Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #7
* * *
“Aku harus gimana dong, Mas?”
Kresna bertopang dagu sambil menatap Madri.
Yang ditatap balas menatap, menunggu jawaban. Sejenak kemudian tatapan Kresna
berubah jadi jahil.
“Kamu nggak salah, tanya soal itu ke jomblo
kronis kayak aku?”
Seketika Madri tertawa. Tapi berubah jadi
serius kembali ketika akhirnya Kresna menjawab dengan nada serius pula.
“Semuanya kembali sama kamu, Dri. Kamu nyaman
enggak, jalan sama Mas Reddy? Kalau kamu nyaman, kamu suka, ya sudah terusin.
Tapi kalau sebaliknya, ya...”
“Itu masalahnya,” gumam Madri. “Aku nggak
nyaman jalan bareng dia. Iya sih, aku suka. Tapi nyatanya nggak seindah yang
aku bayangin.”
Madri menyandarkan punggungnya. Masih
terbayang kejadian menjelang sore tadi, saat mereka makan sehabis nonton. Reddy
menyatakan I love you meskipun tidak
secara eksplisit. Mungkin karena usianya yang sudah dewasa, jadi pernyataannya
lebih berbelit walaupun Madri memahami sepenuhnya.
Alih-alih merasa melambung, senang, riang
gembira, Madri malah merasa terbeban. Ia merasa sudah tak asyik lagi bersama
Reddy. Rasa tak nyaman itu tak bisa dijelaskan. Hanya saja sudah berhasil
mengalahkan rasa suka yang sekian lama ini ia simpan untuk Reddy.
Ia belum memberi jawaban apa-apa. Hanya
mengatakan minta waktu beberapa hari untuk berpikir dulu. Sesuatu yang bahkan
tak dilakukannya saat Galang dulu menyatakan hal yang sama.
“Rasa nyaman itu nggak bisa dipaksa, Dri,”
celetuk Kresna, seolah mengerti apa isi kepala adik kesayangannya. “Aku ngomong
gini bukan karena Galang sohibku, tapi karena aku nggak ingin kamu salah
jalan.”
Madri menghembuskan napas panjang.
Masalahnya
sekarang, Mas Galang itu sudah punya cewek!
Madri mengerjapkan matanya.
Dan
kalau aku gagal dengan Mas Reddy, itu artinya statusku jadi jomblo.
Madri menatap Kresna. Abangnya itu tengah
duduk berselonjor di atas sofa. Asyik dengan ponselnya. Sesekali Kresna
tersenyum. Mungkin ada yang lucu di layar ponselnya. Tiba-tiba Kresna mengangkat
wajanya, kembali menatap Madri.
“Kamu tinggal hubungin saja Galang kalau kamu
sudah nggak sama Reddy lagi.”
Madri mendengus seketika.
“Lalu ceweknya Mas Galang itu harus
dikarungin dan dibuang ke mana?”
Kresna ternganga. “Cewek?”
“Memangnya Mas Kresna nggak tahu dia punya
cewek lagi?” Madri cemberut. “Makanya gampang banget dia mutusin aku.”
“Masak sih?”
Madri hanya melirik sekilas. Kresna
mengerutkan keningnya.
Memang sudah beberapa minggu ini Kresna tak
pernah bertemu Galang. Sejak Galang lulus kuliah dan bekerja, komunikasi mereka
juga makin jarang. Apalagi bersamaan dengan itu Madri dan Galang bubaran begitu
saja.
Hm...
Kresna kemudian kembali sibuk dengan
ponselnya.
* * *
Lang,
kamu masih hidup?
Galang tersenyum lebar membaca BBM dari Kresna.
Dengan cepat ia mengetikkan balasannya.
Hampir
mati. Kurus kering karena kangen sama adikmu.
Kresna : Hahaha...
Lebay! Kamu sibuk banget sekarang? Sibuk pacaran sama cewek baru?
Galang : Hahaha...
Bisa aja! Tapi iya, aku memang sibuk. Biar nggak mikirin adikmu terus.
Kresna : Dia
lagi bingung. Mulai nggak nyaman sama om-om itu. Lagian sama Mama, dia nggak
boleh pulang lebih dari jam sembilan kalau diajak keluar sama om-om itu.
Biarpun malam libur.
Galang : Oh
ya? Kasihan Madri...
Kresna : Kamu
sih, pakai bubaran segala!
Galang : Ya
kan aku kasih kesempatan dulu buat Madri, Kres. Biar dia ada pengalaman lain.
Eh, Kres, sorry ya, aku mau tidur dulu. Besok aku masuk kerja. Udah beberapa
weekend ini aku sibuk, nggak ada kesempatan istirahat. Nanti kapan-kapan aku
cerita ya?
Kresna : Oke
deh!
Galang meletakkan ponselnya di atas meja.
Sejenak kemudian ia melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Sambil berbaring,
ditatapnya langit-langit kamar.
Maafin
aku, Dri... Aku juga punya pengalaman baru beberapa minggu ini. Dan aku sedang
menikmatinya bersama Elga.
* * *
Reddy menatap Madri. Berusaha untuk tetap
tersenyum. Madri mengaduk minumannya dengan kepala setengah tertunduk.
Ditolak
ABG?
Pelan-pelan Reddy menghela napas. Kecewa?
Ya.
Sakit hati?
Tidak.
Sudah resiko.
“Iya... Aku memang suka sama Mas Reddy,”
Madri mengangkat wajahnya sekilas, berusaha jujur. “Dari dulu, dari jaman aku
masih kecil. Tapi ya... Kayaknya memang kita nggak cocok.”
Reddy mengangguk-angguk.
“Ya mungkin karena umur kita beda jauh,”
Madri melanjutkan ucapannya, tetap dengan suara lirih. “Dan aku sudah terbiasa
dengan Mas Galang. Jadi...”
“Iya, Dri, aku ngerti,” senyum Reddy. “Nggak
apa-apa kok. Mendingan jujur di depan begini daripada ke belakangnya nggak
enak.”
“Mm...,” Madri menatap Reddy sekarang. “Kita
jadi abang-adik aja, gimana?”
“Iya...,” senyum Reddy melebar. “Kayak gitu
mungkin lebih enak buat kita ya?”
Madri juga tersenyum. Terasa ada beban yang
terangkat dari pundaknya. Ditatapnya Reddy.
“Mas Reddy nggak marah kan?”
Reddy langsung menggeleng. Sungguh-sungguh.
Bagaimanapun juga ia menyayangi Madri.
“Ya sudah, kamu kembali saja sama Galang,”
Reddy mengedipkan sebelah mata.
Wajah Madri langsung tersaput mendung. Reddy
melihat perubahan itu.
“Kenapa, Dri?”
“Mas Galang sudah punya cewek lagi,” ucap
Madri sedih. “Makanya gampang banget mutusin aku. Dia sendiri sudah punya
inceran, rupanya.”
“Oh...”
Malam Minggu yang lalu, ketika keluar bersama
teman-temannya untuk nongkrong di Food
Truck Festival, Reddy memang sempat melihat Galang mondar-mandir di sekitar
van makanan penyet-an. Galang kelihatan dekat dengan seorang gadis yang
tampaknya berhubungan dengan van itu.
Cara mereka berbicara dan bercanda menunjukkan kedekatan yang lebih. Bukan lagi
sekadar teman.
Bukan itu saja. Sudah beberapa hari Minggu
pagi, saat ia sedang bersepeda, ia melihat Galang dan gadis itu sedang
membagikan nasi bungkus di sekitar daerah pemukiman kumuh yang dilewatinya.
Kelihatannya kegiatan itu adalah kegiatan rutin yang dijalani keduanya.
Mungkin
gadis itu yang dimaksud Madri...
Ditatapnya Madri, “Sementara kamu fokus sama
ujian semester saja dulu, Dri. Minggu depan sudah mulai minggu tenang ya?”
Madri mengangguk.
“Jangan sampai gagal hanya karena masalah
ginian. Oke?”
Madri kembali mengangguk.
* * *
Kehidupannya belakangan ini cukup melelahkan, tapi
entah kenapa Galang merasa senang menjalaninya. Berhubungan lebih dekat lagi
dengan Elga ternyata memberikan warna baru dalam caranya memandang apa yang ada
di sekitarnya.
Elga sama seperti dirinya, anak seorang
pengusaha. Usianya pun sebaya. Hanya saja selepas SMA Elga memutuskan untuk
menunda dulu kuliahnya. Gadis itu mencoba untuk berwirausaha dengan membuka
kedai makanan dalam bentuk food truck.
Tentu saja modalnya murni dari orangtua. Tapi dengan kesungguhannya, ia
berhasil mengembangkan usaha itu dari semula hanya satu van menjadi tiga van
dalam jangka waktu tiga tahun.
Bukan itu saja, sebagian keuntungan yang
diperoleh Elga digunakannya untuk membiayai proyek sarapan murah di beberapa kantong
kemiskinan. Dari awalnya dia hanya memiliki satu mobil pick-up untuk kegiatannya itu, sekarang ia sudah memiliki empat
mobil yang menyebar di empat tempat yang berbeda. Dan ia tak lagi sendirian,
karena berhasil menjaring beberapa donatur keuangan dan tenaga dari antara para
saudara dan teman. Meskipun proyek itu hanya beroperasi pada hari Minggu pagi,
tapi setidaknya Elga sudah berhasil berbuat sesuatu.
Sarapan yang disediakannya tidaklah gratis,
tapi harus ditebus dengan harga seribu rupiah per paketnya, terdiri dari
sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauk yang cukup, dan sebuah pisang. Elga
memang sengaja tidak menggratiskannya. Supaya orang tetap menghargai makanan
yang sudah dibeli.
Galang melihatnya sebagai sesuatu yang
mengagumkan. Dan yang bisa ia sumbangkan saat ini barulah waktu dan tenaga
setiap hari Sabtu untuk membantu Elga menjalankan usahanya, dan setiap Minggu
pagi untuk mendistribusikan sarapan murah itu. Cara menghabiskan waktu luang
yang tepat. Supaya ia tak terlalu larut dalam kesedihan setelah melepaskan
Madri.
* * *
“Papa suruh aku lanjutin kuliah,” ucap Elga.
“Gimana menurutmu?”
“Turuti saja,” jawab Galang sambil terus
menyetir mobil bak terbuka itu. “Kamu masih bisa terus mengendalikan usahamu
sambil kuliah. Toh anak buahmu sudah oke.”
“Iya sih...,” gumam Elga. “Sebenarnya aku
agak menyesal juga jadi terlambat kuliah kayak gini. Lihat kamu sudah lulus,
sudah mau S2, sementara aku belum apa-apa.”
“Tapi kan kamu punya pengalaman lebih, El.
Praktekmu itu juga penting. Sama kayak aku sekarang cari pengalaman kerja dulu
sebelum lanjut kuliah lagi. Memadukan teori yang sudah aku dapat dengan praktek
langsung di lapangan. Kadang-kadang nggak cocok juga. Ada kontra karena banyak
faktor. Semuanya berharga, El.”
Elga manggut-manggut.
“Eh, Lang,” dengan wajah cerah, Elga menatap
Galang yang masih menyetir dengan serius di sampingnnya. “Ngomong-ngomong, kamu
nggak tertarik bikin food truck?”
“Tertarik sih...,” senyum Galang. “Ini juga
lagi mikir-mikir. Cuma, kan kurang dari setahun lagi sudah harus aku tinggal.
Soal investasi, mungkin memang harus kayak kamu ya, mengandalkan orangtua.”
“Hehehe...,” Elga terkekeh. “Manfaatin
fasilitas kan nggak ada salahnya. Asal penggunaannya bener.”
“Iya sih...”
“Coba aja kamu gandeng temen-temenmu.
Investasinya dari kamu, jalaninnya bareng. Sambil sama-sama belajar. Nanti bisa
aku bantuin.”
“Hm... Gitu ya...”
“Iya, Lang,” senyum Elga. “Sambil sekalian
membuktikan bahwa nggak semua anak pengusaha besar kayak kita ini cuma
anak-anak manja yang bisanya cuma jadi jagoan borju.”
Makin memikirkan ucapan Elga, makin tertarik
saja rasanya Galang. Menggunakan fasilitas yang ada, belajar teori, belajar
mengelola usaha dari yang kecil, sambil bersiap menunggu saatnya tiba harus
menerima tanggung jawab untuk mengawal perusahaan keluarga yang jauh lebih
besar.
Apa
salahnya?
Dan sekelebat rencana mendadak muncul dalam
kepala Galang.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Cinta Dua Masa #9
Galaaaaang dikau galau yaaa.. pilih Madri atau Elga? :-D
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusSemoga berhasil :)
BalasHapus