Kisah sebelumnya : CUBICLE #16
* * *
Tujuh Belas
Kupikir
aku memang harus secepatnya ‘menyelesaikan’ urusanku dengan Yussi. Sahabat yang
saling menghindar satu sama lain itu bukan kejadian yang menyenangkan. Ada
ganjalan tertentu di hati.
Saat
itu tiba ketika sekembalinya dari maksi, aku mendapati Yussi tengah duduk di cubicle-nya. Sendirian. Tampaknya geng
sarap selain Yussi dan aku tengah menyebar entah ke mana. Kesempatan bagus!
“Hola!”
aku bergeser posisi, duduk di cubicle
Bara.
“Yup!”
dia menoleh sekilas.
“Sibuk
banget nggak?”
Yussi
menggeleng, tapi jemarinya masih menari di atas keyboard.
“Hm...
Gue mau ngomongin sesuatu. Soal Driya.”
Seketika
gerakan jemari Yussi terhenti. Wajahnya memang masih menatap laptop, tapi
sepertinya aku berhasil menggoyahkan fokusnya. Aku pun tak mau lagi buang waktu
untuk ‘menyerangnya’.
“Pertama,
gue nggak ada apa-apa sama Driya. Murni sohiban. Kedua, dia sama sekali nggak
ada rasa sama gue. Begitu juga gue ke dia. Ketiga, kalo ada apa-apa yang
menyangkut gue, sebaiknya lu ngomong langsung secara pribadi ke gue, nggak
langsung bawa-bawa geng buat ngeroyokin gue. Udah, gitu aja.”
Dia
menatapku sekarang. Kusambut dengan senyum paling manis yang kupunya. Dihelanya
napas panjang.
“Terus
apa urusannya lu ngomongin soal Driya ke gue?”
Kuangkat
bahu. “Hati lu tau jawabannya.”
Segera
kutinggalkan Yussi. Tepat saat itu Boss Lenny memanggilku ke kantornya. Aku pun
segera ‘meluncur’ ke sana.
Ternyata
Boss Lenny cuma sekadar mengajakku mengobrol ringan. Terutama soal grafik job iklan yang naik tajam ke MemoLineAd
setelah Bara memenangkan salah satu award
di Wara-Wiri. Ujung-ujungnya merembet ke masalah lain. Ada yang
menginginkan aku jadi model iklan produknya.
“Waduh...
Saya nggak mau lagi, Cik...” jawabku, meringis.
“Lho,
kenapa? Gue nggak ngebatesin lu lho, Sas.”
“Bukan
masalah saya khawatir Cik Lenny membatasi atau enggak, tapi saya memang ogah
aja. Aslinya saya lebih senang ada di belakang layar.”
“Hm...
Gitu ya? Walaupun kita sendiri yang garap iklannya?” senyum Boss Lenny.
Tapi
aku tetap menggeleng. Boss Lenny pun menyerah. Tak hendak memaksaku lebih
lanjut.
Ketika
aku keluar dari ruangan Boss Lenny, ada sebatang coklat dengan merk kesukaanku
tergeletak di mejaku. Hanya ada Bara di cubicle-nya.
Sedang mengetik sesuatu. Kuraih coklat itu sambil duduk di kursiku.
“Ini
lu yang ngasih?”
Bara
menoleh dengan tatapan bertanya. Kuacungkan coklat itu. Tapi dia menggeleng.
“Yussi
tadi yang naruh di situ,” jawabnya kemudian.
Wuuuh...
Aku ke-GR-an rupanya! Kukira Bara yang melakukannya.
“Oh...,”
kubuka coklat itu, kemudian kusodorkan padanya. “Mau?”
Bara
menggeleng.
“Yussi
ke mana?” akhirnya kunikmati saja coklat itu sendirian.
“Ada
janji sama klien.”
“Oh...”
Kuraih
ponselku, bermaksud mengirim Whatsapp
message ke Yussi, sekadar mengucapkan terima kasih. Tapi rupanya sudah ada
pesan masuk darinya.
‘Sas, gue minta maaf soal
semuanya. Kalo ada waktu, gue mau cerita banyak ke elu. Boleh?’
Kubalas
: ‘Sure! Kapan aja lu mau. Makasih
coklatnya yaaa...’
Ketika kuletakkan kembali ponselku, Fajar
sudah ada di cubicle-nya.
“Tar pulang, kita ke apartemen lu yak?”
tembaknya langsung.
“Ngapain?” aku mengerutkan kening. “Kita?
Siapa?”
“Bara sama gue. Yussi mau nyusul juga
kayaknya. Stuck di sekuel iklan Multi
Papan.”
“Oh... Ya udah, dateng aja.”
“Tar gue beliin makanan,” Fajar mengedipkan
sebelah mata.
Aku tertawa renyah. Asal depot chinese food di lantai dasar blok
apartemenku masih buka saja, maka urusan perut akan aman.
* * *
Aku buru-buru meloncat ke kamar mandi begitu
sampai di apartemen. Tak lucu kalau mau ada tamu dua orang cowok ganteng tapi
aku kondisinya asal-asalan. Selesai mandi, baru saja mau duduk manis sambil
menyetel TV, bel berbunyi. Ketika pintu kubuka, Yussi tersenyum lebar di
depanku.
“Hai!” sapanya dengan wajah ceria.
“Hai!” sambutku, tak kalah cerah, sambil
membuka pintu lebar-lebar.
Yussi masuk sambil menenteng dua kantong
plastik berisi kotak-kotak makanan. Langsung diletakkannya kantong-kantong itu
di atas meja pantry-ku.
“Whoaaa...,” aku merem melek mencium aroma
lezat yang menguar. “Marrtabaaak...”
“Hehehe...,” Yussi terkekeh sambil melepas
sepatunya. “Tadi gue meeting sama
klien di deket Alim. Gue sekalian aja
mampir sono. Martabak manisnya gue beliin yang mini, biar dapet isian
macem-macem. Eh, Sas, gue numpang mandi yak?”
“Ya udah, sono...”
Sambil menunggu Yussi selesai mandi,
kuteruskan niatku menyetel TV. Tapi baru saja duduk lagi, bel pintuku kembali
berbunyi. Mau tak mau aku kembali membuka pintu.
Ha! Betul juga! Kali ini dua cowok itu yang
muncul. Terlihat segar dan sudah kembali wangi seperti tadi pagi.
“Gue udah pesen makanan,” Fajar melangkah
masuk, diikuti Bara. “Tar dianter jam tujuh.”
“Kebeneran,” senyumku. “Yussi bawain martabak
tadi.”
“Yussi udah dateng?”
Aku mengangguk. “Lagi mandi. Mau minum apa
nih?”
“Udah...,” Fajar mengibaskan tangannya.
“Nggak usah repot. Tar kita bisa ambil sendiri.”
“Oke deh!”
* * *
Setelah mengobrol lagi berempat sambil
mengikmati martabak telur dan martabak manis, barulah terbuka bahwa ternyata
Boss Multi Papan minta aku untuk jadi bintang iklan sekuel dari yang sudah jadi
beberapa waktu lalu. Hadeeeh... Itu anak memang minta digetok kepalanya pakai
ulekan batu. Bisa-bisanya tuh lho...
“Pokoknya gue ogah,” ucapku keras kepala.
Fajar menghembuskan napas panjang. Ditatapnya
aku dengan putus asa. Sementara Bara memilih untuk duduk bersandar di sofa
sambil memejamkan mata.
“Iya, tadi sebelum pulang Cik Lenny emang
udah ngomong sama gue kalo lu udah nggak mau lagi jadi model iklan.”
“Tar deh, gue sendiri yang ngomong sama Driya.”
“Maksud kita juga gitu...,” Fajar meringis.
“Kalo lu yang ngomong langsung sama dia kan enak. Secara lu sohib banget sama
dia. Sekalian lu omongin alternatifnya.”
Segera saja aku meraih ponsel, mencoba
menghubungi Driya. Pada nada sambung kedua, suaranya menyapaku.
“Ada apa, Yik? Kangen lu sama gue?”
“Kangen... kangen... Pala lu peyang,”
gerutuku. “Lu tuh ya, bisa-bisanya minta gue jadi iklan buat perusahaan lu.”
Terdengar tawa menggelegar dari ujung sana.
“Pokoknya kagak aja! Gue nggak mau.”
“Ayolah, Yik... Dalam bayangan gue tuh, yang
cocok bintangin iklan buat perusahaan gue cuma elu atau Luma Yan-ya.”
“Ya udah pake Luma Yan-ya aja. Tar gue
hubungin dia. Kantor kita ada channel
sama dia kok! Kalo Bang Togi yang urus bisa nego tarif.”
“Gitu ya? Eh, ngomong-ngomong, bukain gue
pintu dong! Gue udah mau masuk lift apartemen lu nih!”
“Hah?” aku membelalakkan mata. “Lu udah di
bawah?”
“Yoi. Ada makanan nggak? Laper gue...”
Alamaaak... Hilang sudah harapan untuk
menikmati awal weekend yang tenang
kali ini. Bisa dipastikan apartemenku akan meriah sampai malam.
Tak lama setelah Driya ikutan muncul dan selesai
numpang mandi, makanan yang dipesan Fajar dari depot di lantai bawah datang.
Untung Fajar pesan lumayan banyak. Cukuplah buat kami berlima.
“Sayang ya, Nina sama Gerdy nggak bisa ikutan
ngumpul?” ucap Fajar dengan mulut penuh.
“Nah, sekarang mumpung kita masih jomblo,
nikmatin aja acara ngumpul-ngumpul gini,” Yussi menimpali dengan wajah
sumringah.
“Lho, Yussi masih jomblo ya?” Driya mencoba
menggoda.
“Ng...,” wajah Yussi bersemu merah.
Fajar dan aku bertatapan sejenak, saling
mengedipkan sebelah mata. Dalam obrolan selanjutnya, Driya akhirnya benar-benar
setuju untuk memakai artis Luma Yan-ya untuk iklannya.
“Yah...,” Yussi mendesah kecewa. “Padahal gue
sengaja beli martabak buat nyuap Sasi biar mau jadi bintang iklan kita...”
Semua terbahak.
“Tar gue bantuin klaim ke keuangan deh, biar
dapet ganti,” celetuk Fajar.
“Hehehe...,” Yussi terkekeh. “Nggak usah
diganti, nggak apa-apa, asal gue boleh nginep di sini malem ini.”
Aku tertawa sambil mengiyakan.
Buatku, suasana cair seperti ini sudah sangat
menghiburku. Kembali menikmati suasana hangat persahabatan membuatku tak
memikirkan hal yang lebih. Hanya satu yang agak mengganggu pikiranku.
Bara.
Walaupun berusaha untuk ikut larut dalam
canda tapi kelihatan sekali kalau dia saat ini jauh lebih pendiam daripada
biasanya. Ingin aku bertanya, tapi berkali-kali aku harus menahan ucapan yang
sudah ada di ujung lidahku. Entah kenapa.
Maka diam-diam aku menyisih ke dapur sambil
membawa piring dan sendok kotor. Seperti biasa, Driya dengan sigap membersihkan
meja. Kemudian kubuat semug teh blackcurrant
untuk diriku sendiri. Lalu kubuka pintu yang menghubungkan pantry dengan balkon. Hembusan udara menerpaku sesaat.
Kunikmati sedikit-sedikit tehku, sambil
berusaha membebaskan diriku dari segala rasa sesak. Entah sesak karena apa.
Kuhela napas panjang.
“Sas, kenapa?”
Aku menoleh. Fajar menatapku sambil
meletakkan gelas-gelas bekas pakai di tempat cuci piring. Aku menggeleng. Fajar
kemudian mendekatiku. Diraihnya mug dari tanganku. Tanpa segan dia kemudian
meneguk isinya.
“Bara mau nginep di tempat gue malem ini,”
ucap Fajar. “Kemaleman kalo harus pulang ke kostnya. Masalah lu sama Yussi udah
beres. Tinggal soal gue sama Bara.”
Aku mengangguk.
“Kalo emang lu merasa kalah, lu inget kalo
masih punya temen senasib di sini,” aku mencoba tersenyum.
Fajar tertawa.
Malam
sudah agak larut ketika kami berencana membubarkan diri. Driya memutuskan untuk
sekalian saja menginap di apartemen Fajar. Hampir tengah malam, baru aku bisa
merebahkan diri di atas ranjang. Bersama Yussi.
Dan
kami bicara banyak malam ini.
* * *
Bersambung ke episode
berikutnya : CUBICLE #18
Menunggu itu melelahkan Mbak. Mbok ditayangin minggu aja to, jangan senin#mekso
BalasHapusIya emang menunggu itu melelahkan #eh *apa sih nih* =D
HapusLho... sambungannya udah tayang ini... Langsung tubruk aja... Hihihi...
HapusMakasih mampirnya, Mbak-Mbak cantik...
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusMenurut Dale Carnagie kita bisa tahu apakah seorang pengarang menyukai hubungan dengan orang lain melalui karangannya. Karangan Mbak lis selalu mencerminkan persahabatan dan hubungan yang manis, tentunya dalam dunia nyata Mbak Lis adalah sosok yang bersahabat dan mudah bergaul. Gak sabar menunggu lanjutannya.
BalasHapusJiaaah... ada analisanyaaa... Hehehe... jadi maluuu...
HapusMakasih mampirnya, Bu Fabina. Episode terbaru sudah tayang, selamat menikmati. Semoga tidak mengecewakan.
Hiks Bara, kenapa kamu diam saja?
BalasHapus