Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #3
* * *
Empat
Swandito menurunkan Seruni tanpa mampir dulu ke
salon. Dengan langkah ringan, Seruni memasuki salon Dahlia. Beberapa pegawai
Dahlia menyambutnya dengan senyum penuh penghormatan dan keramahan. Seruni
menanggapinya dengan ceria. Bila kemarin ia menjalani perawatan pijat dan
lulur, hari ini rencananya ia akan menjalani perawatan wajah, rambut, dan kuku.
Dahlia sudah menunggu Seruni di ruang dalam.
Tersenyum lebar mendapati Seruni datang tepat waktu. Seruni segera mengganti
bajunya dengan jubah mandi bersih yang sudah disediakan Dahlia. Tak berapa lama
kemudian, Seruni sudah duduk dengan manis di atas kursi keramas.
Bukan Dahlia sendiri yang mengeramasi rambut
Seruni, melainkan salah satu asisten kepercayaannya bernama Yayuk. Dahlia hanya
duduk menunggui di dekat mereka. Seruni menikmati sekali pijatan Yayuk di
kepalanya. Pijatan yang kuat, tapi lembut dan terstruktur. Membuatnya merasa
nyaman dan lebih rileks.
“Saya ndak
bisa bayangin Mbak Seruni nanti cantiknya seperti apa kalau jadi manten1),”
celetuk Yayuk. “Lha wong ndak dandan
saja cantiknya sudah seperti ini.”
“Apalagi nanti dhukun manten2)-nya
Bu Sasongko,” timpal Dahlia. “Bisa gantung diri dia kalau manten yang didandaninya ndak
manglingi3).
Hehehe...”
Seruni dan Yayuk tergelak mendengar candaan
Dahlia. Sejenak kemudian obrolan mereka beralih pada Bu Sasongko, seorang dhukun manten langganan para kerabat
keraton, bahkan para sosialita dari ibukota. Di usianya yang sudah menginjak 70
tahun masih juga terlihat awet muda, cantik, dan enerjik. Semua itu bukan
karena perawatan modern seperti operasi plastik dan lain-lain, tetapi karena
berbagai laku tirakat4) yang masih dijalaninya dengan ketat sejak masih
berusia muda, seperti puasa Senen-Kemis,
mutih5), ngrowot6), dan sebagainya, juga
merawat diri dengan berbagai ramuan jamu.
“Bu Lia apa ndak ingin seperti Bu Sasongko itu, Bu?” tanya Yayuk tiba-tiba.
Dahlia tersenyum tipis. “Laku-nya berat, Yuk. Aku memang masih biasa menjalankan laku, tapi ya ndak seketat Bu Sasongko.”
“Aku cuma sanggup puasa Senen-Kemis sama puasa weton7) saja,” Seruni
nyengir.
“Jamu?” Dahlia mengerutkan keningnya.
“Masih...,” Seruni tertawa. “Jelek-jelek
begini aku masih ahli meramu jamu lho! Tapi yang levelnya biasa-biasa saja.”
“Kalau butiknya sepi, jual jamu saja, Mbak
Runi,” Yayuk terkekeh.
“Lho... Sudah...,” Seruni mengerling,
tersenyum lebar. “Di kafeku sudah sekitar dua tahun ini jualan jamu. Kunir asem8), beras kencur, kunci suruh9),
jahe anget, jahe merah – madu, gula
asem, cabe puyang10), temulawak, serbat11) lidah buaya, wedang uwuh12). Laris lho! Nanti rencananya tahun depan mau
jual yang instan, bubukan. Kalau sekarang belum kecandhak13).”
“Wah, hebat benar Mbak Seruni!” Yayuk
mengacungkan kedua jempol tangannya.
Sambil menunggu masker rambut meresap, Dahlia
memanggil asistennya yang lain. Kali ini Santini sudah siap untuk merawat kuku
tangan dan kaki Seruni. Dahlia meninggalkan mereka untuk menangani seorang
anak. Pada musim libur sekolah begini, cukup banyak orang tua customer anak-anak yang membuat janji
potong rambut dengan Dahlia dari pagi hingga menjelang siang hari.
* * *
Setelah urusan rambut dan kuku-kuku jari
selesai, inilah saat yang ditunggu Seruni. Dahlia akan menangani perawatan
wajahnya secara pribadi. Tanpa dibantu seorang asisten pun. Ia menyuruh Seruni
pindah ke sebuah bed khusus untuk perawatan
wajah.
“Benar-benar sudah siap, Run?” tanya Dahlia
halus sambil membersihkan wajah Seruni yang kini berbaring santai.
“Siap nikah maksud Mbak?”
“Iya...”
“Siap banget, Mbak,” ucap Seruni tegas.
“Semuanya sesuai rencana.”
“Hm...”
“Mbak...”
“Ya?”
“Aku benar-benar minta maaf soal Mbak dan Mas
Swan. Seharusnya aku sabar dan percaya sepenuhnya pada kehendak Gusti. Nyatanya, kanjeng ibunya Mas Swan seda14) pas dekat-dekat
waktu seharusnya aku menikah dengan Mas Hazel. Seharusnya...”
“Run...,” potong Dahlia halus, sambil dengan
lembut mengusap wajah Seruni dengan washlap
basah hangat. “Kita kan sudah pernah membicarakan itu. Kita bukan ahli nujum
yang bisa memperkirakan kapan hari seda-nya
kanjeng ibunya Mas Swan akan tiba. Aku
benar-benar ndak mau lihat adik
kesayanganku berjudi dengan nasib yang ndak
jelas. Nasib yang ditentukan orang lain. Mas Haryo mungkin beruntung,
karena nasibnya baik. Dan aku ndak seberuntung
itu. Tapi pada akhirnya aku dilepaskan juga dari mimpi buruk itu. Dan soal
pernikahanku dengan Mas Swan, kali ini aku memilih nasibku sendiri, Run.”
“Dan itu adalah pilihan yang salah?” mata
Seruni mengerjap.
“Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa itu
adalah pilihan yang salah?”
“Mbak, a
couple lives together in a marriage without making love? Is it normal?”
Dahlia ternganga seketika. Tapi tangannya
masih terus bekerja, melakukan scrubbing dengan
lembut.
“Hello...,”
tampaknya Seruni masih saja ngeyel.
Dahlia menghela napas sebelum menjawab,
“Normal atau tidak, yang jelas aku merasa hidupku jauh lebih damai dan tenang
sekarang. Bagiku, making love bukan
lagi segalanya yang aku butuhkan, Run. Setelah berkali-kali marital rape yang kualami saat masih
bersama suwargi Mas Dipta,
kehidupanku yang sekarang ini seperti surga buatku. Aku punya teman untuk
diajak bicara kapan pun aku membutuhkan. Aku punya seseorang yang mau menjagaku
dengan tangannya sendiri. Aku merasa dihargai dan dibutuhkan. Diterima apa
adanya aku. Menjadi diriku sendiri. Apa lagi yang aku butuhkan, Run?”
Seruni terdiam. Tak tahu harus mengatakan
apa. Semua yang diungkapkan Dahlia sungguh-sungguh melampaui apa yang mampu
dipikirkannya tentang pernikahan Dahlia dan Swandito. Ternyata yang tak diketahuinya
selama ini jauh lebih dalam daripada apa yang bisa ia perkirakan. Tapi ia tetap
merasa harus menyelesaikan sesuatu.
“Mbak...”
“Apa lagi to,
Run?”
“Bagaimana dengan Mas Rengga?”
Dahlia menunda pengolesan masker pada wajah
Seruni. Ia termangu sejenak.
“Masa lalu, Run,” jawabnya. Akhirnya. “Sama
seperti kehidupanku dengan suwargi Mas
Dipta.”
“Ndak
ingin meraih apa yang seharusnya bisa Mbak raih?”
Suara lirih Seruni seolah guntur yang
menggelegar di telinga Dahlia. Sejenak ia memejamkan mata. Dan sekilas bayang
wajah teduh Rengga memenuhi benaknya. Tapi sekejap kemudian ia tersadar.
“Aku ndak
mau membicarakan itu lagi, Run.”
Seruni terdiam. Sementara itu, dengan gerakan
lembut Dahlia mengoleskan masker pada wajah halus Seruni. Beberapa saat
kemudian masker sudah tertempel rata di seluruh kulit wajah dan leher Seruni.
Dahlia bangkit dari duduknya. Diambilnya potongan mentimun dari dalam kulkas di
sudut. Seruni mengatupkan mata begitu Dahlia hendak menempelkan potongan
mentimun itu di kedua kelopak matanya.
“Sekarang kamu rileks. Tidur juga ndak apa-apa. Ndak usah cerewet membahas macam-macam. Aku tinggal dulu. Nanti aku
suruh Santini sesekali memeriksamu.”
“Hm...,” Seruni hanya bisa mengeluarkan
gumaman lirih itu.
* * *
Dahlia duduk terpekur di depan mejanya di
dalam kantor. Hari ini mejanya bersih. Tak ada batang-batang mawar segar yang
biasanya dikirimkan atau dibawa sendiri oleh Swandito. Tapi ia memakluminya.
Tanpa tambahan tugas menjemput Seruni di rumah dan mengantarkannya ke salon,
sebetulnya Swandito sudah cukup sibuk.
Mas
Rengga...
Entah kenapa nama itu tiba-tiba saja
menyeruak masuk ke dalam benaknya. Tanpa pendahuluan. Tanpa permisi. Tapi
sepertinya ucapan-ucapan Seruni tadi adalah pemicunya.
“A
couple lives together in a marriage without making love? Is it normal?”
Dahlia menghela napas panjang.
Ya,
normalkah?
Dialihkannya tatapan, jauh menembus luar
jendela kaca.
Kembali suara Seruni seolah terngiang di
telinganya, “Ndak ingin meraih apa
yang seharusnya bisa Mbak raih?”
Setelah
semuanya berjalan seperti biasa, dan aku bisa menikmatinya, kenapa sekarang
harus ikut mempertanyakan itu?
Dahlia mengerjapkan matanya beberapa kali.
Dan dering ponsel yang memecah keheningan membuatnya sedikit tersentak.
Diraihnya ponsel yang tergeletak di dekat tangannya yang semula bertumpu di
atas meja.
“Ya, Mas?” sapanya halus.
“Dik Runi masih lama ndak, Jeng?” terdengar suara Swandito dari seberang sana.
“Baru saja selesai dimasker.”
“Hm...”
“Kenapa, Mas?”
“Kalau bisa selesai dua jam lagi bisa
sekalian aku jemput. Aku mau jalan pulang sekarang.”
“Lho, kok cepat ngantornya?” Dahlia
mengerutkan kening.
“Badanku rasanya ndak enak, Jeng. Sepertinya masuk angin.”
“Oh... Tapi masih bisa nyetir, Mas?”
“Bisa, Jeng. Ndak usah khawatir.”
“Hati-hati di jalan ya, Mas... Ndak usah ngebut.”
“Iya, Jeng. Iya...”
Sebersit rasa khawatir muncul di hati Dahlia
begitu sambungan telepon itu ditutup. Swandito jarang sekali sakit. Biasanya
kalau Swandito sampai mengeluh, kondisinya bisa jadi lebih parah daripada yang
kelihatan. Lagipula jarak Jogja-Solo cukup jauh untuk ditempuh Swandito dalam
kondisi kurang sehat seperti ini. Harus menyetir sendirian pula. Ia segera
beranjak ke bagian belakang salonnya.
Di pantry
sedang ada Santini yang tengah mengaduk dua gelas teh manis hangat. Perempuan
itu menoleh ketika menyadari kehadiran Dahlia.
“Ini saya buatkan minuman lagi, Bu,” ucap
Santini. “Buat Mbak Seruni juga.”
“Ya sudah, taruh saja di meja dekat Seruni,”
Dahlia mengangguk. “Eh, Tin, masih ada jahe merah? Atau jahe biasa juga ndak apa-apa.”
“Masih sepertinya, Bu. Nanti saya carikan.”
“Ndak
usah buru-buru. Aku butuhnya nanti kalau Bapak datang. Sekarang masih jalan
dari Jogja.”
Ternyata sedang tidak ada persediaan jahe
merah maupun jahe biasa di dapur salon itu. Santini kemudian pamit untuk
membelinya di pasar terdekat. Sambil melangkah kembali ke kantornya, Dahlia
mampir untuk memeriksa masker di wajah Seruni. Masih setengah kering, dan
Seruni sendiri tengah tertidur.
Dahlia pun membatalkan langkahnya ke kantor.
Ia duduk diam di dekat Seruni. Diraihnya majalah wanita terbaru yang tergeletak
di atas meja di dekatnya. Tangannya sibuk membalik-balik halaman majalah itu,
tapi pikirannya sama sekali tak disana.
Lagi-lagi nama, sosok, dan wajah Rengga
bemain berlompatan di dalam benaknya. Membuat detak jantung dan alunan
perasaannya bergelora tak keruan. Makin ia mengingkari, makin ia mendapati
kenyataan bahwa sedikit banyak cintanya masih sedemikian besar buat Rengga.
Bahkan hingga sekian hari berlalu, getar yang
ada ketika sekejap bertemu Rengga masih juga terasa sisanya. Apalagi ketika
mendapati bahwa Rengga kini telah ‘sendirian’. Hanya hidup bersama putri
kecilnya yang cantik.
Kenapa
namanya Dahlia juga?
Dahlia tak memberanikan diri untuk
berandai-andai. Semua pengandaian yang pernah ia pikirkan hampir tak ada yang
berakhir menyenangkan. Selalu ia harus terpental dan jatuh kembali pada
realita. Realita yang mendasari kehidupan yang harus dijalaninya sekarang.
Seolah tak ada ruang untuk menorehkan kata
‘menyesal’. Roda waktu terus berputar ke depan. Membuatnya kesulitan untuk
memutar kembali hidupnya ke belakang. Dan bukan lagi sebuah kesulitan. Tapi
suatu hal yang tak mungkin.
Sama sekali tak bisa.
* * *
Swandito muncul ketika Dahlia hampir selesai
mengoleskan pelembab pada wajah Seruni. Dahlia mengerutkan kening begitu
melihat betapa pucatnya wajah Swandito. Laki-laki itu langsung berbaring di sebuah
kursi malas di dekat situ. Keringat tampak menitik di keningnya.
“Sebentar ya, Mas,” ucap Dahlia halus. “Ini
sudah hampir selesai.”
Swandito mengangguk dengan mata terpejam. Tak
lama kemudian pekerjaan Dahlia selesai. Seruni bangun dari posisi berbaringnya.
Ia menoleh ke arah Swandito, dan kaget seketika.
“Astaga... Panjenengan pucat banget, Mas!” Seruni berseru tertahan.
“Ndak apa-apa,
Dik,” gumam Swandito tanpa membuka matanya. “Cuma masuk angin. Sejak suwargi Ibu sakit sampai tujuh
hariannya, aku memang kurang istirahat.”
Dahlia muncul dengan secangkir besar air jahe
merah hangat. Ia duduk di dekat pinggang Swandito.
“Ini jahenya, Mas...”
Swandito membuka mata dan bangun pelan-pelan.
Disesapnya air jahe merah hangat yang disodorkan Dahlia. Dengan lembut, Dahlia
mengusap keringat yang menitik di kening Swandito.
“Meriang, Mas?”
Swandito mengangguk.
“Habis ini aku keroki ya? Biar enakan
badannya.”
Swandito kembali mengangguk.
* * *
Priyo muncul di salon itu, tak lama setelah
putri bungsunya menelepon minta dikirim sopir untuk menjemputnya. Seruni kaget
melihat ayahnya sendiri yang muncul.
“Pak Kardi ke mana? Kok Romo sendiri yang ke sini?”
“Ndak
suka dijemput Romo? Ya sudah, Romo pulang saja.”
Seruni langsung terkekeh mendengar rajukan
ayahnya. Dengan manja ia menggayut di lengan ayahnya.
“Mbakyumu mana?”
“Masih ngeroki Mas Swan.”
“Di mana sekarang?”
“Di kantor Mbakyu.”
Priyo merengkuh bahu Seruni, kemudian
berjalan ke kantor Dahlia.
“Ndhuk...,”
ucapnya halus sambil mengetuk pintu.
Tak ada hitungan detik, Dahlia sudah membuka
pintu itu. Tampak kaget ketika melihat kehadiran ayahnya.
“Lho, Romo
kok ke sini?”
“Ndak boleh
memangnya? Itu, ada calon pengantin yang aleman15) minta dijemput,”
ucap Priyo dengan mimik jenaka.
Dahlia tertawa ringan karenanya.
“Swandito kenapa?” Priyo menunjuk Swandito
yang masih tengkurap dengan punggung telanjang di atas sofa.
“Masuk angin,” jawab Dahlia sambil melebarkan
pintu.
Priyo melangkah masuk, sementara Seruni tetap
di luar.
“Sampai matang begitu kerokannya,” gumam
Priyo.
Swandito yang baru menyadari kedatangan ayah mertuanya
buru-buru berusaha bangkit.
Tapi ucapan Priyo menghentikannya, “Sudah...
Tengkurap saja. Wong kerokannya juga
belum selesai begitu kok, Mas...”
“Nggih,
Romo. Nyuwun pangapunten16)...,”
gumam Swandito.
Dahlia kembali menorehkan garis-garis di
punggung Swandito. Menghasilkan alur-alur berwarna merah tua
“Ke dokter, Mas,” ucap Priyo lagi.
“Dikerok sudah enakan kok, Romo. Tadi juga sudah minum jahe
hangat,” jawab Swandito.
“Habis ini pulang, Mas. Istirahat,” ucap
Dahlia. “Aku temani di rumah. Biar salon diurus anak-anak.”
Priyo bangkit dari duduknya. Dahlia tengadah
menatap ayahnya.
“Romo mau
ke mana?”
“Pulang to,
ya...,” senyum Priyo. “Sudah, kamu di sini saja. Urusi garwamu.”
Dahlia mengangguk. “Ndherekaken17),
Romo...”
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #5
Catatan
:
1. Manten = pengantin
2. Dhukun manten = perias pengantin
3. Manglingi = berubah (jadi makin cantik karena efek riasan wajah) ; membuat yang melihatnya jadi tidak mengenali karena berubah menjadi jauh lebih cantik.
4. Laku tirakat = syarat yang dilakukan dengan menahan hawa nafsu berupa berpuasa,
berpantang, dan sebagainya (sebagai syarat untuk mencapai suatu maksud).
5. Mutih = tidak makan apa-apa kecuali nasi putih dan air putih.
6. Ngrowot = hanya makan umbi-umbian.
7. Weton = hari kelahiran menurut
perpaduan hari dalam kalender masehi dan pasaran (hari) dalam kalender Jawa,
rotasinya per 35 hari.
8. Kunir asem = minuman (jamu) yang terbuat dari ramuan kunyit dan asam, berkhasiat
untuk detoksifikasi, melancarkan haid, mencerahkan warna kulit, dll.
9. Kunci suruh = minuman (jamu) yang terbuat dari ramuan temu kunci (Boesenbergia
rotunda) dan sirih, berkhasiat untuk menghilangkan bau badan, anti keputihan,
memperkuat gigi, dll.
10. Cabe puyang = jamu yang terbuat dari cabe Jawa (Piper
retrofractum) dan rimpang lempuyang (Zingiber zerumbet), berkhasiat untuk menghangatkan
tubuh, menjaga stamina, anti pegal-linu, dll.
11. Serbat = sejenis minuman manis yang terbuat dari
buah-buahan / bahan yang diparut panjang / kasar, dicampur dengan es dan sirup
/ susu.
12. Wedang uwuh = minuman yang terbuat dari seduhan berbagai rempah (cengkeh, daun
pala, kayu manis, kayu secang, jahe) dengan gula batu sebagai pemberi rasa
manis.
13. Kecandhak = tertangani.
14. Seda (baca : sedo) = meninggal dunia.
15. Aleman = (sok) manja.
16. Nyuwun pangapunten = mohon maaf.
17. Ndherekaken = ucapan turut mengiringi
kepergian seseorang.
Pertanyaan Seruni,itu lho mbak... Dalam benget. Hmmm dan sebenarnya jawabanya ada di hati yang nerimo. Always like this.
BalasHapusMakasih singgahnya...
HapusPanjenengan punika lho....sageet kemawon anggenipun nyerat. Ingkang sami maos dados gimanaaa....ngaten lho.
BalasHapusNgrantos carios candhakipun....
:) Makasih mampirnya...
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak...
Hapussaget-sagetipun nyerat cerito sae sanget kados ngeten....lajeng pripun meniko Swandito sedo..mawon nggih kersane Dahlia saget balek kaleh Rengga maleh..
BalasHapusWalaaaah....lha kok tega saestu ta panjenengan Mbak Bektiii....
HapusHahaha... malah kethoprakan... :P
HapusMakasih mampirnya, Mbak Bekti...
Jadi pengin mampir ke kafenya Seruni, mau minum jamu, tan :D
BalasHapusHayuuuk... Makasih mampirnya, Mbak...
HapusJadi belajar bahasa Jawa deh aku :)
BalasHapusHihihi... langsung praktekin, Fris... Makasih mampirnya ya...
Hapusseruni iku lapo takon aneh2...
BalasHapuswong arepe ibar kok nokat ngalor ngidul... #gemesssss...
Wakakak... onok sing nggondhoook...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Kurang panjaaaaang ceritanya....:D
BalasHapusAda typho sedikit mbak,di catatan poin ke 14. Seda tertulis sedo,yg di dalam cerita bener...pas nulis,drijine keplicuk tithik hehhehe
Wakakak... itu udah sekitar 9-10 halaman A4, Mbaaak...
HapusTypo-nya udah tak'benerin. Makasiiih...
Duh sepertinya dh kebaca ni akhir ceritanya...swandito sakit trus meninggal n dahlia balik lg sm rengga...kasian swandito
BalasHapusHehehe... Cerbung ini sudah terjadwal tayang sampai tamat di episode terakhir. Saya nggak akan mengubah apa-apa, jadi monggo diikuti cerita selanjutnya...
HapusMakasih mampirnya...