Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #27
* * *
Hampir
seperti kesetanan Steve mengemudikan mobilnya. Tujuannya cuma satu. Menemui Adita.
Tapi rumah mungil yang alamatnya dia dapat dari Muntadi itu kosong. Steve
mendadak teringat. Pasti Adita ada di rumah sakit, menemani Rafael. Demi
mengingat bahwa semuanya itu cuma sandiwara belaka, amarah Steve memuncak lagi.
Dan dia sendiri sebenarnya tidak tahu, dia marah untuk apa.
Dengan
langkah panjang Steve kemudian menyeberangi lobby
rumah sakit. Wajahnya dingin membeku. Pun ketika dia membuka pintu kamar rawat
Rafael dengan kasar. Membuat Rafael dan Adita di dalamnya hampir terlonjak
kaget.
Sebelum
keduanya sempat membuka mulut, Steve sudah melemparkan map bersampul bening
yang sedari tadi ditentengnya. Hampir mengenai wajah Adita, dan mendarat dengan
telak di atas tangan Rafael yang ditusuk jarum infus. Membuat Rafael meringis
dan mendesis seketika.
“Ya,
Tuhan...,” ucap Adita dengan wajah dipenuhi keterkejutan yang sangat. “Ada apa
ini?”
“Seharusnya
aku yang bertanya padamu, Pelacur!” Steve menatap Adita dengan mata menyala.
“Surat perjanjian apa itu?!”
Adita
ternganga mendengar gelegar suara Steve. Apa
dia bilang? Pelacur? Begitu dia menyadari ucapan Steve, telapak tangan
kanannya langsung mendarat keras di pipi kiri Steve.
Plak!
Steve
terlambat menyadari gerakan tangan Adita. Terpaksa dia harus menerima tamparan Adita.
Terasa cukup panas dan pedih.
Mata
Adita berkaca menatap Steve. Dengan suara bergetar dia berucap, “Kamu boleh
menyakitiku, menghinaku, mengatai aku pelacur, melakukan apa saja terhadapku,
tapi jangan pernah sekali lagi kamu menyakiti saudara kembarmu sendiri!”
Adita
menoleh, menatap Rafael. Laki-laki itu hanya mampu menatapnya dengan sorot mata
yang sarat penyesalan, kesedihan, dan rasa terkejut yang amat sangat.
“Aku
pulang,” ucap Adita pelan dengan airmata meleleh. “Cepat sembuh ya...”
Dan
tanpa menunggu apa-apa lagi Adita bergegas menyambar tasnya dan melangkah
keluar. Meninggalkan kunci mobil di sebelah gelas minum Rafael.
“Dit...,”
Rafael berusaha menahan kepergian Adita dengan suara lemahnya.
Tapi
Adita sudah menjangkau pegangan pintu dan tak mau menoleh lagi. Rafael memejamkan
matanya. Tanpa dia lihat pun dia sudah tahu apa isi map yang tadi dilemparkan
Steve. Steve tetap membeku di tempatnya berdiri.
Sebutir
airmata menggelincir dari sudut mata Rafael. Hatinya sungguh sakit melihat
Steve berani berlaku sekasar itu terhadap Adita. Lebih sakit lagi karena dia
tak mampu mencegahnya. Tak mampu berbuat apa-apa.
Dan
butiran airmata itu juga yang menyadarkan Steve. Ya, Tuhan... Apa yang sudah kulakukan? Sebuah pemikiran yang terlambat. Dia sudah
terlanjur melakukannya.
“Raf...”
bisiknya sambil mendekati tempat tidur Rafael.
“Keluarlah,”
ucap Rafael, lirih tapi tegas.
“Raf,
aku...”
“Kamu
dengar aku?” Rafael mengucapkan tanya itu dengan suara bergetar menahan
kemarahan. Sarat dengan nada terluka. “Keluarlah!”
Steve
masih menatap Rafael dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Dan
sebagian besar adalah perasaan menyesal. Yang sangat.
“Kamu
boleh menghancurkan hidupku, Steve,” desis Rafael. “Kapan pun kamu mau. Dengan
cara apa pun. Tapi jangan pernah sebut Adita pelacur. Sekarang keluarlah!”
Steve
merasa dia tak punya pilihan lain kecuali menuruti kata-kata Rafael. Dia keluar
dan hampir bertabrakan dengan mamanya yang baru datang. Tapi dia membisu,
menunduk, dan terus berlalu.
* * *
“Katakan
padaku, An,” ucap Steve. “Rafael ataukah aku?”
Anna
tergugu di bawah tatapan mata Steve yang begitu menuntut. Pertanyaan yang
seharusnya sederhana itu pun tak mampu secepatnya dia jawab. Hatinya terbelah.
Sejak dulu, sebenarnya. Menyisakan rasa yang masih dia kenali bentuknya walaupun
dia berusaha mengusirnya pergi.
Rafael ataukah Steve?
Tentu
saja ada sebuah nama yang langsung muncul di pikirannya ketika tanya itu
menggema. Tapi kendali di otaknya masih bekerja cukup baik sehingga dia tak
spontan menyebutkan nama itu. Sehingga dia tak menyakiti Steve secara langsung
dan telak.
Dan
sejujurnya Steve sudah bisa meraba jawaban Anna. Dia hanya ingin memastikan.
Kemungkinan masih jawaban yang lain daripada apa yang sudah dia kira, sesuatu
yang pasti akan membuatnya sangat bahagia. Tapi melihat reaksi Anna yang tidak
spontan menyebutkan namanya, Steve tahu harapannya tinggal jadi sesuatu yang
kosong.
“Aku
tetap akan menikahimu,” ucap Steve lagi, patah. “Harus. Mungkin benar dalam hatimu
tak sedikit pun ada namaku, tapi anak dalam kandunganmu adalah anakku, anak
kita. Terutama karena aku mencintaimu, An. Sangat...”
Hingga
Steve pamit pulang, Anna tetap duduk tercenung dan membisu. Dan pada akhirnya
hatinya menerbitkan penyesalan yang sangat. Sesungguhnya dia bisa merasakan
cinta Steve yang begitu besar. Lalu kenapa sekedar menyebutkan nama Steve sespontan
mungkin saja dia tidak bisa?
Padahal
seutuhnya dia tahu bahwa bayang-bayang Rafael bisa dipastikan kian menjauh dari
kehidupannya. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Anna menghela napas
panjang. Apapun yang akan terjadi,
terjadilah, dipaksanya hati untuk berpasrah.
* * *
Sekali
lagi Steve harus menerima tamparan di pipi kirinya. Dari Lea. Mamanya. Dia
hanya mampu tertunduk dan berdiam diri. Juga ketika mamanya itu terduduk dan
menangis tersedu.
“Harus
bagaimana Mama memperlakukanmu, Steve?” ucap Lea di tengah derai airmatanya.
“Seandainya memang benar Adita itu pelacur, kamu nggak berhak memperlakukannya
seperti itu! Ya, Tuhan... Dan dia itu bukan pelacur, Steve! Bukan pelacur!!”
Sungguh
Lea merasa ada sesuatu yang lebur dari seluruh ucapan Rafael di kamar rumah
sakit tadi. Tentang kenyataan hubungannya dengan Adita. Tentang hatinya.
Tentang rasanya terhadap Anna. Tentang inginnya dia mengalah terhadap keinginan
Steve. Dan semua itu dibalas Steve dengan hinaan yang luar biasa terhadap Adita.
Perempuan baik-baik yang sudah bersedia membantunya walau dengan bayaran.
“Kamu
pikir apa yang dirasakan Rafael setelah kejadian Mega? Bertahun-tahun dia
didera rasa bersalah tanpa tahu gimana harus memperbaikinya. Dan sekarang
kejadiannya sama. Lalu apa ruginya kamu dapat Anna? Rafael salah. Ya, Mama
tahu. Tapi setidaknya dia nggak merugikanmu. Yang ada justru kamu yang membuat
peluangnya untuk mendekati Adita kembali jadi nol!”
Lea
menggelengkan kepala. Masih terbayang di matanya airmata yang meleleh di kedua
sudut mata Rafael. Juga getar suara Rafael yang sarat luapan emosi. Membuatnya
seketika merasa turut hancur dan diliputi kemarahan yang luar biasa pada Steve.
“Mama
menyerah, Steve,” ucap Lea, patah. “Lakukanlah apa saja yang kamu mau.”
“Ma...”
Lea
berlalu. Tak lagi berusaha mempedulikan suara lirih Steve. Dia hanya ingin
segera menyepi ke kamarnya sendiri. Ingin menikmati keheningan malam dan
seluruh luka di sendi hidupnya.
Dengan
seluruh lelehan airmatanya. Dengan seluruh sedu-sedannya.
* * *
Tanpa
suara, Adita menatap buku tabungan di tangannya. Sudah cukup untuk
mengembalikan uang Rafael.
Tapi itu berarti...
Adita
mendesah. Itu berarti hanya akan tersisa tak lebih dari tiga juta rupiah. Tak
cukup untuk biaya operasinya. Mungkin masih bisa mengharapkan hasil dari
warungnya, tapi harus berapa bulan lagi? Sementara rasa nyeri itu semakin
sering menghampirinya belakangan ini.
Diam-diam
dia menyesali keputusannya membuka warung dengan sebagian uang yang
diperolehnya dari Rafael. Hasilnya cukup menjanjikan. Bahkan sudah balik modal
hanya dalam jangka waktu sekian bulan. Hanya saja siapa juga yang menduga bahwa
akhirnya akan jadi seperti ini? Rafael bisa dipastikan tak akan mau uang ‘sewa’
itu dia kembalikan begitu saja. Tapi sungguh, dia tak mau terbeban dengan semua
yang sudah terlanjur terjadi.
Diterima
atau tidak, uang sejumlah tiga puluh juta rupiah itu harus dia kembalikan pada
Rafael. Entah bagaimana caranya.
Suara
ketukan di pintu membuat Adita buru-buru menyimpan buku tabungannya.
“Ya,
masuk,” ucapnya.
Salah
seorang karyawatinya membuka pintu sedikit dan melongokkan kepala. “Ada tamu,
Mbak.”
Adita
berdiri. Dan seketika dia merasakan nyeri pada perutnya. Sangat. Membuatnya
terbungkuk, merintih, dan mencengkeram tepi meja kuat-kuat. Sebelum tubuhnya
limbung sempat didengarnya sebuah suara meneriakkan namanya.
“Adita!”
Suara
laki-laki. Cukup dikenalnya walau tak akrab. Lalu semuanya gelap.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #29
PLAK!!!
BalasHapusAku nambahin lagi tamparan di pipi Steve. :p
Penasaran...............
BalasHapusGood post mbak
BalasHapus