Angin sejuk menyapa wajah Flora begitu jendela terbuka. Ingin ia menikmati kesegaran itu lebih lama, tapi diingatnya bahwa tugasnya sama sekali belum dimulai. Membereskan semua barang yang ia miliki di dalam kamar itu.
New day, new place, new hope...
Diulasnya senyum samar sebelum beranjak. Tapi gerakannya terhenti ketika ia hendak berbalik. Sehembus angin kembali menerpa. Menggoyangkan pucuk-pucuk perdu dan bebungaan di taman belakang. Membuat tatapannya terhenti pada satu titik.
Fuchsia?
Seketika ia tercekat.
Tarian Peri Fuchsia?
Matanya nanar menatap kuntum-kuntum bunga fuchsia yang bergoyang di tengah alunan angin. Kelopak bunga fuchsia yang menjuntai ke bawah itu layaknya peri yang tengah menari, dengan sayap-sayapnya yang mencuat dan rok indah berwarna-warni.
Lalu angannya terseret. Seolah membawanya kembali pada suatu masa. Saat ia menikmati hangatnya belaian itu, dan dongeng tentang tarian peri sebelum tidur.
* * *
“Peri Fuchsia menari dengan indahnya. Mengalahkan semua tarian peri di dalam ruangan itu. Pangeran Peri pun memilihnya untuk jadi pendamping hidup. Lalu mereka hidup berbahagia selama-lamanya.”
“Aku ingin dongeng yang sama besok,” Flora kecil menguap dan mulai memejamkan mata.
Ibunya pun mengecup keningnya dan menyelimutinya baik-baik.
“Selamat tidur, Sisi sayang. Bermimpilah yang indah.”
* * *
Lalu tiba-tiba saja dongeng itu berakhir. Semua mimpi indah yang pernah dimilikinya terburai begitu saja menjadi helai-helai kelabu yang menyelimuti hidupnya.
Ia tak pernah tahu kenapa Ibu pergi. Tak pernah tahu kenapa Ayah membawanya pula angkat kaki dari rumah mungil mereka, dan sempat berpindah-pindah sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah mungil yang lain. Tak pernah tahu kenapa Ayah memaksanya untuk melupakan nama panggilan Sisi dan mengubahnya jadi Flora. Dan juga tak pernah tahu kenapa ia harus memanggil Mama pada perempuan cantik yang kemudian ikut tinggal bersama mereka.
Semua sejarah dan tanya itu mengabur seiring dengan waktu yang terbang tiap detiknya. Mengendapkan kenangan tentang dongeng Peri Fuchsia itu jauh di dasar genangan kelam hatinya. Tanpa pernah tersentuh lagi. Hingga detik ini...
* * *
Flora mengerjapkan matanya yang menghangat. Bayangan bunga-bunga fuchsia itu terlihat kabur di matanya. Maka ia pun memutuskan untuk menutup jendela rapat-rapat dan berbalik. Dihidupkannya pendingin ruangan, dan ia mulai merapikan semua barang miliknya.
Ditatanya semua dengan baik. Seperti ia menata kembali hidupnya setelah Ibu pergi dua puluh lima tahun yang lalu, setelah Ayah berpulang delapan belas tahun kemudian, dan perempuan cantik yang harus dipanggilnya Mama itu menyuruhnya keluar dari rumah dengan alasan ia harus mandiri.
Seutuhnya ia mengerti bahwa ia telah terusir dari semua kenangan yang pernah ia miliki tentang sebuah keluarga. Tapi ia masih punya tempat untuk lari. Pekerjaannya. Hidupnya yang sekarang. Kamar kostnya yang baru.
Dan tarian Peri Fuchsia di depan jendela...
Dihelanya napas panjang.
* * *
Langit di luar sana perlahan menggelap seiring dengan selesainya ia membereskan seluruh isi kamar. Tepat saat ia keluar dari kamar mandi, pintu kamarnya diketuk dari luar. Piah, ART Bu Febriyan – pemilik rumah kost itu, mengulas senyum ketika Flora membuka pintu. Dengan tulus Flora membalas senyum itu.
“Maaf, Mbak,” ucap gadis muda itu. “Saya disuruh Ibu untuk memanggil Mbak. Ibu ingin mengajak Mbak makan malam.”
“Oh, begitu? Hm... Baiklah,” Flora pun mengikuti langkah Piah tanpa pikir panjang.
Sudah ada Bapak dan Ibu Febriyan, dan dua orang perempuan muda duduk di depan meja ketika ia sampai di ruang makan. Aura kehangatan jelas mengambang di seantero ruangan itu.
Kedua perempuan muda itu, Mia dan Ranny, menyambut kehadirannya dengan ramah. Menyamai kehangatan yang dipancarkan oleh Bapak dan Ibu Febriyan. Selain Flora, Mia dan Ranny, masih ada empat gadis lagi yang kost di sana. Hanya saja keempatnya tidak ada di rumah. Ada yang masih belum pulang kuliah, ada yang masih lembur kerjaan, ada juga yang sedang kena jadwal kerja shift malam.
Diam-diam Flora menghembuskan napas lega. Sepertinya ia akan betah di tempat kost itu. Bukan karena fasilitasnya yang memang benar-benar lengkap dengan harga terjangkau, tapi lebih ke suasana kekeluargaan yang dibangun oleh Bapak dan Ibu Febriyan.
* * *
Hari yang melelahkan di tempat kerja baru berhasil dilewati Flora dengan mengerahkan semua kesabaran yang ia miliki. Setelah meletakkan tas di atas meja dan melepaskan sepatu, Flora membuka jendela kamarnya. Kesegaran langsung masuk ke dalam ruangan itu. Dan lagi-lagi ia terpaku menatap tarian Peri Fuchsia yang berpentas begitu saja di depan matanya.
Ketika sejenak angin berhenti berhembus dan memberi jeda pada tarian bunga-bunga fuchsia, barulah Flora mengerjapkan mata. Ditatapnya keseluruhan pemandangan taman belakang yang terbingkai kusen jendelanya. Saat itulah ia baru menyadari bahwa sebagian besar tanaman yang memenuhi halaman belakang rumah kostnya adalah fuchsia aneka warna. Dan di tengah hamparan kelopak-kelopak fuchsia yang bertebaran itu, ditemukannya sebuah gazebo kecil yang terhubung dengan teras belakang melalui jalan setapak bertabur kerikil.
Ada Bu Febriyan di gazebo itu. Sedang duduk dan menyandarkan kepalanya pada bahu Pak Febriyan. Terlihat begitu hening. Begitu hangat. Begitu mesra. Menikmati setiap kelopak bunga fuchsia yang bertebaran dengan indahnya di sekeliling mereka.
Pelan-pelan Flora kembali menutup jendela kamarnya. Tak hendak mengganggu sepasang manusia itu.
* * *
“Makan dulu, Flora...”
Flora menoleh. Dihentikannya langkah ketika mendengar suara lembut Bu Febriyan. Suara lembut yang entah kenapa terasa hangat di hatinya. Ia melongok dari balik pintu kaca ruang makan yang membuka ke arah selasar tempatnya melangkah.
“Selamat malam, Pak, Bu,” senyumnya.
“Ayo, makan dulu,” Pak Febriyan melambaikan tangannya.
“Terima kasih, Pak, Bu,” Flora mengangguk sopan. “Tapi saya permisi mau keluar sebentar dengan Mbak Ranny. Dia mengajak saya mencoba makanan di depot baru yang buka di pertigaan bawah itu.”
“Oh...,” senyum Bu Febriyan seraya mengangguk.
Flora kemudian berlalu setelah berpamitan. Ranny ditemukannya sudah menunggu di teras depan.
“Maaf lama, Mbak,” Flora menatap Ranny, agak menyesal.
“Tenang saja. Belanda masih jauh kok, Mbak,” Ranny terkekeh.
Dari Ranny, Flora tahu kalau Bapak dan Ibu Febriyan itu adalah pasangan tanpa anak yang masih aktif dengan kegiatan masing-masing. Pak Febriyan adalah seorang dokter spesialis anak, sedangkan Bu Febriyan memiliki sebuah panti asuhan anak terlantar di pinggir kota.
“Aku tadi sempat melihat Bapak dan Ibu duduk berduaan di gazebo. Mesra banget,” celetuk Flora sambil berjalan.
“Bapak sayang banget sama Ibu,” gumam Ranny. “Aku sering iri melihatnya. Ya begitulah Ibu kalau sore. Asyik menikmati taman bunganya. Kalau Bapak sedang tidak praktek, mereka akan melakukannya berdua.”
“Hm... Dan isi taman itu hampir semuanya bunga fuchsia. Ada ceritanyakah?” pertanyaan Flora terdengar sambil lalu.
“Fuchsia,” gumam Ranny. “Putri Ibu yang hilang ketika berumur tiga tahun namanya Fuchsia.”
Seolah ada bom yang meledak di telinga Flora. Membuatnya limbung seketika.
* * *
Rentang waktu dua puluh lima tahun hampir menghapuskan semuanya. Flora masih berusia tiga tahun ketika ‘Ibu meninggalkannya’. Wajah dan suara Ibu adalah hal yang paling samar yang pernah diingatnya walaupun belaian lembut itu tak pernah lekang dari hatinya.
“Kenapa Ibu meninggalkan saya?” Flora hampir berteriak.
Bu Febriyan menatapnya dalam derai airmata. Terlihat begitu lara dalam pelukan Pak Febriyan.
“Aku tak pernah meninggalkanmu,” ucap Bu Febriyan di tengah tangisnya. “Aku hanya pulang selama beberapa hari untuk menengok nenekmu. Ketika aku kembali ke rumah, kamu sudah pergi bersama ayahmu. Aku tak tahu harus mencarimu ke mana. Nenekmu menyuruhku pulang selamanya. Sejak awal nenekmu memang tak pernah menyetujuiku menikah dengan ayahmu. Dan beberapa bulan setelah itu, aku menerima kiriman surat cerai. Ketika aku melacak lagi, aku benar-benar sudah kehilangan jejak. Padahal saat itu aku sedang mengandung adikmu, anak ayahmu.”
Flora terpaku.
“Dan aku kehilangan semuanya,” Bu Febriyan tersedu. “Aku kehilangan Sisi kecilku yang cantik, kehilangan suami yang kuharapkan bisa menemaniku hingga akhir usia, dan aku kehilangan adikmu. Tapi Tuhan ternyata tidak tidur, Sisi. Tidak tidur...”
Flora tergugu. Ia kemudian perlahan mundur dan menghilang ke dalam kamarnya. Menumpahkan semua stok airmata yang ia punya. Menyesali dongeng tentang Peri Fuchsia yang pernah didengarnya.
* * *
Malam menghening ketika isakan Flora masih tersisa. Berpuluh menit ia hanya bisa terduduk di balik pintu kamarnya. Ketika ia hendak bangkit karena merasa kedinginan, beberapa ketukan di pintu terdengar lembut seolah memanggilnya.
“Siapa?” tanyanya dengan suara serak.
“Bapak, Nak. Bisa kita bicara?”
Flora terdiam sejenak. Tapi ia tak menemukan alasan untuk menolak. Jauh di lubuk hatinya, kerinduan itu masih mampat menjadi bola besar yang begitu saja mendesak ingin keluar. Maka dibukanya pintu, ragu-ragu. Laki-laki tinggi besar berwajah teduh itu berdiri di sana, mengulas senyum yang mendamaikan hati.
“Maaf kalau Bapak mengganggumu.”
Flora menggeleng. Dibukanya pintu kamar lebih lebar lagi. Tapi laki-laki itu menggeleng.
“Bapak punya ruang kerja yang lebih nyaman untuk kita bicara.”
Maka ke sanalah Flora ikut melangkah dalam diam. Kemudian ia duduk di sofa. Terpekur menatap lantai. Sekejap memejamkan mata ketika hangatnya aroma rempah yang menguap dari potpourri di atas meja kerja Pak Febriyan mengelus hidungnya.
“Sebetulnya Bapak tak hendak mencampuri masalahmu dengan Ibu,” ucap Pak Febriyan halus. ”Tapi Ibu sekarang adalah istri Bapak, dan kamu adalah putri Ibu. Buat Bapak, kamu putri Bapak juga.”
Flora masih diam. Tertunduk.
“Penjelasan Bapak ini bukan untuk meminta belas kasihan padamu, Nak. Bapak paham bahwa selama ini kamu anggap Ibu sudah tega meninggalkanmu.”
“Tapi kenyataannya Ibu memang pergi,” sergah Flora, menatap Pak Febriyan dengan mata menyala lagi. “Tanpa saya. Setidaknya Ibu bisa membawa saya. Tidak meninggalkan saya begitu saja!”
Pak Febriyan tersenyum samar. “Ayahmu tak mengijinkan Ibu membawamu pergi. Dan Ibu sangat menghormati ayahmu. Karena itu Ibu meninggalkanmu. Hanya untuk beberapa hari. Tanpa pernah membayangkan kejadiannya akan lain.”
Ayah...
Flora memejamkan mata. Sejujurnya yang ia punya hanyalah ayah yang sekadarnya saja. Sekadar merawatnya hingga ia tumbuh besar. Membuatnya lebih banyak meraba seperti apa hidup ini dengan caranya sendiri. Dan seutuhnya, ia sangat kehilangan setiap ucapan, belai lembut, dan cinta Ibu. Kehilangan yang menimbulkan kemarahan dan rasa sakit yang luar biasa.
“Semua kesedihan, rasa marah, rasa sakit, kehilangan, kerinduan, tak berdaya, tentunya pernah kamu rasakan, bahkan mungkin sampai sekarang,” Pak Febriyan tepat membidik apa yang ada dalam pikiran Flora. “Itu pula yang dirasakan oleh Ibu. Karena itu Ibu berusaha menyembuhkan luka itu dengan mencurahkan semua kehidupannya yang tersisa untuk mengurusi anak-anak terlantar dan bayi-bayi terbuang, sambil terus memupuk harapan dan doa agar suatu saat dapat menemukanmu lagi. Ibu juga memenuhi setiap sudut halaman belakang rumah ini dengan fuchsia. Satu-satunya hal yang bisa menjembatani ingatannya padamu.”
Flora kini tersedu. Melepaskan semua beban hati yang masih tersisa dan terasa berat. Tangan Pak Febriyan lembut mengelus bahunya.
“Tahukah kamu? Sejak pertama kali Ibu melihatmu, perasaan itu membayanginya. Perasaan bahwa kamulah Sisi-nya yang hilang. Walau identitasmu lain, tapi perasaan itu tak pernah bohong, Nak...”
Dada Flora masih terasa sakit. Tapi bukan sakit yang biasa. Melainkan rasa sakit yang muncul karena rindu yang terlalu sarat.
“Bapak tahu besok tepat dua puluh delapan tahun usiamu, Nak. Tepat pula lima belas tahun Ibu dan Bapak bergandengan tangan untuk menyisihkan setiap duka yang pernah kami alami. Ada banyak cerita di dalamnya, yang akan kami bagi padamu bila kamu memang ingin mengetahuinya. Di sini, di rumah ini. Rumahmu.”
Ada kehangatan yang diam-diam menyingkirkan semua rasa sakit yang masih tersisa. Flora menengadah, mencari raut wajah teduh Pak Febriyan, yang bayangannya masih mengabur di balik tirai airmatanya.
“Pak,” ucapnya kemudian, dengan suara bergetar. “Sekarang Ibu ada di mana?”
“Ada di gazebo,” seulas senyum kelegaan terbit di wajah Pak Febriyan.
Maka Flora pun berlari ke gazebo. Menjemput hal terbaik yang masih ia punya.
Dan ia menemukannya di sana. Ibu. Duduk diam di antara goyang ratusan kuntum bunga fuchsia.
“Bu..,” ucapnya tersendat. “Sisi pulang...”
Tak ada kata lain yang terucap kemudian. Hanya ada pelukan erat terhangat yang pernah diterimanya seumur hidup. Hanya ada belaian terlembut yang pernah dinikmatinya. Di antara hembusan angin malam yang menggoyangkan pucuk dedaunan. Di tengah ratusan kuntum bunga fuchsia yang mementaskan goyang indah, serupa tarian peri dalam dongeng masa kecilnya.
* * *
Epilog
Murni
Febriyan tertegak di ambang pintu. Gadis yang berdiri di depannya itu mengulas senyum
sambil menganggukkan kepala dengan sopan.
“Selamat
siang, Bu,” ia mengulurkan tangan. “Saya Flora, yang tadi menelepon Ibu, hendak
melihat-lihat kamar kost.”
Murni
Febriyan tersentak. Ia buru-buru balas menjabat tangan itu sambil tersenyum ramah.
“Oh,
ya! Ya, mari masuk,” Murni Febriyan membuka pintu lebar-lebar. “Ikut saya.”
Ketika
ia berbalik dan mulai melangkah, dengan gadis itu mengikuti di belakangnya, ia menangkap
bayangan gadis itu melalui cermin besar di dinding di seberangnya. Mendadak hatinya
bergetar hebat. Entah kenapa.
Dan ingatannya
langsung berputar pada sebuah nama. Sesuatu yang belum pernah terjadi saat ia bertemu
untuk pertama kalinya dengan anak-anak kost lainnya.
‘Fuchsia...
Sisi... Di mana kau, Nak?’
Murni Febriyan mengerjapkan
matanya yang menghangat tiba-tiba, sambil terus melangkah. Gadis itu, yang telah
menggetarkan hatinya, masih mengikutinya di belakang.
* * * * *
Seperti biasa...apik!
BalasHapusMatur nuwun, Mbak Boss...
Hapusseneng nya..akhirnya bisa ketemu ibunya kembali.......
BalasHapuswaah backsoud nya keren juga mbak Lis...
Backsound-nya udah pernah aku pake di salah satu fiksi fantasi-nya FC dulu, Mbak...
HapusMakasih mampirnya ya...
nice post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... (pembaca dan komentator paling setia, hehehe)
HapusUhuk! Apik apik apik :)
BalasHapusWuiiiih.. Seperti biasa, kerennnnn.... Bunga cantiknya bikin berwarna
BalasHapusKipa mbak....lompej omil pokoe...
BalasHapusCeritanya kek bunganya sama penulisnya, cuantikkkkk ;)
BalasHapusHiks... Hampir menangis membaca-nya. Tapi kisah begini pernah ada di kampung saya Mba Lis. Berpisah di Samosir bertemu di Jakarta.
BalasHapus