Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #1
* * *
Dua
Dahlia menatap kosong pemandangan yang seolah
berlari di luar jendela mobil. Yang terpantul di kaca jendela hanya satu wajah.
Yang bergema di telinganya hanya satu nama. Dan yang memenuhi benaknya hanya satu
sosok.
Rengga.
Kenapa?
Dahlia mengerjapkan mata.
Kenapa
aku ndak pernah seberani Seruni?
Dahlia menghela napas panjang. Berusaha
melepaskan rasa sesak yang menghimpit dadanya.
Aku
berusaha untuk ndak menyesal, tapi kenapa sekarang rasa itu muncul begitu saja?
Airmata menggenang di pelupuk mata Dahlia.
Tanpa bisa dicegah.
Kenapa?
Kembali kalimat itu menggulungnya dari nol.
Membuatnya tak berdaya. Seolah terkunci begitu saja dalam peti mati. Tak bisa
beringsut. Tak bisa lagi berpikir jernih.
“Bu...”
Dahlia tersentak. Karsiman menatapnya melalui
kaca spion tengah.
“Sudah sampai.”
“Oh ya, ya...,” Dahlia tergagap sejenak.
Dengan cepat ia meraih tas yang tergeletak di
samping tubuhnya. Tanpa kentara ia menyapu genangan airmatanya.
“Pak Siman pulang saja,” ucap Dahlia sebelum
beranjak keluar dari mobil. “Nanti aku pulang sama Bapak.”
“Nggih,
Bu,” Karsiman mengangguk.
* * *
Hening itu tak pelak membungkus Dahlia begitu
ia terduduk di depan jendela kamar semasa gadisnya. Tatapannya jauh menembus
hamparan kebun penuh pohon buah-buahan. Pelan, dihirupnya aroma khas kamarnya.
Harum sprei batik bercampur aroma rempah dalam potpourri yang selalu diletakkan ibunya dalam setiap kamar kosong
putra-putrinya. Dikuncinya aroma itu dalam dadanya, untuk mengurangi rasa sesak
yang masih ada sejak ia bertemu Rengga tadi.
Kenapa
harus bertemu lagi?
Dahlia menggelengkan kepalanya.
Setelah
aku bisa menata lagi hidupku dan mulai menikmatinya?
Mata Dahlia menerawang jauh tanpa berkedip.
“Lia...”
Suara lembut itu tak mampu mengusik lamunan
Dahlia, sehingga si empunya suara mengeluskan tangan halusnya di bahu Dahlia.
“Ndhuk1)...,” panggilnya lagi.
Sentuhan yang bersamaaan dengan panggilan itu
seketika mencabut Dahlia dari angan kosongnya. Ia menoleh dan mendapati Eyang
Murti tengah menatapnya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya tetap tajam, seolah
menuntut.
“Ada apa?”
Kepala Dahlia menggeleng, dan ia langsung
berusaha mengalihkan perhatian Eyang Murti.
“Eyang kapan datang?” Dahlia mengambil tangan
kanan Eyang Murti dan mencium punggung tangan itu dengan segenap rasa hormat
yang ia miliki.
“Aku sudah di sini dari semalam.”
“Mbok Karti kok tadi ndak bilang kalau Eyang ada di sini?” sesal Dahlia. “Jadinya dalem2)
tadi langsung nyelonong saja ke sini.”
“Ndak
apa-apa. Aku tadi juga ketiduran. Mungkin Karti ndak berani ganggu,” Eyang Murti duduk di tepi ranjang, di dekat
Dahlia. “Jadi, ada apa?”
Dahlia menggeleng. “Ndak ada apa-apa kok, Eyang...”
“Ndak takut
kualat, bohong padaku?”
Mau tak mau Dahlia tersenyum mendengar nada
canda dalam suara Eyang Murti. Tapi tatapan tajam perempuan sepuh3)
yang masih terlihat agung dan tegas itu mengunci Dahlia. Membuatnya tak bisa
mengelak lagi.
“Saya...,” suara Dahlia penuh keraguan.
Sejurus kemudian dihelanya napas panjang. Ia tertunduk. Tak berani menatap
Eyang Murti. “Saya... bertemu... Mas... Rengga...”
Hening sesaat. Tatapan Dahlia masih menekuri
corak acak lantai marmer di bawah telapak kakinya.
“Rengga... pacarmu dulu?” suara Eyang Murti
terdengar halus dan lirih, menembus telinga Dahlia.
“Iya, Eyang,” Dahlia mengangkat wajahnya
sesaat.
“Bagaimana kabarnya?”
“Mm... Baik. Dia kembali ke sini. Anaknya
satu. Perempuan. Istrinya... sudah meninggal. Dan kami... bertemu... tadi pagi.
Di... salon...”
Eyang Murti menutup mulutnya dengan tangan.
Ditatapnya Dahlia yang masih tertunduk. Seketika rasa itu muncul lagi dalam
dadanya. Rasa sakit yang timbul karena gulungan rasa bersalah.
Pelan diremasnya bahu Dahlia. “Maafkan aku,
Lia. Maafkan aku...”
Dahlia mengangkat wajahnya. Ditatapnya Eyang
Murti. “Saya sudah lama memaafkan Eyang. Saya anggap semuanya memang sudah jadi
garis hidup yang harus saya jalani. Ndak apa-apa,
Eyang, sungguh...”
Eyang Murti meraih badan mungil Dahlia dan
menenggelamkannya ke dalam pelukan. “Seandainya kau berani berontak seperti
Seruni, Ndhuk... Seandainya...”
Dahlia membalas pelukan Eyang Murti.
“Sudah, Eyang, ndak apa-apa,” bisik Dahlia. “Jangan jadi beban pikiran Eyang. Dalem ndak mau rangkaian acara
pernikahan Seruni terganggu sakitnya Eyang karena terlalu banyak pikiran. Sudah
ya, Eyang? Saya ndak apa-apa. Selalu
ada jalan untuk mengatasi masalah. Selalu ada solusi yang disediakan Gusti4)
untuk saya pilih nantinya. Yang penting sekarang Seruni, bukan saya.”
Dan Dahlia seketika tercekat ketika merasa
ada sesuatu yang dingin terasa menembus blus batiknya, tepat di bagian
punggung.
Airmata Eyang Murti.
* * *
“Aku kangeeen...,” Seruni memeluk erat
Dahlia.
“Haish... lebay!” Dahlia seketika tertawa.
Kalimat Seruni memang terdengar berlebihan
karena baru saja dua minggu lalu mereka bertemu. Saat Dahlia dan Swandito
terbang ke Jakarta untuk membujuk Seruni agar mau menjalani pingitan5).
Sudah banyak tradisi yang dilonggarkan. Bila pingitan sejatinya bisa berlangsung satu
hingga dua bulan lamanya, Seruni hanya mau menjalaninya selama dua minggu saja.
Itu pun dengan catatan masih boleh berhubungan dengan Hazel melalui pesan
tertulis. Tapi ia masih tetap mau menghormati tradisi untuk tidak bertatap muka
secara fisik, walau hanya melalui layar maya sekalipun.
Dan selanjutnya Dahlia seolah hanya jadi
penonton saja di luar lingkaran keluarga besar itu. Entahlah, tapi kali ini ia
hanya ingin jadi penikmat keriuhan ketika seluruh keluarga besarnya berkumpul
seperti ini.
Mau tak mau ingatannya melayang kembali pada
suatu titik waktu sekitar sembilan tahun yang lalu. Ketika ia ada di posisi
yang sama dengan Seruni. Harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari
pernikahannya. Hanya saja jauh berbeda dengan Seruni sekarang, Dahlia harus
menikah dengan seseorang yang tak pernah dicintainya. Seseorang yang sama
sekali salah. Membawa lara yang masih juga terasa sisanya hingga detik ini.
Dan pernikahan keduanya tak kalah
menghebohkan. Suatu keputusan yang dipilihnya sendiri agar Seruni tak terjeblos
seperti dirinya dulu.
Menyesal?
Dahlia menggeleng samar. Sudah tak ada tempat
lagi untuk meletakkan sebuah ukiran penyesalan. Pada kenyataannya kehidupan
terus berlanjut. Bersama orang yang mungkin salah, tapi mungkin juga benar.
Mas
Swan...
Tanpa sadar Dahlia mengarahkan tatapannya
pada Swandito. Laki-laki itu tengah bercakap dengan Haryo. Pada detik berikutnya
tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Tapi segera saja Dahlia merasa seolah
ditelanjangi. Bukan tubuhnya, tapi hatinya.
* * *
Dahlia memang cenderung pendiam. Selalu
pendiam. Walau banyak sekali kehangatan yang dipancarkannya setiap saat. Hanya
saja hari ini diamnya Dahlia terasa lain bagi Swandito. Ia tak bisa
menjabarkannya. Hanya terasa ‘lain’.
“Jeng...,” suara lembutnya menyebar ke
seantero kabin mobil itu.
Mata Dahlia langsung mengerjap.
“Ada apa?”
Dahlia kehilangan kata. Kalaupun kepalanya
menyimpan ribuan kalimat, semuanya hanya bermuara pada satu nama. Rengga.
Haruskah bicara?
“Entahlah,” desah Dahlia kemudian. Akhirnya.
Satu hal yang selalu Swandito lakukan
hanyalah bersabar sejenak. Hingga Dahlia sendiri akan mulai bicara. Biasanya
tak akan lama. Seperti biasanya. Tapi kenapa kali ini rasanya lain?
Ada sesuatu yang menjalari hatinya. Sesuatu
yang tidak biasa. Sepertinya akan ada sesuatu yang bisa mengubah hidupnya.
Mengubah tata ruangnya. Ruang ketiga yang dimilikinya bersama Dahlia.
Tapi ia tak mendesak lebih lanjut. Hanya
menunggu. Hingga waktu yang tepat itu datang. Seperti biasanya. Selalu datang.
* * *
Rumah joglo itu sudah kembali sunyi dengan
pulangnya Haryo dan Dahlia ke kediaman mereka bersama keluarga masing-masing. Helaan
napas panjang itu terdengar berat. Membuat Seruni menoleh dan mendapati mendung
seolah menaungi wajah Eyang Murti. Pelan diraihnya tangan keriput itu, dan
dibawanya ke depan dada.
“Ada apa, Eyang?”
Eyang Murti menatap Seruni. Murung. Walau tak
kehilangan sorot menyelidik.
“Selama ini, apa yang kau ketahui soal
pernikahan mbakyumu, Ndhuk?”
Seketika Seruni mengerutkan kening.
Pernikahan
Mbak Dahlia? Bukankah...
“Selain yang sudah kita ketahui.”
Seruni tersentak mendengar ucapan Eyang
Murti, yang begitu tepat membidik apa yang ada dalam benaknya.
“Barangkali dia bercerita padamu,” tegas
Eyang Murti.
“Dia baik-baik saja,” suara Seruni terdengar
mengambang dalam keraguan. “Maksud saya, yang saya tangkap selama ini adalah
dia hanya ingin menjalani dan menikmati hidupnya sekarang sesuai alurnya. Tak
lagi ingin terpaku pada masa lalu. Yang sudah ya sudah. Tak mau terlalu
menyesali apa yang sudah pernah terjadi.”
“Hm...,” mata Eyang Murti terlihat menerawang
jauh menembus gelapnya malam di luar rumah joglo itu. “Pernah dia bercerita
soal... Rengga?”
“Mas Rengga...,” gumam Seruni. “Saya pernah
bertemu beberapa kali dengan Mas Rengga di Jakarta.”
“Oh ya?” Eyang Murti sedikit terperanjat
mengetahui kenyataan itu.
“Ya, Eyang,” Seruni mengangguk. “Istrinya
pelanggan butik saya. Tapi setelah Mbakyu Rana meninggal, saya ndak pernah lagi bertemu dengan Mas
Rengga.”
“Dahlia tahu?”
Seruni menggeleng. “Saya ndak pernah cerita ke Mbak Lia. Saya ndak tega.”
“Dia kembali ke sini...”
“Maksud Eyang?”
“Rengga,” tatapan Eyang Murti jatuh pada
Seruni. “Kembali ke sini. Dan tadi pagi mereka bertemu. Di salon Dahlia.”
Seruni ternganga. “Lalu?” bisiknya, nyaris
tanpa suara.
Eyang Murti menggeleng. “Cuma itu yang aku
tahu. Cuma itu yang dia ceritakan.”
Seruni menghenyakkan punggungnya ke sandaran
kursi. Bayangan gelap itu mau tak mau seolah kembali mengikuti Seruni kemana
pun ia mencoba untuk berkelit.
Seandainya
tak pernah ada penikahan antara Mbak Lia dan Mas Swan... Tapi... Lalu aku?
Seruni memejamkan mata.
Gusti,
tak bisakah sedikit saja memberi Mbak Lia ketenangan hidup? Setelah semua hal
buruk yang pernah dialaminya...
“Bu...”
Suara berat itu menyentakkan Eyang Murti dan
Seruni.
“Sudah malam,” ucap Priyo halus. “Istirahat
dulu...”
Eyang Murti menarik tangan Seruni. “Ayo, Ndhuk... Aku sudah kangen pijatanmu.”
Seruni mengulas senyum tipis, tanpa ingin
menolak keinginan eyangnya.
* * *
Seruni berbaring diam di atas ranjangnya.
Meringkuk memeluk guling. Dengan pikiran hanya terpusat pada satu hal.
Pernikahan Dahlia dengan Swandito.
Seperti apapun sempurnanya pernikahan itu
terlihat dari luar, banyak hal tak lazim terjadi di antara Dahlia dan Swandito.
Sesuatu yang tak biasa. Berjarak. Bahkan sangat berjarak walaupun keduanya kelihatannya
dekat. Terlihat dari suatu ‘hal kecil’ saja, bagaimana Swandito menyebut Dahlia
dengan kata ganti panjenengan. Hal
yang sangat di luar kebiasaan.
Meskipun usianya tiga tahun lebih muda
daripada Dahlia, tapi kedudukan Swandito secara adat adalah lebih tinggi karena
statusnya sebagai suami Dahlia. Ia berhak menerima penyebutan panjenengan dari Dahlia. Dan kata ganti
yang lazim digunakan seorang suami terhadap istri, atau seseorang terhadap
orang lain yang lebih muda, adalah sliramu.
Dirimu. Itu saja sebetulnya sudah menunjukkan sikap hormat. Tapi Swandito
tetap kukuh bertahan menggunakan kata panjenengan.
Sesuatu yang diawali dengan penghormatan yang begitu tinggi dan luar biasa pada
sosok Dahlia.
Belum
lagi hal-hal ‘yang lain’...
Seruni menghela napas panjang. Ia berguling.
Telentang. Matanya seakan meneliti ukiran yang ada di langit-langit kamarnya.
Sebahagia
apa sebenarnya kehidupan Mbak Lia? Dengan pernikahan luar biasanya itu? Yang tanpa cinta? Dengan salah satu pihak tak akan bisa mencintai
pihak yang lain?
Seruni mengatupkan mata. Membiarkan tanya itu
tak terjawab hingga kantuk menghampirinya.
* * *
“Apa
kabar..., Mas Rengga?” kata-kata itu terasa seret di leher Dahlia.
“Baik,”
Rengga menjabat tangan Dahlia dengan hangat.
Lalu
hening. Dan Dahlia segera mengalihkan perhatiannya pada rambut Dahlia kecil.
Hingga bermenit-menit berikutnya ia mencoba untuk mengarahkan pikiran hanya
pada pekerjaannya.
Tapi
semuanya yang sudah dimulai pada akhirnya memang harus berujung pada kata
selesai. Begitu pula urusan rambut Dahlia kecil. Kini gadis kecil itu tampak
makin segar dengan rambut pendek bermodel bob yang terlihat berayun sempurna pada
setiap helaian rambut lebatnya. Pipi chubby-nya terlihat makin menggemaskan.
“Sudah,”
Dahlia mengangkat kain selubung dari bahu Dahlia kecil, setelah selesai
mengeringkan dan menatanya. Dengan gerakan halus ia membersihkan sisa
potongan-potongan rambut di leher Dahlia kecil.
“Aku
suka,” desah Dahlia kecil. Ditatapnya Dahlia melalui cermin sambil berucap,
“Terima kasih, Tante.”
“Sama-sama,”
senyum Dahlia. “Tambah cantik kan sekarang?”
Dahlia
kecil mengangguk-angguk. Terlihat senang dengan ayunan helai-helai rambutnya.
Lalu
tatapan itu tertangkap lagi oleh mata Dahlia. Kelam. Membuatnya ingin bumi
terbelah saat itu juga dan menelannya bulat-bulat. Hanya agar tak lagi terbelit
kerinduan yang sinyalnya memantul jelas melalui cermin. Kerinduan yang dikirimkan
dengan begitu jelas oleh mata Rengga.
* * *
Dan Dahlia tak mampu lagi untuk menyimpan
beban itu sendirian. Satu-satunya teman yang saat ini dimilikinya untuk
mencurahkan isi hati hanya Swandito. Dan ke sanalah ia berlari.
Sepulang dari rumah ayah mertuanya, Swandito
menenggelamkan diri dalam pekerjaannya di ruang baca. Sebetulnya ia tak terlalu
sibuk. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menerima segala sesuatu yang pasti
akan disampaikan juga oleh Dahlia.
“Mas...”
“Hm...?” Swandito mengangkat wajahnya dari
layar laptop. Tersenyum ketika mendapati di tangan Dahlia sudah ada dua cangkir
minuman. “Apa itu?”
“Gula asem,” Dahlia meletakkan salah satu
cangkir di depan Swandito.
Senyum Swandito melebar. Gula asem adalah
minuman kesukaannya. Dan gula asem racikan Dahlia rasanya selalu seribu kali
lebih enak daripada buatan almarhum ibunya.
“Sibuk?”
Swandito menggeleng sambil menutup laptopnya.
Sambil perlahan meneguk kesegaran yang terkandung dalam setiap tetes gula asem
itu, ditatapnya Dahlia.
“Ada apa, Jeng?”
Tatapan Dahlia terlihat ragu-ragu.
“Bicaralah...”
Mata Dahlia mengerjap.
“Aku...,” Dahlia menelan ludah. “Aku ingin
bertanya...”
“Ya?” tatapan Swandito mengunci Dahlia.
“Bahagiakah hidup panjenengan bersamaku?”
“Kenapa tiba-tiba membahas itu?” Swandito
mengerutkan kening.
“Jawab saja.”
Pelan Swandito menyandarkan punggungnya.
Kini, tatapan Dahlialah yang menguncinya.
“Aku... merasa damai,” Swandito kembali
menegakkan punggungnya. “Tenteram. Tenang. Merasa semuanya sudah pas buatku. Hanya
saja...”
“Apa?” Dahlia seolah tak sabar menunggu
kalimat menggantung itu selesai.
“Aku ndak
tahu apakah panjenengan juga
merasakan hal yang sama.”
Dahlia tertunduk kini. Terpekur menatap
cangkir yang masih berisi setengah bagian yang digenggamnya dia atas pangkuan.
“Sebetulnya...,” suara Dahlia seolah datang
dari tempat yang jauh. “Aku selalu merasakan hal yang sama. Membiarkan semuanya
mengalir. Menikmatinya. Karena bagaimanapun kehidupanku saat ini jauh lebih
baik daripada dulu. Tapi...,” tatapan Dahlia terangkat. “Aku bertemu dengannya
tadi pagi.”
Swandito seakan merasakan dirinya terseret
masuk dalam luka dan kesedihan yang tergurat jelas dalam kelam mata Dahlia.
Pelan ia bangkit dari duduknya, memutari meja, dan meraih kepala Dahlia.
“Siapa?”
“Mas Rengga.”
Seketika seluruh jiwa Swandito seolah kosong
separuh.
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #3
Silakan juga mampir ke sini : Jatuh-Bangun Pengerjaan Cerbung RUANG KETIGA. Terima kasiiih...
Silakan juga mampir ke sini : Jatuh-Bangun Pengerjaan Cerbung RUANG KETIGA. Terima kasiiih...
Catatan
:
1. Ndhuk = panggilan dari orang yang lebih tua kepada (anak) perempuan.
2. Dalem = saya (penyebutan diri sendiri di hadapan orang yang lebih tua /
dihormati).
3. Sepuh = tua.
4. Gusti = Tuhan.
5. Pingitan = tradisi yang tidak membolehkan calon mempelai perempuan bertemu
dengan calon mempelai laki-laki sebelum pernikahan dilaksanakan, dan hanya
boleh berada di rumah saja. Tujuannya adalah untuk menjauhkan calon mempelai
dari segala bahaya dan supaya mempelai dapat mempersiapkan diri secara fisik
dan mental menjelang acara pernikahan.
aku pengen pingitaaaaaannnn... #eh..
BalasHapusbiar bisa bikin tulisaaaaaaannn... #eh #eh
gak bisa nulis bikin pengsaaaaaaaaannnn... #eh #eh #eh
Wakakak... sampe speechless akuuu...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Ah Rengga...kenapa mesti hadir di tengah kedamaian hidup Dahlia? Btw jadi ingin minum gula asem nih, pasti segar lagi panas-panas begini.
BalasHapusHayuuuk, Bu, gula asemnya... hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
dalem banget penjiwaan tokohnya.......hebat Mbak Lis.....setiap pembaca diajak masuk menyelami hati setiap tokohnya. Penggambaran latar juga hebat....waah harus banyak belajar sama mbak Lis ..niih... Benar-benar TOP penulisnyaaa...
BalasHapusHihihi... nulisnya sampe jumpalitan, Mbak...
HapusMakasih udah mampir...
Duh........
BalasHapusSingkat, padat, jelas, hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Mbak...
Kapan bisa nulis kaya gini.....
BalasHapusBisaaa... yakin deh!
HapusMakasih singgahnya ya, Mbak...
Menghibur, menambah ilmu, khas tulisan mbakyu cantik. Mksih buat cerbungnya... Nunggu Senin lagi...
BalasHapusUdah Senin, udah tayang yang terbaru.
HapusMakasih mampirnya, Mbak...
Good pos mbak
BalasHapusMakasih banyak atas kunjungannya, Pak...
Hapus...tulisan dengan bahasa yang haluuus, jadi iri nih pengen bisa bikin tulisan sehalus ini...
BalasHapusHahaha... jangan ngiri, Mas. Nganan aja, jabaniiin...
HapusMakasih mampirnya ya...
Hiks....
BalasHapusPukpuk... Hihihi...
Hapus