Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #6
* * *
“Mau ke mana kita?” Reddy menoleh sekilas ke
arah Madri.
“Mm...,” Madri berpikir sejenak. “Gimana
kalau kita ke Food Truck Festival?
Aku dengar dari teman-teman kuliahku, banyak makanan enak di sana.”
“Hm... boleh... boleh...,” Reddy
menyetujuinya. “Di mana tempatnya?”
Madri pun menyebutkan lokasi diadakannya Food Truck Festival itu dengan mata
berbinar.
Ini sudah hari Sabtu ketiga ia keluar bersama
Reddy. Setelah yang pertama pergi nonton, kemudian yang kedua ‘mengobrak-abrik’
toko buku, kini mereka akan meluncur ke tempat lain.
Ketika sampai di tempat, Reddy cukup
kesulitan mencari lahan kosong untuk parkir. Akhirnya setelah dua kali memutari
area parkir, Reddy pun menemukan tempat untuk mengistirahatkan mobilnya.
“Wah, ramai juga ya?” Reddy mengedarkan
tatapannya ke sekeliling area Food Truck
Festival.
Tempat itu tampak dipenuhi aneka mobil
modifikasi dengan warna-warni ceria. Semua mobil van, pick-up, SUV, MPV yang
berada di sana memang sengaja dikondisikan sebagai warung bergerak.
Segera saja mereka berdua mengelilingi area
festival itu. Memanjakan mata sekaligus menikmati es krim cone. Bingung menentukan pilihan hendak mampir ke mana.
“Mas, ke situ yuk!”
Reddy mengikuti arah yang ditunjuk Madri. Van
Penyet Boi. Di atas sebuah van tua yang sudah dimodifikasi total, ada
daftar menu yang ditulis secara artistik. Ada aneka penyet-an. Iga, ayam, bebek, lele, sate usus, sate jeroan, tahu,
tempe, jamur. Semua ditawarkan dalam bentuk goreng ataupun bakar. Menarik!
Tapi...
“Repot makannya, Dri,” ucap Reddy kemudian.
“Nanti tangan kita bau sambel lagi.”
Madri menggigit bibir bawahnya. Makan penyet-an dengan sambal memang harus
siap belepotan. Tapi itulah asyiknya. Apalagi ada area lesehan di sebelah van itu.
“Asyik ‘kali, Mas...,” gumam Madri.
“Ke sana aja yuk!” Reddy sudah menarik tangan
Madri.
Madri terpaksa menuruti langkah Reddy ke
sebuah truck yang menyediakan aneka steak. Setengah hati, karena biasanya
hanya disediakan kentang sebagai pendamping steak. Kurang nendang di perutnya.
Dan benar saja! Yang kemudian terhidang di
depannya adalah sirloin steak dengan
kentang goreng dan setup sayuran. Enak, tentu saja. Dan cukup mengenyangkan.
Tapi sama sekali tidak memuaskan perutnya. Perut orang Indonesia selalu
membutuhkan nasi. Itu yang tidak didapatnya kali ini.
“Eh, kamu mau kue cubit, apa crepes, apa pancake? Atau apa?” tanya Reddy, seusai mereka makan.
“Tadi aku lihat ada pempek di sebelah sana,”
Madri menunjuk ke sebuah arah.
“Aduh... bosen ‘kali, Dri...,” gumam Reddy.
“Beli crepes aja yuk!”
Dan untuk kedua kalinya Madri terpaksa
mengikuti Reddy.
* * *
Madri melongokkan kepalanya dan menemukan
Jatmiko sedang berselonjor di atas sofa di selasar samping. Pelan ia mendekat.
“Pa...”
“Hm...,” Jatmiko mengalihkan tatapan dari
buku yang tengah dibacanya.
“Keluar yuk!”
“Ke mana?”
“Ke mana, kek!”
“Hm...,” Jatmiko melihat ke arah arlojinya,
masih pukul lima sore. “Kamu nggak keluar sama Reddy?”
Madri menggeleng. Jatmiko menurunkan kakinya,
kemudian meletakkan buku yang dipegangnya di atas meja. Madri menjatuhkan
dirinya di sebelah Jatmiko.
“Kok manyun gitu?” senyum Jatmiko.
“Makanya, ayo dong, kita jalan,” rajuk Madri.
“Mumpung Mama lagi ke luar kota dan Mas Kresna camping.”
“Iya... iya... Boleh deh...,” Jatmiko
berdiri. “Papa ganti baju dulu.”
Beberapa menit kemudian Jatmiko sudah
meluncurkan SUV-nya keluar dari garasi, dengan Madri duduk manis di sebelahnya.
Gadis itu setuju saja ketika Jatmiko mengatakan akan sekalian mampir sebentar
ke kedainya. Dan selesai dengan urusan di kedai, Jatmiko meluncurkan mobilnya
ke Food Truck Festival sesuai
permintaan Madri.
* * *
“Aku Sabtu sore lalu ke sini sama Mas Reddy,”
ucap Madri sambil menjilati es krimnya.
“Terus?” Jatmiko melakukan hal yang sama
dengan putrinya.
Mereka duduk berdampingan di sebuah bangku
beton, benda yang banyak bertebaran di area itu.
“Mas Reddy itu nyebelin,” gerutu Madri.
“Diajak makan penyet-an, ogah
tangannya bau sambel.”
Jatmiko hampir terbahak karenanya. Tapi ia
masih berusaha untuk menahan diri.
“Nawarin cemilan juga gitu. Dia tanya aku mau
apa, aku jawab pempek. Dia malah bilang bosen, akhirnya maksa beli crepes.”
“Hm...”
“Sabtu sebelumnya juga gitu. Aku masih betah
di toko buku, dia udah ngajak ke atas. Katanya mau beli kemeja. Minta dipilihin
yang bagus, udah aku pilihin, malah pilihannya sendiri yang dibeli.”
Jatmiko tetap sabar mendengarkan.
“Yang Sabtu sebelumnya lagi, yang ngajak
nonton itu, filmnya juga pas nggak gitu bagus. Pas pulang, masih aja dia bete.
Ngomel melulu soal film itu. Tambah sebel aja dengernya, Pa.”
“Kalau Galang, gimana?” tanya Jatmiko
kemudian, hati-hati.
“Mas Galang nggak pernah gitu,” Madri
menghela napas panjang. “Dia selalu tanya aku maunya gimana. Dia juga kalau
punya kepentingan, ngomongnya enak. Jadi bisa sama-sama ngertinya. Nggak ada
paksa-paksaan.”
“Jadi lebih enak mana?” senyum Jatmiko. “Sama
Reddy atau sama Galang?”
“Sama Mas Galang, Pa,” jawab Madri lirih,
tertunduk.
“Sejujurnya, Mama sama Papa itu lebih nyaman
melihatmu bersama Galang,” ucap Jatmiko lembut. “Kenapa? Karena bisa dibilang
umur kalian nggak beda jauh. Model komunikasinya hampir sama. Sudah lama saling
kenal pula. Galang selama ini juga bisa menjagamu. Kalian juga sudah saling
mengerti dengan baik.”
“Tapi kan dia mutusin aku, Pa,” telaga bening
mengembang di mata Madri.
“Bukan mutusin,” Jatmiko mengelus kepala
Madri. “Dia hanya kasih kamu kesempatan untuk mencoba pola hubungan yang lain.
Itu juga karena kamu kentara betul sukanya sama Reddy.”
“Ya habisnya kan dari dulu aku memang suka
sama Mas Reddy, Pa,” bisik Madri.
“Iya, Papa ngerti,” Jatmiko merengkuh bahu
Madri. “Galang juga menyadari itu. Mama sama Papa nggak akan ikut campur
memaksamu memilih siapa. Kamu sudah mulai dewasa, Dri. Bisa berpikir dan
memilih yang terbaik buat dirimu sendiri.”
Madri menyandarkan kepalanya dalam pelukan
Jatmiko. Terasa hangat, aman, dan nyaman.
“Papa lapar, Dri. Enaknya kita makan di
mana?” Jatmiko menepuk-nepuk perutnya.
Madri menegakkan kepalanya. Wajahnya lebih
cerah sekarang.
“Itu, Pa, penyet-an
yang aku bilang itu...,” Madri menunjuk ke satu arah. “Kayaknya enak. Tempatnya
ramai.”
Jatmiko pun menyetujui pilihan putrinya. Ada
satu tempat kosong di area lesehan ketika mereka tiba di sana. Belum
dibersihkan. Tapi begitu mereka duduk, seseorang datang membersihkan meja
pendek itu.
“Selamat sore,” sapa gadis itu ramah. “Maaf,
saya bersihkan dulu mejanya ya? Om sama Mbak bisa pilih menu dulu.”
Jatmiko dan Madri berbarengan mengucapkan
terima kasih. Beberapa saat kemudian gadis pelayan itu menerangkan dengan ramah
beberapa hal yang ditanyakan Jatmiko dan Madri.
“Maaf, karena lagi ramai, mungkin pesanannya
agak lama. Sekitar setengah jam. Bisa sabar menunggu?” senyum gadis itu.
Jatmiko dan Madri bertatapan sejenak.
“Gimana, Pa?”
“Nggak apa-apa sih,” jawab Jatmiko. “Nanti
kamu tunggu di sini. Papa cari cemilan dulu.”
Madri mengalihkan tatapan ke arah si gadis
pelayan. “Oke, Mbak, kami tunggu saja.”
* * *
Elga menjepit kertas pesanan yang baru saja
dibawanya sesuai urutan. Sekilas ia melihat Galang tengah melamun. Didekatinya
pemuda itu.
“Lang, kamu kalau capek pulang aja,”
disentuhnya bahu Galang. “Besok kan kita harus start lagi pagi-pagi.”
Galang menatap Elga. “Kamu sendiri? Nggak
capek?”
“Ini udah kerjaanku, Lang,” senyum Elga.
“Lagian kan aku nggak kerja sendiri. Kalau kamu kan terikat banget sama jam
kantor.”
Galang meringis, “Nasib orang upahan.”
Elga tergelak. Tapi ucapan Galang kemudian
membuat Elga terdiam.
“Yang barusan kamu layanin, itu Madri.”
“Hah?” Elga terbelalak. “Serius? Lha om-om
itu?”
“Itu papanya,” Galang tersenyum tipis.
“Oh, kirain cowoknya yang baru itu.”
Galang menggelengkan kepalanya. “Udah deh,
aku pulang.”
“Aku antar,” sahut Elga, cepat. “Sini kunci
motormu. Biar besok aku jemput kamu pakai motormu. Sekarang aku antar kamu
pulang pakai mobil.”
“Nggak usah, El,” tolak Galang.”
“Lang, dengan kondisimu kayak sekarang, aku
nggak yakin kamu bakal selamat sampai ke rumah.”
Galang menatap Elga. Ada sinar tak terbantah
dalam mata Elga. Membuat Galang menyerah. Lagipula...
Ah...
Sedetik Galang menatap Madri yang tengah
membaca ulang kartu menu di sudut terjauh dari jendela van.
Aku
kangen kamu, Dri...
* * *
Pada detik yang sama Madri mengangkat
kepalanya. Ketika Galang dan Elga berjalan beriringan. Dengan tangan Galang
otomatis menggandeng tangan Elga dalam suasana ramai seperti itu.
Madri mengerjapkan mata beberapa kali.
Berharap setiap kali ia membuka mata, yang terlihat bukanlan Galang dan gadis
yang tadi melayani pemesanan menu. Tapi nihil. Yang dilihatnya memang Galang
dan gadis itu. Dihelanya napas panjang dengan sedih.
Tampaknya ia dan Galang makin jauh saja.
Beberapa saat yang lalu ia masih berharap hubungannya dengan Galang akan
kembali seperti semula. Tapi sekarang?
Pantas
saja gampang banget dia mutusin aku!
Dengan kasar dibersitnya airmata yang mulai
mengembang.
* * *
“Mas Galang jalan sama cewek lain,” Madri
tersedu dalam pelukan Jatmiko di dalam mobil yang masih berada di area parkir.
Tangis itu sudah ditahannya sejak tadi. Dan
tiba-tiba terlampiaskan begitu saja begitu Jatmiko menutup pintu mobil.
“Kamu kenal?” tanya Jatmiko lembut.
“Cewek yang tadi layanin kita. Yang catatain
pesanan kita.”
“Oh...,” Jatmiko makin erat memeluk Madri.
Hingga beberapa saat lamanya Madri masih tersedu.
Jatmiko menunggu dengan sabar hingga tangis Madri tinggal hanya isakan-isakan kecil.
Ia melepaskan pelukannya pada Madri.
“Kita pulang sekarang ya?” ucap Jatmiko. “Nanti
di rumah kalau kamu mau nangis lagi, boleh. Nanti Papa peluk lagi.”
Madri tak menjawab. Hanya duduk diam. Bersandar
lesu. Dan Jatmiko pun pelan-pelan menekan pedal gas SUV-nya.
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #8
Selasaaaaaa? Senin sore aja habis paginya Bara. *mekso*
BalasHapuswalaaah hubungane tambah rumiiit, kasihan Galang :-(
BalasHapusnice post mbak
BalasHapusMakin seru :)
BalasHapus