Senin, 10 Agustus 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #29





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #28



* * *


Dengan kecepatan penuh, Steve mengemudikan mobilnya membelah jalanan. Berkali-kali dia melirik spion tengah, dan pemandangan di jok belakang tetap sama. Wajah karyawati Adita yang panik, dan wajah pucat pasi Adita yang terkulai tak sadarkan diri di sebelahnya. Rasa bersalahnya semakin menumpuk.

Siang itu dia memutuskan untuk mendatangi Adita dan meminta maaf pada gadis itu. Berharap segalanya berakhir manis dengan ucapan pengampunan dari Adita. Tapi yang dijumpainya adalah kejadian lain. Adita seakan menahan sakit yang amat sangat ketika dia datang. Untunglah dia masih sempat menangkap tubuh limbung itu sebelum terlambat.

Dan setelah perjalanan yang terasa paling panjang dalam hidupnya, akhirnya dia bisa mencapai rumah sakit dengan selamat. Dengan ban berdecit karena direm mendadak dari kecepatan tinggi. Tepat di depan IRD.

Secepatnya Adita ditangani, dan secepat itu pula sebuah kenyataan menghantam Steve. Ketika dokter yang merawat Adita memanggilnya. Dokter Mia Santosa, SpOG. Istri omnya sendiri.

“Steve, dia siapamu?” selidik dokter Mia.

“Pac... eh, kawanmya Rafael,” jawab Steve gelagapan.

“Adiknya udah tahu?”

Steve terpaksa menggeleng. “Aku nggak tahu, Tante.”

“Steve, dia harus segera dioperasi.”

“Sakit apa sebenarnya dia?”

Dokter Mia menatap Steve agak lama. Seperti menimbang sesuatu. Dan dia pun bertanya, “Sedekat apa kamu dengan dia?”

“Nggak terlalu dekat, Tante. Dia teman Rafael.”


“Teman dekat?”

“Ya,” jawab Steve tegas.

“Tante nggak bisa bilang padamu, Steve. Seharusnya adiknya yang Tante beritahu kondisi Adita. Karena dia nggak punya keluarga lagi selain adiknya.”

“Tan, bilang ajalah sama Mama. Mama kenal dia kok. Saya panggilin Mama ya, Tan? Mama ada di kamar Rafa.”

Dokter Mia terpaksa mengangguk. Terpaksa memilih sesuatu yang seharusnya menjadi pilihan terakhir. Memberitahu ‘orang luar’ tentang kondisi Adita. Karena segala sesuatunya sudah begitu mendesak.

* * *

Sedikit kehangatan itu membuat Adita membuka matanya. Terasa ada genggaman lembut di tangannya. Sakit itu masih terasa sedemikian menusuk. Tapi entah kenapa segalanya jadi berkurang dengan adanya genggaman tangan itu. Dia menoleh sedikit, dan mengeluh dalam hati ketika menyadari siapa pemberi kehangatan itu. Dipejamkannya matanya kembali.

“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sakit?”

Ada nada penyesalan yang sangat dalam suara lembut itu. Membuat Adita tergugu. Tanpa bisa ditahannya, butiran airmata meleleh dan meluncur jatuh dari sudut matanya.

“Uang itu untuk pengobatanmu kan? Bukan buat Velma?”

Dan lelehan airmata itu kini menderas. Disertai isak tertahan. Sebuah kepala menempel pada kepalanya, disertai bisikan yang begitu dekat, “Menangislah kalau itu membuatmu lega, Dit...”

Dan segala pertahanannya hancur. Adita tersedu. Dengan pipi Rafael menempel pada pipinya.

“Siapkan dirimu buat operasi ya?” bisik Rafael lembut. “Kamu nggak sendirian, ada aku. Kistamu harus segera diangkat, supaya kamu nggak kesakitan lagi.”

“Mas, makasih... buat semuanya...,” ucap Adita kemudian, terbata.

Rafael mengusap lembut rambut Adita. “Janji, kamu akan baik-baik aja ya?” bisiknya.

Adita mengerjapkan mata. Dan butiran bening itu mengalir lagi setelah Rafael harus pergi dengan kursi roda yang didorong seorang perawat. Kembali ke kamar perawatannya.

* * *

Segala pernak-pernik pernikahan itu disiapkan secara kilat. Terpaksa hanya sederhana mengingat tak ada waktu lagi untuk membuat pesta yang lebih meriah. Dengan teguh, Steve dan Anna bergandengan tangan untuk melampaui semua keruwetan itu.

Steve berusaha melupakan siapa yang sebenarnya ada dalam hati Anna. Steve sudah bertekad untuk melabuhkan seluruh cintanya pada Anna. Tanpa syarat. Dibalas ataupun tidak.

Ada yang berdenting dalam hati Anna melihat betapa Steve tiap kali menatapnya dengan penuh kekhawatiran, sekaligus cinta. Membuatnya secara penuh berusaha untuk menerima sosok Steve menjadi calon pendamping hidupnya. Dan melupakan jauh-jauh sosok Rafael walaupun itu bukan perkara yang mudah.

Rafael sendiri terkesan acuh tak acuh terhadap semua persiapan itu walaupun masih berusaha membantu sekadarnya di tengah minimnya waktu senggang yang dia miliki. Begitu kondisinya mulai pulih, dia sibuk menyelesaikan banyak perkerjaan yang tertunda selama dia sakit dan menyelesaikan beberapa pekerjaan Steve yang didelegasikan padanya sementara Steve mengurusi acara pernikahannya. Ketika tidak sedang berada di Bogor pun dia lebih banyak menemani Adita menjalani masa pemulihannya.

Lea cukup pontang-panting membantu Steve dan Anna menyiapkan semuanya. Dia satu-satunya orang yang berstatus ‘orang tua’ dalam keseluruhan acara itu karena orang tua Anna sendiri keduanya sudah tiada beberapa tahun yang lalu. Jemmy sendiri sudah menyerahkan semuanya pada Lea. Dan ketika semuanya siap, satu-satunya yang bisa dilakukan Lea adalah menarik napas lega, kendati belum bisa sepenuhnya karena hari H-nya masih akan berlangsung besok.

* * *

Anna menatap bayangannya di cermin. Dia akan menjadi seorang pengantin hari ini. Sesuatu yang sungguh jauh dari bayangannya semula tentang sebuah pernikahan. Tapi tak ada waktu lagi untuk menyesali semua kebodohan yang telah dilakukannya bersama Steve. Yang ada sekarang hanyalah bagaimana memperbaiki semua hasil dari kebodohan itu dan menjalani hal-hal yang lebih baik.

Dihelanya napas panjang. Masih ditatapnya bayangan di cermin. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi dalam balutan gaun pengantin yang pas di badan. Ketika dia mencoba berdiri dan mengambil posisi menyamping, dia bernapas sedikit lebih lega karena kehamilannya belum begitu nyata terlihat.

“Cantik kok,” senyum Pradnya. “Banget...”

Anna turut tersenyum karenanya. Ditatapnya kekasih Jemmy itu.

“Jadi terpaksa langkahin Abang dan Kakak.”

“Nggak apa-apa,” Pradnya menggeleng ringan. “Jemmy dan aku memang belum siap kok.”

Anna kembali menatap cermin.

Apa yang akan terjadi, terjadilah...

* * *

Di mata Steve, Anna adalah pengantin tercantik yang pernah dilihatnya. Senyum Anna sudah melambungkan hati Steve sedemikian rupa hingga dia merasa yakin akan bisa melampaui hal terberat apapun di dunia ini bersama Anna.

Dan cahaya di mata Steve seketika meluruhkan semua keraguan Anna. Mungkin Steve memang bad boy, tapi hari ini semuanya seolah lebur dalam satu janji pernikahan yang diucapkannya sendiri dengan lantang dan mantap. Makin memupus semua kekhawatiran Anna tentang akan jadi apa pernikahan ini kelak.

Lea menatap semuanya itu dengan mata mengaca. Separuh tugasnya sudah selesai. Sudah diantarkannya Steve pada kehidupan barunya walaupun harus mengalami banyak jalan berliku dan berbagai peristiwa yang cukup membuatnya sakit kepala. Diam-diam dia melirik ke samping kanan. Pada Adita yang duduk manis tepat di sebelahnya, dan Rafael di sebelah Adita. Pelan, dihelanya napas panjang.

Masih ada separuh lagi tugas yang belum selesai. Entah mengapa dia merasa bahwa apa yang akan dihadapinya esok tidaklah semulus yang dia harapkan. Masih banyak yang terasa ‘gelap’ dari hubungan Rafael dan Adita. Membuat jantungnya berdebar lebih kencang bila memikirkannya.

Rafael sendiri menatap semua acara yang berlangsung itu dengan hati luar biasa kosong. Bagaimanapun Anna masih bisa menggoncang setiap sisi hati yang dia miliki. Walaupun sudah ada Adita di sisinya, tapi sesungguhnya bayangan Anna masih juga ada di setiap sudut tersembunyi di hatinya.

Adita bukannya tak menyadari hal itu. Semuanya perlahan membuat hatinya sendiri gamang untuk melanjutkan apa yang sudah dia mulai bersama Rafael. Ditatapnya kebahagiaan Steve dan Anna di depan matanya itu. Pelan dia menghela napas panjang.

Apa yang akan terjadi, terjadilah...

* * *

Bersambung ke episode terakhir : Rinai Renjana Ungu #30


2 komentar: