Kisah sebelumnya : CUBICLE #17
* * *
Delapan Belas
Delapan Belas
Yussi
tengkurap di atas ranjangku. Kepalanya menyangkut di atas guling. Menoleh ke
arahku.
“Baru
sekarang-sekarang ini gue ngerasain kayak gini,” gumamnya.
“Ngerasain
apa?” kuhempaskan punggungku ke atas ranjang.
“Kacaunya
perasaan gue.”
Aku
menaikkan alis. “Driya?”
Yussi
mengangguk. Malu-malu. Aku tersenyum lebar.
“Gue
sih udah lama,” akhirnya aku mengakui sesuatu. “Cuma gue ngumpet di balik
profesionalisme.”
“Siapa?”
Yussi mengangkat kepalanya.
“Lu
taulah...”
“Bara?”
Yussi menegaskan.
Aku
mengangguk. Yussi menghela napas panjang.
“Bara
tuh ya...,” desahnya. “Gue udah pernah ngomong sama dia. Soal elu. Dia bilang,
masak sih, Sasi nggak ngerasa? Ya gue bilang lagi, perlu dinyatain pakai
kata-kata. Gue pikir udah beres. Nggak taunya...,” Yussi mengangkat bahu.
“Malah jadi deket sama Mita.”
“Ya
baguslah kalo dia belum ngomong apa-apa
sama gue,” aku mencoba tersenyum, menutupi rasa kecewaku. “Kalo udah terlanjur
ngomong, terus dia baru kenal Mita, terus gue ditinggalin gitu aja gara-gara
Mita, kan karir gue bisa ikutan bubar jalan.”
“Seprofesional
apapun elu, pasti kepengaruh,” gumam Yussi.
“Ya
iyalah,” kuhembuskan napas panjang.
“Eh,
Sas...”
“Hm...”
“Itu
Driya beneran...,” Yussi menggantung kalimatnya, tapi aku tetap bisa memahami.
“Iya,
dia pernah nanyain elu. Cuma dia pernah bilang juga kalo mau nunggu setaunan
istrinya buat mulai lagi yang serius. Gue pikir, kalo emang kalian berdua bisa
PDKT dulu, ya udah lakuin aja.”
“Lu
tau istrinya dulu kayak apa?”
Aku
menggeleng. “Gue tau dia udah married
pas ketemu pertama itu. Belum juga kenal, udah keburu orangnya nggak ada. Tapi
Driya pernah cerita kalo istrinya masih muda. Fresh graduate. Baru umur 23-24.”
“Hm...,”
Yussi menggigit bibir bawahnya. “Susah kali ya, masuk ke bayang-bayang orang
yang udah nggak ada?”
“Semoga
aja enggak, Yus,” aku memeluk guling. “Dari caranya dulu waktu masih kecil dia
selalu ngelindungin gue, gue tau dia orangnya dewasa. Semoga sedewasa itu juga
dia memperlakukan lu dan masa depannya bersama lu.”
“Ouh...,”
Yussi mengusap matanya. “Napa gue jadi terharu gini sih?”
Aku
terkekeh ringan mendengar ucapannya.
“Soal
lu sama Bara, gue turut prihatin ya, Sas...,” ucapan Yussi terdengar tulus di
telingaku. “Tapi kalo lu jadi deket sama Fajar gara-gara itu, coba deh, lu
pikir-pikir lagi.”
“Gue
sih nggak ada apa-apa sama Fajar, Yus. Nggak pernah mau jadiin Fajar sebagai pelarian
doang. Lagian imannya udah lain. Gue kan kudu mikir itu juga. Dia juga kayak
gitu kok ke gue. Murni sohiban aja. Malah udah kayak sodara karena tinggalnya
juga deketan.”
“Lega
dengernya,” senyum Yussi. “Sebagai sohib, gue harap lu, Fajar, Bara, dapet yang
terbaik.”
“Makasih
banget...,” ucapku sambil menguap. “Tidur, Yus. Gue ngantuk. Tapi kalo lu masih
mau ngelamunin Driya, silakaaan...”
Yussi
tertawa mendengar ucapanku. Tapi dia segera memperbaiki posisi tidurnya. Siap
untuk tenggelam dalam mimpi indah soal Driya.
* * *
Pagi
ini kusingkap tirai pantry-ku. Dia
sudah ada di sana. Menjalani rutinitas hari Sabtu pagi seperti biasanya.
“Pemandangan
indah...”
Aku
terjingkat mendengar suara itu di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Yussi
tengah melongokkan kepalanya ke arah yang sama.
“Yang
mana yang indah?” aku nyengir. “Yang di tengah lapangan apa yang duduk-duduk di
pinggiran itu?”
Yussi
tergelak. “Yang di pinggirlah... Yang badannya tinggi gede ituuu...”
Aku
terbahak. Sedetik kemudian Yussi menatapku.
“Lu mau bubur ayam, Sas?”
Aku
melongok ke bawah. Saat itu kutemukan Pak Sarimin sudah mangkal di tepi
lapangan.
“Whoaaa...
Pak Min udah dagang lagi!” seruku antusias. “Beberapa minggu ini dia libur.
Mudik. Enak tuh bubur ayamnya. Ala Bangka gitu...”
“Oh...
itu yang pernah dibilang Fajar yak?”
“He
eh. Yuk, turun!”
“Nggak
mandi dulu?” Yussi beranjak dari depan jendela. “Gue baru cuci muka sama sikat
gigi doang.”
“Sama...,”
aku menggamit lengannya. “Keburu abis buburnya kalo kita mandi dulu.”
Yussi
pun menuruti ucapanku. Tak berapa lama kami sudah turun melalui lift. Aku pun
sempat say hello dengan beberapa
tetangga yang kukenal dan hendak turun juga.
* * *
Senyum
lebar Fajar dan Driya segera menyambut begitu Yussi dan aku muncul di tepi lapangan.
Kudorong pelan bahu Yussi sehingga dia terduduk tepat di sebelah Driya. Aku
sendiri segera menarik tangan Fajar.
“Temenin
pesen buryam, Jar,” ucapku.
“Kebeneran,
gue juga belum sarapan,” Fajar nyengir lebar.
Dengan
sabar Fajar dan aku kemudian mengantri bubur ayam Pak Sarimin. Fajar menyuruhku
duduk di sebuah kursi bakso yang masih kosong, sementara dia sendiri berdiri di
sebelahku.
“Berapa,
Mbak Sasi?” tanya Pak Min.
“Lima,
Pak. Yang lengkap ya?”
Ternyata
pesananku masuk ke kloter racikan berikutnya. Aku mendongak ke arah Fajar.
“Gimana
semalem?”
Fajar
menggeleng sambil mengangkat bahu. “Malah Driya asyik ngomongin masa lalunya
sama elu.”
Hadeeeh...
Anak itu...
“Harusnya
lu setop aja omongannya,” gerutuku.
“Hehehe...,”
Fajar terkekeh. “Ngapain disetop? Asyik aja dengerinnya. Apalagi pas dia cerita
kejadian lu naik pohon jambu, lu nggak sengaja pegang ulat gede, terus dia
ketiban lu yang jatuh gara-gara kaget.”
Astagaaa...
Itu juga diceritain? Memalukan!
“Abis
itu gue udah nggak ngikutin lagi,” lanjut Fajar. “Keburu molor duluan.”
Aku
menatap ke tengah lapangan. Matahari yang mulai tinggi tak menyurutkan semangat
Bara untuk melatih regu satpam itu. Dia selalu serius saat melatih karate
seperti ini. Perhatiannya jarang beralih ke mana-mana. Pun kepadaku. Langsung
saja kutepis pikiran itu. Memangnya siapa elu, Sas?
Gara-gara
menatap Bara sambil melamun, aku jadi terlambat membuka dompetku. Fajar sudah
menyelesaikan pembayaran ketika akhirnya dia menyenggolku.
“Yah,
jadi elu yang bayarin,” ucapku sambil mengekor langkahnya.
“Nyantai
aja,” Fajar melangkah hati-hati sambil membawa nampan berisi lima mangkok bubur
ayam. “Tar lu aja yang beli minumannya.”
“Ya
udah, gue beli minuman dulu,” aku langsung melangkah ke sudut lain lapangan,
tempat sebuah kedai minuman berdiri.
Sebentar
kemudian aku sudah kembali dengan membawa sekantong plastik berisi lima teh
madu-lemon dalam kemasan botol plastik, dan tiga botol air mineral. Bara sudah
bergabung bersama rombongan penikmat bubur ayam ketika aku kembali. Wajahnya
tampak dibasahi keringat.
“Keliatannya
enak juga ya, tinggal di apartemen sini?” Bara melap keringatnya dengan sehelai
handuk kecil sambil meneguk air mineral yang kusodorkan padanya.
“Lu
sih, dulu gue tawarin nggak mau,” ujar Fajar.
“Lha
waktu itu keduluan gue nyicil mobil, Jar. Lu sih enak, mobil dapet lorotan dari
abang lu.”
“Hehehe...
Iya sih... Eh, lu nginep lagi aja tar malem, Bar,” celetuk Fajar. “Besok ke
gerejanya sekalian bareng Sasi. Terus kita berangkat ke ultahnya Rira bareng-bareng.”
“Wooo...
Takut ada perang tar, Jar,” sahutku cepat.
“Perang
apaan?” Bara menoleh sekilas.
“Perang
sama cewek lu,” aku meringis. “Gue nggak ngapa-ngapain aja cewek lu udah kayak
mau nelen gue gitu kalo ketemu.”
“Cewek
gue yang mana?” Bara mengangkat alisnya.
“Mita.”
Bara
seketika menghentikan suapan demi suapan bubur ayam ke mulutnya. Ditatapnya
aku. Lurus. Tajam. Dalam.
“Soalnya
dia cemburu sama lu,” ucapnya lugas.
“Lha,
makanya... Apalagi...”
“Karena
lu belakangan ini makin deket sama Fajar,” Bara memotong ucapanku.
Seketika
suasana hening. Aku dan Bara bertatapan. Jujur, aku kaget mendengar ucapannya.
Ketika aku tersadar, segera kubuka mulutku.
“Kok
jadi nyerempet gue sama Fajar? Dari dulu juga gue udah deket sama Fajar,”
terdengar nada bantahan dari mulutku.
“Tapi
nggak sedeket belakangan ini,” ucapan Bara masih terdengar lugas.
“Nggak
sedeket belakangan ini gimana?” suaraku mulai naik. “Dari jaman kuliah juga gue
udah sohiban sama Fajar. Satu kampus. Satu jurusan. Satu angkatan. Ngekost juga
tetanggaan. Sekarang juga apartemennya sebelahan blok.”
“Lu
ngomongin orang kayak orangnya nggak ada aja di deket lu,” terdengar suara
Fajar, menyeletuk kemudian.
Aku mengikuti arah tatapan Bara, berpindah pada Fajar. Fajar tampak menatap
Bara.
“Gue
belakangan ini emang lebih banyak curhat sama Sasi,” ucap Fajar serius. “Karena
gue anggep dia lebih ngerti apa yang ada di pikiran gue. Lebih ngerti apa yang
gue rasain. Dan satu hal yang perlu lu tau, Bar, gue masih ngehormatin
persahabatan kita. Gue segen kompetisi sama lu, sohib gue sendiri.”
“Kompetisi
apaan?” Bara mengerutkan keningnya.
“Mita.”
Bara
meletakkan mangkoknya yang masih berisi separuh.
“Gue
sama Mita?” Bara menyipitkan matanya. “Gue nggak ada apa-apa sama Mita.”
Fajar
masih menatap Bara. Terlihat tak percaya.
“Selama
ini Mita banyak curhat ke gue. Dia merasa sulit masuk ke keakraban di geng
sarap. Kita kayak punya lingkaran sendiri yang nggak bisa ditembus. Dia segen
mau curhat sama bossnya,” Bara menatap Driya sekilas, “karena si Boss sikapnya
terlalu formal dan profesional. Dan Mita sebenernya tertarik sama lu, Jar. Tapi
lu anteng-anteng aja. Dia jadi bingung gimana harus bersikap.”
Aku
tercenung mendengar ucapan panjang-lebar Bara. Ada perasaan ingin membantah
mengingat bagaimana sikap Mita sendiri padaku dan mungkin pada teman-temanku
yang lain. Tapi rupanya aku tidak sendirian.
“Gini
deh, ya...,” ucap Yussi. “Gue sebenernya nggak tertarik soal siapa naksir
siapa, siapa cemburu ke siapa. Tapi gue sendiri liat, Mita itu nggak ramah sama
kita. Gue pernah ketemu di basement
Daha. Udah gue senyumin, tapi dia manyun aja. Selanjutnya, ya ogah dong, gue
senyumin dia lagi.”
Pengalaman
yang sama persis! Hanya saja lokasinya berbeda. Tapi aku sedang tidak ingin
memperuncing suasana.
“Oke,”
Bara mengangguk. “Tar gue bilangin dia soal perbaikan sikap. Atau mungkin
sebaiknya lu aja, Jar.”
Fajar
terlihat hendak membantah, tapi ucapan Bara membungkamnya, “Yussi pernah
bilang, cinta itu perlu dinyatakan. Lu ngomong sama Mita. Biar semuanya clear.”
Aku
nyaris saja mendengus mendengar ucapan Bara. Gampang ya, nasehatin orang lain?
Sendirinya? Huh!
“Dan
Sasi,” Bara mengalihkan tatapannya padaku. “Gue mau minta maaf sama elu. Selama
ini gue bodoh udah gantungin perasaan gue sendiri. Perasaan gue ke elu. Gue
cinta elu, Sas. Udah lama. Dan bakal kayak gitu selamanya.”
Aku
terbengong. Apa dia bilang? APA DIA BILANG???
PRANG!
Aku
tersentak kaget. Kulihat ke bawah kakiku. Mangkok bubur ayam Pak Min pecah
satu. Terlepas begitu saja dari tanganku.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Cubicle #19
good post mba, mantap dan seru nih !
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Pak Subur...
HapusNyatain rasa ga as a romantic nya su bara hufft
BalasHapusHahaha... Makasih dah mampir...
Hapushahaha cinta segi enam di tempat yg tepat...
BalasHapusHahaha... Ya gitu dweh, Fris Makasih singgahnya ya...
Hapusasyiiiiiikkkk, nyatainnya di depan temen temeennyaaa
BalasHapusButuh keberanian lebih tuh! Hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Dilla...
ganti mangkok satu gak apa apa...yang penting udah tahu perasan Bara...
BalasHapusWakakak... Pak Min kan baik hati sama pelanggan setia...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Bekti...
Prang....!!!!
BalasHapusLha aku kaget, kok udah selesai sih? Kelamaaaan nunggu rabu
Wakakak... Besok udah Rabu, Mbak Muti... Hari ini tak'kasih bonus cerpen.
HapusMakasih mampirnya ya...
Waaaah kok jadinya Sasi suka Bara yaaa..? aduuuh Driya beneran suka Yussi.
BalasHapus