Prolog
Adalah
kau
Adalah
aku
Adalah
mereka
Berdiam
di ruang pertama
Adalah
sebuah masa
Termangu
tergeletak
Menyimpan
jalinan waktu lalu
Layaknya
kotak pandora
Berdiam
di ruang kedua
Dan
ruang ketiga
Adalah
kita
Di
bawah atap yang sama
Di
atas ranjang yang sama
Di
dalam kehidupan yang sama
Dengan
hati yang berbeda
* * *
Satu
Akhirnya
semuanya selesai...
Dahlia terduduk letih di sebuah sudut ruang
duduk.
Setidaknya
untuk tujuh hari pertama...
Sebuah gelas berisi teh hangat terulur di
depannya. Dahlia mendongak, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Swandito
mengangguk dan duduk di sebelahnya. Pelan, ia mulai meneguk teh hangat yang
sama dari gelas lain yang dipegangnya.
“Capek?” tanya Swandito dengan suara rendah.
Dahlia mengangguk, tak mau berbohong.
“Terima kasih, Jeng,” bisik Swandito, “untuk
semuanya.”
“Suwargi1) Ibu itu ibuku juga,
Mas,” tukas Dahlia halus. “Lagipula semuanya sudah berlalu.”
Swandito menghenyakkan punggungnya ke
sandaran kursi. Baru sekarang terasa letihnya. Pada hari ketujuh sejak wafat
dan dimakamkannya Raden Nganten Wulansari
Rumekso.
Tak pelak semburat kesedihan itu masih
tersisa banyak dalam hati Swandito. Bagaimanapun darahnya berasal dari darah
perempuan itu. Ibunya. Ibu kandungnya. Walau perempuan itu pernah menorehkan
garis hitam dalam nama agung keluarga mereka (baca : Garis Hitam Darah Biru –
Lizz). Tapi semuanya sudah berakhir. Kotak sudah ditutup dengan berpulangnya
Wulansari Rumekso.
Tapi di balik kesedihan itu terselip kelegaan
luar biasa. Bahwa kepergian ibunya itu bisa berarti bahwa acara pernikahan
pamungkas dalam keluarga mertuanya tak bakal terganggu. Setidaknya, kini ia
bisa ikut mempersiapkannya tanpa pecah konsentrasi lagi, hingga acara itu
berlangsung dua minggu yang akan datang.
Sudah
tiga tahun berjalan...
Swandito menghela napas pelan sambil berdiri.
Sudah
tiga tahun menapaki kehidupan bersamanya...
Diulurkannya tangan pada Dahlia.
“Ayo pulang, Jeng,” ucapnya, dengan kelembutan
yang selalu sama.
Dahlia mendongak sekejap, kemudian meletakkan
gelas tehnya yang sudah kosong ke meja terdekat.
“Belum selesai bersih-bersihnya, Mas,” ia
mengingatkan.
“Ndak
apa-apa,” Swandito menggeleng. “Banyak orang di sini. Tadi Mbakyu sudah
menyuruhku membawa panjenengan2) pulang.”
Dahlia akhirnya menyerah. Setelah pamit pada
kakak tertua Swandito yang kini berperan sebagai nyonya rumah, ia pun mengikuti
Swandito melangkah keluar.
Seperti biasa, Swandito membuka pintu kiri
depan mobil untuk Dahlia, memastikan bahwa Dahlia sudah duduk nyaman, baru ia
menutup pintu dan memutar ke sisi satunya. Selalu begitu. Sikap yang membuat
setiap perempuan bisa jadi segera jatuh cinta pada Swandito.
Sayangnya...
Dahlia mencoba untuk tidak tersenyum pahit.
“Besok jadi aku yang menjemput Seruni?”
Dahlia sedikit tersentak sebelum menoleh ke
samping kanan. Wajah Swandito tampak serius ketika sedang melajukan mobilnya
seperti ini.
“Aku lupa bilang,” desah Dahlia. “Tadi pagi Romo3)
meneleponku, minta tolong besok panjenengan
jemput Romo dulu sebelum ke bandara. Romo mau ikut.”
“Oh...,” gumam Swandito. “Oke... Oh ya, aku
tadi cuma makan sedikit. Sekarang lapar lagi. Mampir makan dulu ya?”
Dahlia tertawa ringan. Tanpa berpikir lagi,
ia pun menyetujui ucapan Swandito.
* * *
Tanpa sadar Dahlia menatap wajah Swandito
lekat-lekat. Laki-laki itu sedikit tertunduk karena asyik melihat-lihat buku
menu. Dan seolah merasa ada sesuatu yang mengusiknya, tiba-tiba saja Swandito
mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu, dan seketika Dahlia tersipu.
Swandito tersenyum.
“Ada apa?”
Dahlia buru-buru menggeleng dan mengalihkan
tatapannya ke arah lain. Hanya saja ia merasa bahwa Swandito masih menatapnya.
Sebetulnya apa yang aneh? Bukankah mereka suami-istri? Tapi...
Hubungan
di atas kertas yang salah...
Mata Dahlia mengerjap. Berusaha menyingkirkan
ribuan kalimat yang dimulai dengan kata ‘seandainya’ dari dalam kepalanya.
Ribuan kalimat yang terkadang membuatnya kelelahan.
Tapi
semuanya adalah pilihanmu sendiri, bukan?
Dahlia hanya sanggup mengangguk semu ketika
nuraninya berbisik.
Pilihan...,
ia
membenarkan, ... yang sama sekali tak
patut untuk disesali.
Terdengar dengungan di telinga Dahlia. Ia
tersentak dan menatap Swandito. Sepertinya laki-laki itu baru mengucapkan
sesuatu.
“Ya?” ada nada bersalah yang pekat dalam
suara Dahlia. “Mas baru saja bicara apa?”
Swandito menghela napas sebelum mengulangi
kalimatnya dengan nada sabar, “Apakah aku salah kalau merasa ada beban yang
terangkat dari hidupku setelah kepergian Ibu?”
Dahlia tercenung. Dan waktu seolah berpihak
padanya karena terulur sejenak dengan kedatangan pramusaji yang membawakan
minuman dan makanan pesanan mereka.
“Silakan, Pak, Bu,” ucap pramusaji itu sopan
setelah tugasnya selesai.
Dahlia dan Swandito pun mengucapkan terima
kasih bersamaan. Sejenak kemudian Dahlia kembali ke dunianya semula. Ditatapnya
Swandito.
“Kalau aku jawab tidak, apakah ada artinya?”
Dahlia mengulas senyum tipis.
Swandito tertegun sejenak. Dan ia seolah
terseret masuk ke dalam bening mata Dahlia.
“Banyak,” gumamnya kemudian, setengah sadar.
“Besar sekali artinya buatku.”
Dahlia dengan halus lebih mendekatkan lagi
piring berisi nasi goreng kambing pedas itu ke depan Swandito. “Makan dulu...
Kalau sudah kenyang, kita bisa berpikir lebih enak.”
Mau tak mau Swandito tersenyum. Dahlia betul.
Selalu betul.
* * *
Dahlia menyusupkan tubuhnya di bawah selimut.
Sedikit demi sedikit penat yang dirasakannya seharian tadi menguap dan hilang.
Yang tertinggal hanya kenyamanan yang terasa hangat di punggungnya. Swandito
bergeser sedikit di sebelahnya. Menjauh. Memberi Dahlia ruang yang lebih luas.
“Sudah mengantuk?” Swandito meletakkan ponselnya
di atas nakas.
Dahlia menggeleng. “Tadi ngobrolnya belum
selesai.”
“Hm...,” Swandito berpikir sejenak. “Jadi ndak salah ya?”
“Ndak...
Ndak salah,” Dahlia kembali menggeleng. “Hanya saja alasannya apa dulu?
Kenapa bisa ada beban itu?”
“Entahlah,” gumam Swandito. “Aku hanya merasa
banyak keinginan suwargi Ibu yang
membebaniku.”
“Termasuk tentang kita?”
Swandito menoleh seketika. Dahlia tengah menatapnya.
Dalam. Seketika Swandito tersadar.
“Bukan!” bantahnya. “Bukan itu. Bukan tentang
kita. Entahlah,” Swandito menggeleng. “Hanya saja ada perasaan lega karena Ibu
sudah ndak ada lagi. Sepertinya aku
benar-benar bebas sekarang. Ndak terbebani
lagi dengan banyak keinginan yang mungkin aku ndak bisa memenuhinya sesuai keinginan Ibu. Hanya ada perasaan
lega. Lepas.”
Dahlia berusaha untuk memahaminya. Sedikit
banyak, sebetulnya ia pun merasakan hal yang sama.
“Apa itu bentuk sikap durhaka?”
“Sepertinya bukan,” jawab Dahlia cepat.
“Mekanisme durhaka sepertinya ndak
sesederhana itu. Aku tahu panjenengan masih
tetap ngajeni4) Ibu, menyayangi Ibu.”
“Jadi memang aku harus menikmati rasa lega
itu begitu saja?”
“Sebaiknya begitu,” senyum Dahlia. “Supaya ndak menambah beban baru yang ndak perlu.”
“Baiklah...,” Swandito akhirnya menyerah,
balas tersenyum.
“Menikmati hidup,” gumam Dahlia sambil
menguap dan mulai memejamkan mata. “Seperti biasanya.”
Menikmati
hidup, seperti biasanya...
Swandito mengulang kalimat itu dalam hati
sembari menatap wajah Dahlia. Terlihat ada gurat kelelahan, tapi tetap
menyisakan damai. Damai yang selalu menyejukkan hati dan membuat Swandito
nyaman.
Tapi
belum bisa lebih.
Mendadak ada kesedihan yang meyakitkan hati
Swandito. Rasa sakit yang muncul karena ada keinginan yang tak juga bisa
terwujud. Keinginan untuk membuat Dahlia lebih bahagia lagi. Terkadang
membuatnya frustrasi. Tapi semua resah itu selalu menghilang setiap kali
menatap wajah Dahlia. Lalu semua rasa berputar lagi, berputar terus, dan ia
seolah makin terperangkap dalam lingkaran setan itu.
Dan satu-satunya tempat untuk melepaskan diri
sejenak dari kekisruhan hati itu hanyalah saat-saat seperti ini. Berada di
samping Dahlia yang mulai terlelap. Kedamaian yang selalu menulari hatinya.
Hingga ia pun mulai memejamkan mata.
* * *
“Aku berangkat dulu ya?” dengan ringan
Swandito mencium kepala Dahlia, sekaligus menghirup aroma wangi yang selalu
membuatnya seolah mendapat semangat lebih setiap harinya.
“Jangan lupa jemput Romo ya, Mas...”
“Iya. Sampai ketemu di rumah Romo!”
Dahlia membalas lambaian tangan Swandito.
Mengantar kepergian Swandito dengan senyum teduhnya.
Sepeninggal Swandito, Dahlia segera bersiap
diri untuk berangkat ke tempat usahanya. Hari ini ada janji dengan seorang
pelanggan setia salonnya, seorang kerabat dekat keraton, yang ingin hanya
Dahlia yang menanganinya langsung.
Ketika Dahlia sudah duduk dengan manis di
dalam mobil, Karsiman – sopir pribadinya yang setia – segera melajukan mobil
itu meninggalkan rumah. Rumah yang dibeli Swandito sebagai hadiah pernikahan
mereka tiga tahun yang lalu. Rumah yang selalu nyaman dan hangat...
...
walaupun belum bisa lebih...
Dahlia melemparkan
tatapannya ke luar jendela. Sinar mentari pagi terasa sedikit hangat menyapa
kulit wajahnya. Menimbulkan sensasi nyaman yang menenangkan. Membuatnya selalu
bersyukur bahwa ia masih boleh menikmati hangatnya sinar mentari itu hingga
detik ini.
Tak lama kemudian Karsiman
sudah membelokkan mobil ke halaman luas sebuah salon. Sudah ada beberapa motor
yang terparkir di samping salon, dan Karsiman pun mengarahkan mobilnya ke dekat
parkir khusus pegawai itu setelah menurunkan Dahlia tepat di depan lobi salon.
Sambil melangkah cepat,
Dahlia membalas semua sapaan para pegawainya yang sudah siap bekerja. Dan
senyumnya mengembang lebar ketika menemukan vas besar di meja kerjanya telah
penuh terisi puluhan batang mawar merah segar.
“Tadi Bapak ke sini sebelum
buru-buru pergi,” celetuk Santini sambil meletakkan segelas besar air putih di
atas meja kerja Dahlia. Tatapannya diarahkan pada batang-bantang mawar itu.
Ah,
Mas Swan...
Dahlia berusaha meredakan
debar dalam dadanya.
“Oh ya, Bu...”
Dahlia mengalihkan
tatapannya pada Santini.
“Tadi Jeng Dian telepon,
baru bisa ke sini jam sepuluh.”
“Aduh...,” Dahlia mendesah.
“Padahal Seruni datang hari ini.”
“Oh...,” alis Santini
terangkat. “Mbak Runi sudah mau dipingit?”
Dahlia tergelak seketika.
“Itu juga kita merayunya ndak kurang-kurang.”
Santini ikut tertawa. “Mbak
Runi memang pemberontak.”
“Ya,” tawa Dahlia meredup,
berganti dengan senyum tipis. “Tapi dia tetap ngajeni adat. Itu yang aku salut darinya.”
Santini kemudian pamit
keluar. Dahlia masih memanjakan mata dengan menatap mawar-mawar merah itu dan
memenuhi dada dengan keharuman lembut yang ditebarkannya. Semuanya terasa sudah
pas pada tempatnya. Dengan mengabaikan hal-hal yang memang belum bisa diubah.
Tapi semua itu tak
berlangsung lama. Pintu kantornya terketuk dari luar. Kepala Maya kemudian
tersembul.
“Bu, ada customer yang sepertinya harus ditangani
sendiri sama Ibu.”
“Kenapa?” Dahlia mengerutkan
keningnya sambil berdiri.
“Masih anak-anak. Biasanya
kan Ibu sendiri yang menangani customer
anak-anak.”
“Oh... Oke!” Dahlia
melangkah keluar dari kantornya.
Ia mengembangkan senyum
hangat ketika melihat seorang gadis kecil sudah duduk manis di atas kursi di
depan sebuah cermin besar.
“Halo, cantik!” sapanya
hangat.
Gadis kecil itu menatap
Dahlia dengan mata bulatnya melalui cermin. Tak ada mimik wajah penolakan.
Hanya... Dahlia kembali tersenyum.
“Namanya siapa?”
“Dahlia.”
Seketika mata Dahlia
melebar, dipenuhi antusiasme. “Lho! Kok nama kita sama?”
“Oh ya?” perlahan mata bulat
itu dipenuhi binar.
“Iya,” suara Dahlia
terdengar meyakinkan. “Hm... Dahlia mau dikeramas dulu? Biar Tante nanti
gampang potong rambutnya Dahlia.”
Seketika kepala kecil itu
mengangguk. Dahlia pun menggiring Dahlia kecil ke area cuci rambut. Dahlia
menangani customer muda yang mendadak
terasa istimewa itu dengan telaten. Dilayaninya obrolan ringan yang menggelitik
telinganya. Dan Dahlia kecil itu sungguh gadis yang cerdas di usianya yang baru enam tahun.
“Aku mau kalau nanti sudah
besar cantik kayak Tante,” celetuk Dahlia kecil.
“Oh ya?” Dahlia terlihat
antusias. “Dahlia cantik kok! Mamanya pasti cantik ya?”
“Ibu?” wajah Dahlia kecil
mendadak murung. “Iya, Ibu cantik. Hanya saja Ibu sudah nggak ada.”
“Oh...,” Dahlia sempat
kehilangan kata. Dengan lembut dibungkusnya rambut panjang Dahlia kecil yang
sudah selesai dikeramas dengan sehelai handuk yang harum. “Dahlia ke sini sama
siapa?”
“Ayah.”
Dahlia kecil kembali duduk
dengan manis di atas kursi yang tadi. Dahlia menatapnya melalui cermin.
“Sekarang, Dahlia mau
dipotong model apa rambutnya?”
“Mm...,” gadis kecil itu
ragu sejenak sebelum suaranya nyaring bergema. “Ayah! Rambut Lili mau diapain
nih?”
Dan ketika laki-laki yang
dipanggil ‘ayah’ itu mendekat, jantung Dahlia seolah berhenti berdetak. Ia
hanya bisa menatap melalui cermin tanpa mampu bersuara.
“Pendek saja, biar enak
merawatnya.”
Suara itu masih tetap sama.
Terdengar lembut bergulung masuk ke dalam telinga Dahlia. Membuatnya hampir
lupa bernapas. Tanpa permisi, sosok laki-laki itu langsung memenuhi otak dan
seluruh aliran darah dalam tubuh Dahlia. Menimbulkan denyar-denyar yang terus
meliar dan nyaris tak terkendali.
“Dahlia?”
Sosok itu menatap Dahlia
dengan kening berkerut. Lalu mata mereka bertemu seolah menembus cermin. Saling
menatap lekat.
“Apa kabar...,” susah payah
Dahlia membisikkan kata-kata itu, “..., Mas Rengga?”
* *
*
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #2
Catatan
:
1. Suwargi = almarhumah / almarhum
2. Panjenengan = anda (untuk orang yang lebih tua, lebih dihormati)
3. Romo = ayah ; bapak
4. Ngajeni = menghargai ; menghormati
Kadang kalau merasa lega karena ortu berpulang itu kayak salah ya mbak? Tapi, yah.... Ngga sabar nunggu kamis. Salamin mbak cantik dulu. I love you.
BalasHapusMakasih kunjungannya, Mbak MM...
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak...
HapusEhhhh, mas rengga? siapa ya mas rengga? hehehe
BalasHapusNunggu kamis yah tan? yasud, sabar menunggu :D
Ka ada ceritanya di link... ;)
HapusMakasih mampirnya ya...
Lagi ngebayangin...betapa tersiksanya tinggal serumah dengan orang yg tidak kita cintai
BalasHapusBenarkah tersiksa? *teka-teki*
HapusMakasih kunjungannya, Bu...
Wah bosone alus ki buu.. :-P untung sitik2 aku isik ngudeng :-P
BalasHapusRengga mantan Dahliayo buu? hahaha.. eikee sotoy deeh ahhh :-D
Ada terjemahan untuk kata-kata yang 'nggak umum', Mbak... Soal Rengga, silakan klik link cerita terdahulu.
HapusMakasih mampirnya ya...
waah ..terasa banget..klo yang nulis....sungguh-sungguh luar biasa...
BalasHapusWaduuuh... apa iya sih, Mbak??? *krukupan anduk*
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
...sudah lama nggak mampir ke rumahnya Mbak Lis, semoga belum terlambat ngikutin cerita ini :)
BalasHapusMakasih, Mas... Belum terlambat, masih episode ketiga tayang hari ini.
HapusPenasaran....
BalasHapusHayuuuk ikutin terus, Friiis... Makasih ya...
Hapus