Senin, 17 Agustus 2015

[Cerpen Stripping] Bawakan Sepotong Mimpi #1




Fiksi kolaborasi dengan Ryan Mintaraga


Dari balik kaca jendela city car-nya, Loli dapat melihat Bik Sarmi menggendong Eric sambil membuka pintu pagar. Senyum lebar Eric seketika mampu menghapuskan semua lelah yang diusung Loli sepanjang hari itu. Ketika pintu pagar terbuka lebar, Loli segera meluncurkan mobilnya masuk ke carport.

Sore, Bu Loli,” sapa Bik Sarmi begitu Loli keluar dari mobil.

Sore, Bik,” senyum Loli.

“Mama!” Eric segera mengulurkan kedua tangannya dengan wajah gembira.

Loli tertawa sambil menyambut uluran tangan itu. Dalam sekejap Eric sudah berpindah ke dalam gendongannya. Diciuminya pipi bulat Eric. Tercium wangi khas Eric yang membuatnya ingin menciumi Eric terus dan terus.

“Hm... Wangi...,” Loli menggosokkan ujung hidungnya ke pipi Eric. “Udah mandi ya, anak Mama?”

“Dah,” Eric terkikik geli.

“Udah makan?”

“Dah,” Eric menjawab singkat.

Loli tertawa riang.  Saat ini, jagoan kecilnya itulah pusat dunianya. Satu-satunya penghibur di kala hatinya gundah. Satu-satunya pemberi semangat untuknya maju terus dan menjalani hidup.

Masa bodo dengan Jay, pikirnya.

Loli masih ingat betul ketika ia memergoki lelaki itu sedang bergumul dengan seorang perempuan muda sewaktu mereka masih tinggal di sebuah apartemen.  Ia tahu bahwa Jay memang lelaki yang tak pernah puas dengan seorang perempuan. Ia tahu lelaki itu sering pulang dini hari dengan baluran aroma tubuh perempuan lain. Sama sekali bukan aroma tubuhnya.  Ia tahu bahwa lelaki itu sering menyebut nama-nama perempuan lain dalam tidurnya.

Ia tahu semuanya tapi berusaha untuk tidak peduli. Tapi ia tidak bisa diam lagi jika perbuatan itu dilakukan di rumahnya, di kamarnya.

“Mama!” suara Eric membawa Loli kembali dari pikiran masa lalunya.

Loli mencium Eric sekali lagi.

“Mama mandi dulu ya, sayang?” bisik Loli. “Eric main sama Bibik dulu ya?”

Eric mengangguk sambil merosot turun dari gendongan Loli. Segera Loli melangkah ke dalam kamarnya. Kelihatannya enak juga melepas penat dengan berendam sejenak, Loli mulai melepaskan sepatunya.

Belum sempat ia melepas baju, ponselnya berdering. Loli mengerutkan kening, tapi segera merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Sekejap membaca nama yang berkedip di layar membuat wajahnya kembali cerah.

“Halo, Tara,” sapanya.

Si penelepon itu, Tara, adalah sahabatnya semenjak mereka masih berseragam putih abu-abu hingga kuliahKini mereka sudah jarang bertemu karena sudah terpisah kota, bahkan provinsi. Tapi persahabatan mereka tak pernah putus. Bahkan beberapa bulan belakangan ini ketika dirinya mengurus perceraian dengan Jay, Tara selalu mendukung dan menguatkannya walau hanya dari kejauhan.

“Loli, tebak siapa yang baru aja dateng ke rumahku?” bisik Tara antusias dari seberang sana.

“Kenapa kamu ngomongnya bisik-bisik gini sih?” Loli balik bertanya.

“Ini saking gembiranya aku... jadi aku ngomongnya bisik-bisik gini,” balas Tara. “Kalo nggak gini, aku nanti bisa teriaaak saking gembiranyaaa!

“Aduh! Astaga!” Loli seketika menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar teriakan Tara. “Kamu ini kenapa sih?

“Hari ini surprise banget!  Pokoknya SURPRISE!” Tara kembali berseru.

“Iyaaa!  Iyaaa!  Aduh kasihanilah kupingku ini, Tara.  Sebenernya ada apa sih?”

“Hari ini aku pesen delivery order pecel lele,” sahut Tara.

“Terus?”

“Kamu tahu siapa yang dateng?”

“Jiaaah, mana aku tahu?” timpal Loli. “Emang siapa sih dia, sampai kamu segininya nelpon aku?”

“Jadi kamu nggak mau tahu nih?” goda Tara.

“Apa itu ada hubungannya sama aku?” Loli balik bertanya.

“PASTINYAAA!” teriak Tara kembali.

“Astagaaa!  Tara, aku pake speakerphone aja ya?  Kupingku sakit denger kamu teriak-teriak terus.”

Didengarnya Tara tertawa dari seberang telepon.  Mau tak mau Loli tersenyum. Sahabatnya itu memang sepertinya tak pernah kehabisan energi, kecuali jika ia harus makan mie instan berhari-hari.

“Oke deh!  Denger baik-baik ya...  Ehem!” Tara terbatuk kecil. “Yang tadi nganter makanan pesenanku adalah…”

Tara sengaja menghentikan ucapannya.

“Tara?” panggil Loli.

Hm... akhirnya kamu penasaran juga,” Loli terus menggoda sahabatnya itu. “Jadi, yang tadi nganter makanan pesenanku adalah…”

Lagi-lagi Tara menghentikan ucapannya, dan ini membuat Loli menghela nafas.

“Aku matiin aja handphone-nya ya,” ancamnya.

“Jangaaan! Nanti kamu rugi.  Oke, oke...  Jadi, yang tadi nganter makanan pesenanku adalah seseorang yang sudah kita kenal.  Kamu pasti tahu orangnya…”

“Hm?  Sudah kenal?  Siapa?”

“D-I-D-I-T.  Didit.”

Seketika Loli tercekat.  Nafasnya serasa berhenti.  Ia terpaku mendengar nama yang disebutkan sahabatnya itu.Ia seolah tak percaya akan mendengar kembali nama itu setelah bertahun-tahun.

Aku nggak salah dengar?

Dadanya dipenuhi perasaan gemuruh.

“Loli?” panggil Tara.

“AhKa… kamu... Kamu bohong kan?” Loli tergagap, “A… atau… itu mungkin orang lain…”

“Bukan, say,” balas Tara. “Itu bener-bener Didit. Anindito. Diditmu.”

Loli terbatuk mendengar Tara menyebut ‘Diditmu’.  Ia mengatur nafasnya, berusaha menguasai kembali diri dan perasaannya yang masih bergemuruh.

“Oh…,” akhirnya hanya ucapan pendek itu yang keluar dari bibir indahnya,

“Oh? Cuma oh?” nada suara Tara naik sedikit.

“Hm...  Lalu?  Apa kabarnya?”

“Dia masih single.

Gemuruh di dada Loli semakin kuat.

Apa artinya gemuruh ini? Kenapa aku jadi seperti ini?

“Aku tadi sempat ngobrol sama dia,” lanjut Tara, “Dia juga tadi nanya kabarmu dan di mana kamu tinggal.”

“Tapi kamu cerita statusku sekarang ‘kan?” timpal Loli. “Maksudku, kamu cerita kondisiku yang sudah menikah, punya anak, dan sebagainya ‘kan?”

“Tentunya.”

“Terus?  Gimana reaksinya?” Loli berdebar.

“Entahlah, tapi sepertinya dia masih tetap ingin ketemu kamu.”

Hati Loli berdegup semakin kencang.  Ia sudah tak menyimak lagi sisa pembicaraannya dengan Tara.  Pikirannya hanya tertuju pada sosok pria yang pernah mengisi hati dan hari-harinya.  Sosok yang kejahilannya justru membuat dirinya jatuh hati. Didit.

Dit… Apa kabarmu sekarang? Apa di hatimu masih ada aku? Dit, maafkan aku yang pernah mengecewakanmu…

Siapa sangka Didit dan Loli akhirnya berpacaran? Jauh dari kesan luarnya yang jahil dan pecicilan, Didit ternyata adalah seorang lelaki yang baik. Loli tak pernah menyesal menjatuhkan hatinya pada Didit.  Mereka bahkan sudah merajut impian bersama mengenai masa depan.

Sayangnya, kadang hidup tak berjalan sesuai rencana. Masih diingatnya betul ucapan pedas mamanya di depan Didit pada suatu ketika.

“Maaf ya, Dit, Tante nggak bisa melepaskan anak tunggal Tante padamu. Tante tahu kamu pintar, tapi masa depan apa yang bisa kamu berikan pada Loli? Kamu cuma anak seorang penjual pecel lele. Bukan menghina ya, Dit? Tapi ya Tante tahulah hidup kalian seperti apa!”

Sore itu Didit datang untuk minta ijin membawa Loli pada acara wisudanya esok hari. Tapi jawaban yang diperolehnya sungguh di luar dugaan. Sejak saat itu Didit tak pernah lagi muncul dalam kehidupan Loli. Dan rasanya bakalan seumur hidupnya Loli tak akan pernah melupakan betapa luka membayang di mata Didit.

Loli tersentak ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Bu Loli, makan malamnya sudah siap, ucap Bibik dari balik pintu.

“Oh, iya, Bik. Makasih. Sebentar aku mandi dulu.”

Loli pun segera melupakan acara berendamnya sore itu.

* * *

Bersambung ke : Bawakan Sepotong Mimpi #2



6 komentar:

  1. Kok ada Jay? Jay mana nih? Bukan Jay Cardius kan? Xixixixi....*ngikik kuntilanak
    Yo wis nunggu besok. Tapi jangan tayang jam 23.00 wib ya....

    BalasHapus
  2. Mbak, ini yang dari pecel lele itu toh ya? Makasih buat cerpennya...

    BalasHapus
  3. dikit banget mbak... kurang

    BalasHapus
  4. Hehehe baru hadir, lanjuuut :)

    BalasHapus