Senin, 24 Agustus 2015

[Cerbung] CUBICLE #1





Prolog


“Yik…”

Aku menoleh. Driya tengah melepaskan cincin kawin di jari manis kanannya. Dia mengambil tanganku dan meletakkan cincin kawin itu di telapak tanganku.

“Tolong lu simpan ya, Yik…,” bisiknya.

Aku menatapnya tak percaya. “Jadi…?”

Driya cuma mengangguk sambil tersenyum. Aku tak dapat lagi menahan diri. Kupeluk laki-laki tinggi besar itu.

Tapi...

* * *


Satu


Mendung yang menggantung di luar gedung Menara Daha tampaknya punya andil besar mempercepat beat musik disko yang kian menggelegar di dalam perutku. Dingin adalah kekasih hati lapar. Jadi? Klop sudah!

Seolah seabad lamanya harus menunggu hingga sepiring gado-gado itu diletakkan pramusaji tepat di depanku. Gado-gado yang tampak begitu menggoda. Cacing-cacing di perutku pun langsung ikut berontak karenanya. Aduuuh lapaaarrr… Tak kupedulikan lagi Gerdy, Fajar, Bara, Nina, dan Yussi yang sibuk ngerumpi sambil menunggu pesanan mereka datang.

Hm... Hajarrr!!!

Suapan pertama aman. Suapan kedua masih lampu hijau. Suapan ketiga mulai lampu kuning. Suapan keempat mulai panas. Suapan kelima lampu merah. Setelah suapan keenam aku tak tahan lagi. Huaaah pedasnyaaaa... Kuteguk es teh manisku sampai tandas.

“Kurang?” Bara menatapku geli sambil menyodorkan gelas ice mint tea-nya.

Aku cuma nyengir malu. Ketika seorang pramusaji counter minuman lewat, aku segera memesan lagi minuman padanya. Tak tanggung-tanggung, dua gelas es teh tawar sekaligus. Membuat kelima temanku melongo sesaat.

“Lu haus, doyan, apa kalap?” Yussi membelalakkan matanya yang indah.

“Sekarang baru nenggak teh, ati-ati tar malem berubah dia! Hahaha...,” Gerdy ngakak tiba-tiba. “Satenya seratus tusuk, Baaang...,” lanjutnya menirukan adegan di salah satu film horor jadul.

“Hahaha...,” semua anggota geng sarap ini ikutan ngakak.

“Hehehe... Abisnya, nih gado-gado pedes banget,” aku meringis.

Maag-mu...,” Bara menatapku khawatir.

Aku menggeleng, pasang muka polos. Dan tatapan khawatir Bara berubah menjadi tatapan gemas. Aku tertawa karenanya.

Kami pun kemudian menikmati makanan masing-masing sambil mengobrol ini-itu. Dari masalah kerjaan sampai gossip terkini. Dari masalah cuaca sampai ekonomi. Semua dikupas tanpa tuntas di tengah lengkapnya jumlah anggota geng sarap ini.

“Kamu jadi lelet makannya,” celetuk Fajar, menatapku.

“Kepedesan, Jar,” ujarku sambil sesekali mendesis. Gado-gado porsi jumbo di piringku masih tersisa nyaris separuh.

“Lain kali jangan pesen yang pedes,” ucap Yussi. “Kayak nggak tau kebiasaan yang ngulek aja. Dia kan suka-suka ngasih cabenya. Nggak standar.”

“Hehehe...,” aku terkekeh ringan.

Tepat saat itu ponselku berbunyi. Kulirik sekilas. Ah, nomor asing. Akhirnya ponselku diam sendiri.

“Kok dicuekin?” tanya Nina sambil meniup sesendok nasi sotonya.

“Halah, palingan cuma nawarin kartu kredit,” jawabku ringan.

Terdengar bunyi notifikasi Whatsapp. Masih dari ponselku. Masih dari nomor asing yang sama. Terpaksa kubuka dan kubaca isinya, karena aku penasaran.

PIYIK! JAWAB CALL GUE DUNK! INI BENERAN NOMOR LU KAN, YIK?

Piyik...

Aku tersentak.

PIYIK??? Cuma satu manusia yang memanggilku Piyik! Dan dia….

Astagaaaa...!

Ponselku berbunyi lagi. Dan tanpa ba-bi-bu aku menanggapinya.

“Halo…”

“Piyik! Beneran elu kan?!” potong suara di seberang sana.

“Astaga, Betmen! Ini elu?!”

Tawa di seberang sana terdengar masih bernada sama, tapi sekarang lebih menggelegar. Tak salah lagi, dia benar-benar Betmen!

“Dari mana lu tau nomor gue, Men?”

“Dari temen lu, Meirina. Temen SMP lu kan? Gue kemaren satu kantor sama dia, dia orang baru. Cuma sempat ketemuan seminggu, abis itu gue dicabut, ditaruh sini. Lu gimana kabarnya, Yik? Gila, gilaaa! Kangen berat gue…”

Aku tersenyum lebar. Kuaduk gado-gadoku. Hei! Ke mana hilangnya nafsu makanku?

“Gue baik-baik aja, Men. Lu di mana sekarang?”

“Lu masih di Jakarta, kan? Gue di Jakarta sekarang. Sama Boss disuruh pegang kantor baru. Kantor lu di mana?”

“Menara Daha.”

“Jangan becanda lu, Yik!” suara Betmen seperti tersedak.

“Becanda gimana sih, Men? Dari dulu kantor gue di Menara Daha. Lha, emang lu tahu Menara Daha itu di mana?”

“Lantai berapa?” seperti ada ‘nafsu’ dalam suara Betmen.

“Sembilan.”

“Gile lu, Yik! Gue ngantor di lantai 17!”

“Haaah? Uhuk!” ganti aku yang tersedak.

“Lu lagi di mana sekarang?”

“Di kantin Prima, lantai 2.”

“Yik! Gue juga di Prima! Lu di manaaa?”

“Pas di depan counter Mie Ayam Kasohor. Lu di ma…. Halo? Halo?!”

Sambungan dari seberang sudah diputus. Saat kuletakkan ponsel di atas meja, baru kusadari 5 pasang mata menatapku aneh. Hah! Aku jadi malu sendiri.

“Lu temenan sama… Betmen?” wajah Fajar kentara sedang menahan tawa.

“Hehehe… Temen kecil gue,” aku meringis.

“Gado-gado lu….,” tunjuk Bara, “Abisin dulu.”

Aku menggeleng. Tiba-tiba saja aku merasa kenyang.

“Buat gue ya?” Gerdy langsung menyambar piringku tanpa ijin

“Dasar perut karet lu, Ger!” aku ngakak. “Awas ketularan ebola gue!”

Saat itu kulihat ada sosok tinggi besar berjalan agak tergesa ke arah meja kami yang tepat berada di depan counter Mie Ayam Kasohor. Kemeja biru tua yang lengan panjangnya digulung sampai di bawah siku terlihat ‘indah’ menempel di tubuhnya. Dipadu dengan celana jeans berwarna pudar. Sempurna!

“Waaaw… Macho, gila!” bisik Yussi.

Tapi aku tertegun. Mata itu…. Dan dia tersenyum ke arahku. Betmen? Betmen?! Mendadak aku gelagapan.

“Men? Lu…?”

Tawanya pecah. Dia sudah sampai di depanku.

“Yik…,” tanpa rikuh dia langsung memelukku erat di depan teman-temanku. “Ini bener-bener elu, Yik?” ucapnya dengan suara rendah. “Lu masih kecil mungil aja kayak piyik!”

Terdengar deheman riuh. Serta-merta Betmen melepaskan pelukannya. Baru aku tersadar. Di kantin Prima kan lagi ramai!

“Eh, guys,” mendadak aku kikuk. “Kenalin ini Bet… eh, Driya, temen kecil gue.”

“Driya apa Batman…? Gue mo jadi Catwoman-nya loooh…,” mendadak Nina jadi centil (inget bayi lu di rumah, Buuu…).

Betmen, eh… Driya tertawa lebar sambil menjabat tangan teman-temanku satu persatu. Dan satu persatu pula mereka mengundurkan diri. Pertama Nina.

“Gue cabut dulu ya, guys, mau peras ASI nih!” Nina nyengir, ketahuan belangnya sebagai emak-emak.

Dan terakhir Yussi, berbisik sekilas di telingaku, “Ada yang cemburu lho….”

Aku hanya tertawa.

Entah kenapa aku jadi melirik sekilas ke arah Bara. Hanya bisa kulihat punggungnya yang kan menjauh. Tapi aku belum melupakan ekspresi wajahnya ketika berpamitan tadi.

Datar.

Hm...


* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #2


8 komentar:

  1. Hihi......koyokane bakalan lebih asoy ki.....
    Lanjooooot mbakyuuu!

    BalasHapus
  2. aku permainan rasa Mbak Lis....bikin ketagihan aja....suka....lanjutnya mbak..ditunggu..

    BalasHapus
  3. Asikk...
    Piyik, Betmen, hehe..
    Jadi penasaran

    BalasHapus
  4. Wahhh, bakalan seru nih. Baru baca dari awal Mba Lis :)

    BalasHapus
  5. Wkkkk..penasaran....lanjutttttt

    BalasHapus
  6. Cerbung ke 3 yg kubaca karyamu jeng Lizzz....mengaduk rasa...lanjutttt

    BalasHapus