar lagi rupanya...

Lea menggelengkan kepala tanpa kentara.

* * *

“Enak?”

Rafael menatap Adita yang tengah menyuap sesendok kecil puding ke dalam mulutnya. Adita mengangguk sambil tersenyum.

“Kurasa masih jauh lebih enak puding buatanmu.”

Adita tersipu seketika.

“Lho, dipuji kok malah malu-malu begitu?” goda Rafael.

“Terus aku harus bilang ‘wow’ sambil salto, begitu?”

Rafael nyaris terbahak mendengar jawaban lucu Adita yang sama sekali tak terduga olehnya. Adita tersenyum lebar karenanya.

“Kalau Mas mau, nanti aku kemaskan puding buat dibawa ke Bogor.”

“Nggak ah!” Rafael menggeleng. “Nggak nolak.”

“Dih!” jemari Adita mencubit lembut lengan Rafael dengan gemas, membuat Rafael tertawa lebar karenanya.

“Raf...”

Panggilan halus itu membuat Rafael menoleh. Sedetik kemudian dia tertegun menatap siapa yang baru saja memanggilnya.

“Apa kabar?”

Mega?

Diam-diam Rafael menelan ludah.

* * *


Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #16


12 komentar:

  1. Selamat pagi mbak cantik.... ini di buat rameeee yaaa.... ada si Mega,... ga sabar nunggu lanjutan.... met aktivitas mbak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Met pagi, Mbak MM... Selamat beraktuvitas juga, makasih singgahnya...

      Hapus
  2. Balasan
    1. Siaaap, Mbaaak... Makasih mampirnya ya... Abis ini aku mo meluncur ke Elroy. Penasaraaannn...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih atensinya, Pak Subur... Selamat berkarya...

      Hapus
  4. Balasan
    1. Hehehe... Iya...
      Makasih mampirnya, Mbak Vitri...

      Hapus
  5. nunggu steve ditatar emaknya...
    ini penataran 48 jam apa 120 jam ???

    inget jaman penataran P4...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... penataran 1 babak. Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  6. Wah, ada mega nih, gmana tuh kelanjutannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kelanjutannya sudah tayang, Bu Fabina... Selamat menikmati dan makasih singgahnya...

      Hapus