Rabu, 19 Agustus 2015

[Cerpen Stripping] Bawakan Sepotong Mimpi #3






Fiksi kolaborasi dengan Ryan Mintaraga


Episode sebelumnya : Bawakan Sepotong Mimpi #2

* * *

Sulit rasanya konsentrasi pada pekerjaannya setelah sepotong nama Didit seolah kembali dalam hidupnya. Loli menatap layar laptopnya dengan wajah kuyu. Menahan pening yang mendera kepalanya.

Entah sudah berapa malam ia terserang insomnia dadakan. Seolah seluruh udara di dalam kamarnya penuh dengan huruf-huruf nama Didit beserta seluruh kenangan yang pernah ia miliki bersama laki-laki itu.

Seperti apa dia sekarang? Masihkah ada kesempatan untuk bertemu lagi dengannya? Setidaknya untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf terakhir dari Mama...

“Li...”

Loli tersentak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar laptop dan mendapati atasannya sudah berdiri tegak di depan mejanya. Menatapnya dengan kening berkerut.

Kamu sakit? Lagi nggak enak badan?  Kalo memang lagi sakit, kamu istirahat aja.”

Loli menatap Bu Dyah dengan pandangan nyaris kabur.

“Ah, nggak kok, Bu. Nggak apa-apa...”

“Eric sehat?”

“Sehat, Bu,” Loli mencoba untuk tersenyum.

“Hm... kalau ada apa-apa, ceritalah padaku, Li.”

“Iya, Bu, terima kasih.”

“Ya sudah. Aku keluar makan dulu ya? Kamu sendiri jangan telat makan, Li.”

“Baik, Bu...”

Sepeninggal Bu Dyah, Loli segera saving pekerjaannya, kemudian mematikan laptop. Baru saja ia hendak beranjak, telepon di meja kerjanya berdering.

“Halo, selamat siang. Dengan Lolita di sini,” sapanya.

Siang, Mbak Loli... Mbak, ada tamu yang nunggu di lobby, mau ketemu sama Mbak,” terdengar suara resepsionis di ujung lain telepon.

Loli mengerutkan kening. Seingatku aku nggak ada janji ketemu klien hari ini.

“Tamu? Siapa ya?”

Bapak Anindito, Mbak.”

Loli terhenyak.

Anindito? Jangan-jangan...

"Anin... dito?" ulangnya.

"Ya, Mbak.  Katanya dari PT SMMC."

SMMC?

“Gimana, Mbak?” terdengar tanya resepsionis.

Loli tersentak.

“Ya, ya. Aku segera turun, minta beliau untuk menunggu sekitar 10 menit lagi. Makasih ya...”

“Sama-sama, Mbak...”

Butuh waktu beberapa menit untuk Loli menenangkan hatinya yang sontak bergemuruh begitu resepsionis di ujung sana menyebutkan nama Anindito.

Anindito? Didit? Benarkah?

* * *

Loli merasa lift yang membawanya turun dari lantai 41 Menara Swasana tempatnya bekerja bergerak sangat lambat.  Sebentar-sebentar diperhatikannya deretan angka penunjuk posisi lift.

26... 17... 8...

Begitu lift tiba di lobi, ia buru-buru keluar seiring dengan debaran jantungnya yang terasa kian kencang. Tujuan pertamanya adalah toilet. Ia ingin terlihat sempurna di pertemuan pertama mereka setelah beberapa tahun berlalu.

Jika itu memang Didit...

Setelah memastikan penampilannya oke, Loli menarik nafas panjang dan membuangnya dengan keras.

You’ll be OK, Loli. You’ll be OK. Sekarang saatnya...

Dengan penuh keyakinan, Loli bergegas menuju lobi.  Diedarkan pandangannya ke sekeliling lobi.

Yang mana?

Ia tidak menemukan sosok Didit. Setidaknya Didit yang pernah ia kenal.

Ada apa?  Kok nggak ada?

Loli kecewa.

Mungkin memang bukan 'dia', mungkin memang Anindito yang lain...

Kembali ia menghela nafas, kali ini ia melangkah menuju resepsionis.

"Mbak Lia," sapanya, "Tamu saya pak Anindito mana ya?"

"Oh tadi pak Anindito terima telepon, kelihatannya penting.  Tapi dia bilang paling lama 20 menit lagi bakal balik ke sini," jawab resepsionis yang dipanggil Lia itu, "Pak Anindito juga minta maaf karena Mbak Loli harus menunggu."

"Begitu...," desah Loli.

Dilihatnya Lia yang senyum-senyum penuh arti.

"Kenapa?" tanya Loli, "Apa ada yang aneh denganku?"

Lia masih saja senyum-senyum, dan ini membuat Loli makin penasaran.

"Kenapa sih?" tanyanya.

"Orangnya keren lho, Mbak," Lia akhirnya membuka mulut.

"Siapa?" tanya Loli lagi.

"Tamunya."

"Pak Anindito?"

Lia mengangguk,

"Kayaknya sih dia kerja di perusahaan asing," tebaknya.

"Kok kamu bisa ambil kesimpulan seperti itu?" selidik Loli.

"Mbak, aku kan sudah biasa tiap hari ngeliat orang di sini," gadis itu menjelaskan. "Dari penampilan orang itu, aku biasanya bisa nebak apa pekerjaannya.  Aku kan juga masih nyari Mr. Right, Mbak."

Mereka berdua tertawa.

"Kamu itu," tukas Loli. "Emang tipe Mr. Right-mu itu seperti apa sih?"

"Yang seperti Pak Anindito itu," Lia terkikik, "Udah keren, lucu pula."

Didit? Keren? Sejak kapan?

"Cocoklah sama Mbak Loli," sambung Lia, "Tapi kalo Mbak nggak mau, ya... apa boleh buat? Mungkin dia jodohku..."

Loli dan Lia terkikik bersama.

"Kamu ini...," timpal Loli. "Kamu itu masih 'bayi' kok udah semangat ngomongin jodoh."

"Iya dong Mbak," Lia tak mau kalah, "Masa depan itu kan harus direncanakan mulai dari..."

Mendadak Lia menghentikan kalimatnya, ia menegakkan duduknya dan memasang wajahnya yang paling manis.  Matanya memandang ke satu arah.

"Mbak, itu dia..." Lia berbicara dengan tetap mengatupkan bibirnya, "Itu orangnya."

Deg!

Loli merasa dadanya kembali bergemuruh, apalagi ketika ia melihat tingkah Lia yang nampaknya memang benar-benar terpesona pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

Ia ingin menoleh.

Tapi ia tidak berani.

"Mbak," desis Lia, "Orangnya berhenti."

"Maksudnya" tanya Loli.

"Iya, mungkin dia tau ada Mbak di sini.  Dia sekarang diem aja di tengah lobi."

Loli bimbang.

Haruskah aku menoleh? Sudah siapkah aku? Apa itu memang dia? Tapi kalo memang bukan, kenapa dia mendadak berhenti?

"Mbak...," Lia menegurnya, "Gawat, Mbak.  Gawat!"

"Gawat kenapa?" tanya Loli.

"Pak Anindito... dia..."

"Kenapa?"

"Dia... keliatan bimbang, dan sekarang mulai berbalik, Mbak,” Lia mulai panik.

Jangan!

Refleks Loli menoleh.

Dilihatnya punggung seorang lelaki yang berjalan dengan pelan, tampaknya sedang bergulat dengan keraguannya.  Lelaki itu berjalan ke pintu utama.

Tunggu!  Teriak hati Loli.

Langkah lelaki itu mulai semakin cepat. Tanpa sadar Loli menggerakkan langkah. Mengejarnya.

Tunggu! Benarkah itu kamu?

"Pak!" Loli yang sadar tak akan mampu mengejar langkah lelaki itu berseru, "Pak Anindito!"

Apa yang akan kamu lakukan jika dia memang Didit?

Sebersit keraguan muncul di benak Loli.

Apa kamu berniat merajut kembali kisah kalian berdua? Kamu pernah menyakitinya, meninggalkannya. Masihkah dia membuka hatinya untukmu?

“Pak!  Pak Anindito!”

Mendengar seruan Loli, lelaki itu menghentikan langkahnya.

"Pak Anindito!" seru Loli kembali.

Lelaki itu menoleh mendengar panggilan Loli.

* * *

Bersambung ke : Bawakan Sepotong Mimpi #4



7 komentar:

  1. hadeeeehhh...
    BALIK HOYYY...
    BALIK !!!
    HOOOYYY... !!!
    DI SINI LOLI-NYA HOOOOYYYY... !!!

    sambit sandal...

    BalasHapus
  2. Nunggu invoice......eh nunggu lanjutan.....

    BalasHapus
  3. Theme song nya asli apa kw mba?
    Kikikikikik *mblayu

    BalasHapus
  4. senengnya bisa ketemu yang romantis lagi....baca yg ini dulu yang ke 2 dan 1 besok ya mbak...ditunggu kelanjutannya..

    BalasHapus