Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #5
* * *
Sambil berjalan ke arah parkiran motor,
Galang membuka BBM-nya. Ada beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Paling atas
dari Elga.
Lang,
hari Sabtu jadi nggak?
Secepatnya Galang menuliskan balasan : Sabtu ini nggak bisa, El. Aku harus masuk
kerja. Minggu gimana?
Lama tak ada balasan dari Elga. Galang
membaca sekilas semua pesan yang masuk sebelum pesan Elga sambil duduk di atas
jok motornya. Sambil tetap menunggu balasan dari Elga, Galang mencari nama
Madri dalam kontaknya. Seketika rasa sesak memenuhi dadanya ketika tak
mendapati lagi nama Madri.
Dia
menghapusku?
Galang kembali menelusuri list dalam BBM-nya. Sama. Nihil. Dan
kini rasa sesak itu bertambah dengan rasa nyeri. Diusapnya wajah dengan tangan
kirinya sambil menarik napas berkali-kali.
Ia tak lagi menunggu balasan dari Elga.
Dengan cepat dikenakannya helm dan jaket. Sejenak kemudian ia sudah menarik gas
motornya. Pulang. Dengan pikiran entah melayang ke mana.
* * *
Madri mematut dirinya agak lama di depan
cermin. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya saat hendak berkencan dengan
Galang. Kencan yang pertama sekali pun. Tapi kali ini lain. Karena yang
mengajaknya nonton bukan Galang, melainkan Reddy.
Ditatapnya bayangan dirinya yang tengah
berkacak pinggang. Celana panjang jeans
dan polo-shirt adalah busana yang
sangat disukainya. Nyaman, pantas, dan membuatnya leluasa bergerak. Apalagi
bila harus berboncengan motor.
Tapi...
Madri menghembuskan napasnya keras-keras
melalui mulut. Entah kenapa ia ingin tampil manis sore ini. Supaya terlihat
pantas berada di samping Reddy yang jauh lebih dewasa darinya.
Hm...
Pada akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah
blus katun berwarna biru muda dengan krah lebar dari renda putih yang cukup
manis. Menggantikan polo-shirt
berwarna merah yang tadi dikenakannya. Sekali lagi ia mematut dirinya di depan
cermin.
Lumayan...
Tapi...
Ia masih belum puas. Digantinya celana jeans-nya dengan rok jeans selutut. Kurang nyaman
dibandingkan dengan celana panjang, sebetulnya. Tapi ia tak punya pilihan lain
demi terlihat lebih menarik. Ketika hendak meraih sepatu flat berbahan jeans yang biasa
dipakainya, mendadak gerakannya terhenti.
Yang
benar saja?!
Maka ia ganti meraih sepasang loafers yang terbuat dari kulit
berwarna hitam. Terakhir, ia memasukkan dompet, ponsel, sheer-colored lip balm, dan sebuah tali rambut berwarna hitam ke
dalam sebuah tas hitam kecil bertali panjang yang diselempangkannya menyilang dari
bahu kanan ke pinggul kiri. Keseluruhan penampilannya terlihat segar dan cantik
dengan rambut yang dibiarkannya terurai.
Maka yang bisa ia lakukan sekarang adalah
menunggu kedatangan Reddy.
Huuuf...
Madri tersenyum simpul ketika menyadari
betapa ribetnya ia mempersiapkan diri untuk kencan pertamanya ini. Semuanya itu
menimbulkan sensasi lain di hatinya. Geli yang menggelitik berbaur dengan
perasaan senang tak terhingga.
* * *
Pelan-pelan Reddy menepikan mobilnya. Sekilas
dilihatnya Jatmiko sedang ada di halaman depan rumah. Sedang menyiram taman,
dengan Swandini tengah berjongkok merapikan beberapa perdu pendek di dekat
Jatmiko. Setelah menekan tombol alarm, Reddy pun melangkah mendekati pintu
pagar.
“Selamat sore, Pak, Bu,” sapanya sopan.
Jatmiko dan Swandini sama-sama menoleh.
“Hei, Dy! Masuk!” senyum Jatmiko.
Reddy pun membuka pintu pagar yang tak
terkunci itu.
“Kamu mau lembur?” tanya Jatmiko langsung.
Reddy menggeleng. “Maaf, Pak, Bu, saya mau
minta ijin untuk mengajak Madri keluar. Nonton.”
“Oh...,” wajah Jatmiko terlihat ragu-ragu.
Ditolehnya Swandini. Sorot matanya
memancarkan tanya. Sedetik Swandini melebarkan matanya.
“Tunggu sebentar ya, Dy, Ibu panggil Madri
dulu,” ucap Swandini sebelum berlalu, masuk ke dalam rumah.
“Ya, Bu, makasih,” Reddy mengangguk.
Swandini melangkah cepat menuju ke kamar
Madri. Pintu kamar itu tertutup rapat, dan ia mengetuknya pelan.
“Dri...,” panggilnya lembut.
Pintu itu segera terbuka. Swandini terbengong
sejenak ketika melihat dandanan Madri tak seperti biasanya.
“Kamu mau ke mana?”
“Nonton,” jawab Madri, terlihat malu-malu.
“Sama siapa?” Swandini mengerutkan keningnya
sedikit.
“Mas Reddy,” suara Madri melirih.
“Hm...,” Swandini mengangguk-angguk.
“Galang?”
“Dia mutusin aku,” mendadak bibir Madri
mengerucut.
“Kapan?”
“Abis aku ultah itu.”
“Kenapa?”
“Katanya aku lebih cocok sama Mas Reddy.”
“Hm...”
Swandini terlihat serba salah. Tapi ia
berusaha untuk menutupi perasaannya.
“Tuh, Mas Reddy-nya sudah datang,” ucap
Swandini kemudian. “Jangan pulang terlalu malam ya? Jam sembilan sudah harus di
rumah.”
“Ma...,” Madri merajuk seketika. “Biasanya
kalau malam Minggu boleh sampai jam sebelas kenapa sekarang cuma dikasih ijin
sampai jam sembilan doang sih?”
“Dri,” ucap Swandini sabar, tapi tegas. “Mama
selama ini mempercayai Galang untuk menjagamu. Dan sekarang kamu pergi bukan dengan Galang. Jadi... Pulang jam
sembilan. Nggak boleh lebih.”
Madri tak berkutik mendengar nada tak
terbantah yang dikumandangkan Swandini. Dihelanya napas panjang sebelum
menyetujui syarat dari mamanya.
* * *
Jatmiko sudah sekian menit menahan diri untuk
tidak bertanya soal Galang dan Madri. Begitu mobil Reddy menghilang dari
pandangan, ditatapnya Swandini.
“Sebetulnya ceritanya itu bagaimana, Ma?”
“Madri bilangnya diputusin Galang setelah
ulang tahunan itu,” Swandini mengangkat bahu. “Tapi kejadian sebenarnya aku
belum tahu, Pa.”
“Hm...”
Jatmiko menggulung selang yang dipegangnya
sambil berpikir-pikir. Beberapa saat kemudian, sambil menunggu Swandini
mengambil minuman, dengan santai ia duduk berselonjor di lantai teras depan.
Sejenak ia menatap ponsel yang sudah berada di tangannya. Menimbang-nimbang
sesuatu. Akhirnya ia memutuskan untuk menghidupkan layar ponselnya.
Tak ada tanggapan dari seberang sana. Dari
orang yang diteleponnya. Hingga tiga kali ia menelepon. Hasilnya tetap nihil.
Tapi tepat ketika ia meletakkan ponselnya di sisi tubuh, benda itu berbunyi.
Jatmiko meraihnya.
“Halo, sore...”
“Met
sore, Om. Maaf saya terlambat angkat telepon dari Om.”
“Iya, nggak apa-apa. Kamu lagi di mana?”
“Masih
di jalan, Om. Mau pulang.”
“Dari mana memangnya?”
“Saya
masuk kerja, Om.”
“Oh...,” Jatmiko sekilas menatap Swandini
yang datang membawa nampan berisi minuman dan cemilan. “Kamu bisa mampir ke
sini sebentar?”
“Ng...”
“Sebentar saja, Lang,” ada sedikit nada mendesak
dalam suara Jatmiko.
“Ya
sudah, saya mampir.”
“Makasih ya, Lang. Om tunggu.”
“Iya,
Om, iya. Sama-sama.”
Jatmiko pindah duduk ke kursi panjang dan
meletakkan ponselnya ke atas meja. Swandini duduk di sebelahnya sambil
menyodorkan segelas teh hangat.
“Galang?”
Jatmiko mengangguk. “Kusuruh ke sini.”
“Anak-anak...,” gumam Swandini, tersenyum.
Jatmiko melingkarkan lengan kirinya di
sekeliling bahu Swandini. “Kita juga pernah jadi anak-anak.”
Senyum Swandini melebar. Direbahkannya kepala
di bahu Jatmiko.
* * *
Galang menatap sejenak layar ponselnya
sebelum kembali mengantongi benda itu di saku kemejanya. Rasa resah seketika
memenuhi hatinya. Ayah Madri sampai perlu meneleponnya.
Madri
kenapa?
Dihelanya napas panjang.
Aduh... Jangan-jangan dia kenapa-kenapa lagi
gara-gara aku putusin!
Galang tersentak.
Mungkin
keputusanku memang salah...
Ia cepat-cepat mengenakan kembali helmnya,
kemudian meluncur ke rumah Madri.
* * *
“Lang, sebenarnya ada apa?”
Galang tertunduk di bawah tatapan mata
Jatmiko. Kelelahannya terasa makin menumpuk. Beberapa detik kemudian ia
mengangkat kembali wajahnya.
“Maaf, Om,” ucapnya lirih. “Saya memang
bebaskan Madri untuk memilih yang terbaik buat dirinya.”
“Oh...”
“Saya tahu Mas Reddy sudah ada di hati Madri
sebelum saya lebih dekat lagi dengan Madri. Dan sekarang Mas Reddy kembali.
Madri juga sudah bukan anak-anak lagi. Jadi...”
Ucapan Galang terhenti ketika Swandini muncul
membawa nampan berisi tiga cangkir teh dan beberapa stoples kecil berisi aneka snack. Setelah Swandini menempatkan
dirinya di sebelah Jatmiko, barulah Galang meneruskan kalimatnya.
“Jadi saya pikir biarlah Madri coba jalan
dulu dengan Mas Reddy. Kalau dia merasa nyaman, ya...,” Galang angkat bahu,
“saya harus terima. Kalau sebaliknya yang terjadi, ya saya akan kembali jalan
dengan Madri. Dengan sangat senang hati.”
“Hm...,” Swandini menatap Galang dengan
lembut. “Sekarang Madri lagi jalan sama Reddy. Nonton. Maklumi Madri ya, Lang.
Madri masih anak-anak.”
“Nggak apa-apa, Tante,” Galang tersenyum tipis.
“Ayo, diminum dulu, Lang,” Swandini membuka
tutup stoples-stoples dengan cepat. “Ini dimakan juga, yuk!”
“Kerjaanmu gimana, Lang?” celetuk Jatmiko.
Galang kemudian bercerita tentang
pekerjaannya dengan sedikit lebih bersemangat. Swandini melihat dengan jelas binar yang
tersamar dalam mata Galang. Binar yang ada karena Galang benar-benar menikmati passion-nya di dunia kerja. Dunia baru yang
kelak akan menjadi kehidupannya.
Sesungguhnya ia sedikit menyesali Madri yang
terlihat lebih antusias untuk memulai petualangan baru dengan Reddy. Selama ini
ia merasa cukup nyaman melihat hubungan Galang dengan Madri. Galang di usianya yang
masih sangat muda bisa memahami sekaligus bisa membantu membimbing Madri dengan
baik. Apalagi Galang sudah sangat dikenalnya karena sudah bersahabat dengan
Kresna sejak ketiganya, bersama Denny, duduk di bangku TK.
Ah,
sudahlah..., desahnya dalam hati. Kita lihat saja nanti...
* * *
Setengah hati Galang menikmati air dingin
yang memancar dari shower di atas
kepalanya. Rasa penatnya berkurang sedikit. Tapi tidak dengan rasa resahnya.
Kalau tadi ia resah karena mengira Madri
kenapa-kenapa setelah menerima suratnya, kali ini ia resah karena ternyata
Madri sama sekali tidak apa-apa.
Malah kelihatannya menikmati betul kebebasannya untuk pergi bersama Reddy.
Galang tersenyum tipis. Pahit. Menikmati
sakitnya kekalahan yang ia rasakan. Sudah ngotot menunda kuliah di Australia,
sekarang malah naga-naganya ia akan tetap kehilangan Madri.
Tapi
sama saja. Daripada terus bersama Madri tapi pikiran dan perasaan Madri lari ke
mana-mana...
Ia berusaha menghibur diri.
Setelah menyelesaikan acara mandinya, Galang
segera menyusup di balik selimut di ranjangnya. Besok dia ada kegiatan yang
harus dimulai pagi-pagi. Bersama Elga.
Masih terngiang di telinganya suara cempreng tapi
manis milik Elga, “Pokoknya jam enam kamu udah harus sampai di sini.”
Galang pun mulai memejamkan matanya.
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #7
Mau ngapain jam enam sudah harus nyampek? Car free day? Hehehe....apa disuruh kerja bakti?
BalasHapusLanjutan wis....tambah gemes
nahlo... kuapokmu kapan...
BalasHapustu si galang dah mau jalan ma cewek lain...
kuapokmu kapaaaannnn...
#masihsebel #madrimanjabanget #bikingregeten #kuapokmukapan
good post mbak
BalasHapusMenyimak...
BalasHapus