* * *
Sembilan
Minarti tak akan pernah melupakan wajah cerah James ketika ia menjawab ajakan laki-laki itu untuk berlibur. Walaupun ada syarat, James segera meluluskannya tanpa banyak pertimbangan. Segera ditetapkan, mereka akan berangkat ke Malang tepat hari Sabtu berikutnya setelah acara syukuran tujuh bulan kandungan Navita.
Yang membuat Minarti sempat terbengong adalah keputusan James untuk membawa mobil sendiri. Tak menggunakan transportasi udara.
“Sambil mencicipi jalan tol baru, Bu,” ujarnya seraya tergelak ringan. “Nanti kalau saya capek, ya, kita istirahat. Santai saja. Dibuat asyik. Lagipula, kalau bawa mobil sendiri, di sana nanti enak kalau mau jalan ke mana-mana.”
Maka, Minarti hanya bisa manggut-manggut. Tapi ia seutuhnya percaya, James tentunya tak akan membuat mereka berdua sengsara. Buktinya, pagi-pagi pada hari Selasa setelah cuti panjang akhir pekannya demi acara syukuran Navita, James meneleponnya.
“Bu, saya nggak jemput Ibu hari ini, ya. Mobil saya lagi diservis. Biar nanti perjalanan kita nggak ada kendala. Ini sampai mobil saya selesai diservis, saya nebeng Luken.”
Berarti dia serius siap-siapnya, pikir Minarti. Sayang sekali, aku sudah lupa caranya menyetir mobil.
Dihelanya napas panjang. Sekaligus teringat pembicaraannya dengan Prima saat acara syukuran. Setelah ia bercerita tentang rencana berlibur bersama James.
“Mbak, nggak mampir ke Madiun?” tanya Prima dengan nada sangat halus. “Mumpung ke Jawa Timur.”
Seketika ia tercenung.
Keinginan itu pasti ada. Setidaknya ia ingin menengok makam kekasih hatinya. Ayah dari putrinya. Pun makam ayah dan ibunya. Tapi rasanya sudah terlalu jauh ia melangkah meninggalkan masa lalu itu. Bahkan, ia hanya tahu sekilas bahwa perusahaan otobus yang didirikan oleh ayahnya, kini dilanjutkan pengendaliannya oleh adik tirinya. Perusahaan itu masih berjaya. Bahkan pamornya makin moncer setelah secara besar-besaran
memperbarui dan menambah bus pariwisata sewaan, kemudian meluncurkan beberapa unit sleeper bus trans Jawa-Bali yang selalu penuh penumpang.
Ditatapnya Prima.
“Dik, statusku, kan, cuma numpang,” jawabnya dengan suara lirih dan lembut. “Aku segan minta macam-macam.”
“Iya juga, sih.” Prima menghela napas panjang.
Tapi, ia benar-benar tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Hingga berhari-hari lamanya.
* * *
Seusai mandi, James segera menyelinap keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang makan. Di meja, sudah terhidang menu makan malam yang dibawanya dari kedai. Sudah dihangatkan oleh Rumi. Sambil menunggu Luken muncul, ia berselancar di dunia maya melalui ponselnya. Berusaha menemukan aneka berita terkini yang terlewatkan sepanjang hari tadi.
“Jadinya, lusa mau berangkat jam berapa, Om?”
James mendongak ketika mendengar suara Luken.
“Jam tujuh pagilah aku start dari sini,” jawabnya. “Jemput Bu Min, belanja-belanja sedikit, langsung bablas.”
Luken duduk di seberangnya.
“Hati-hati nyetirnya, Om,” ujar Luken sambil mulai mengisi piringnya. “Badan harus fit betul.”
“Iya, makanya besok aku mau pulang agak siang saja. Biar cukup istirahat.”
Luken mengacungkan jempol. Sambil menikmati makan malam, keduanya mengobrolkan berbagai hal ringan. Hingga pada ujungnya....
“Mm... Om...”
“Ya?”
“Waktu syukuran di rumahnya Navita dan Gandhi itu, kebetulan aku duduk nggak jauh dari Pak Prima. Jadi, aku sempat dengar Pak Prima menyinggung soal Madiun. ‘Mumpung jalan ke Jatim, mampir, nggak ke Madiun?’ Gitu dia tanya Bu Min.”
Seketika James menatap Luken. “Terus?”
“Ya... Bu Min jelas sungkanlah kalau harus mampir ke Madiun. Makanya, ini aku bilang Om, gimana kalau ke Malangnya lewat Madiun?”
“Oh...,” James mengangguk-angguk. “Ya, bisa diaturlah. Bisa kubikin berlagak nggak sengaja. Gampanglah itu.”
Seketika Luken menghela napas lega. Kembali ditatapnya James. Sekilas ada cahaya jahil bermain dalam matanya.
“Mm... Ngomong-ngomong... Om berani ajak Bu Min liburan, tumben amat?”
“Lha, namanya ingin liburan, Luk!” James menyambungnya dengan tawa. “Lagipula, aku kasihan lihat Bu Min. Dia sudah bekerja sangat keras selama ini. Bahkan jauh sebelum gabung ke kedai. Hidupnya cuma buat putrinya. Bu Min orangnya baik, Luk. Apa salahnya ajak dia sejenak keluar dari rutinitas kerja keras? Apalagi dia sudah nggak ada tanggungan apa-apa.”
“Iya, sih...,” gumam Luken. “Tapi... Murni cuma karena kasihan?” Luken nyengir.
James tergelak sembari menggeleng-geleng. “Kamu ini...”
“Seandainya Om ajak Bu Sandra, aku pasti kasih izin dia untuk cuti, lho.” Luken tak mau berhenti mengusik.
Seketika tawa James lenyap. Tatapannya berubah serius. Lurus jatuh ke manik mata Luken.
“Aku sudah lama berhenti berandai-andai,” gumamnya. “Apalagi dia belum lama kehilangan suami. Seandainya pun tujuanku untuk menghibur dia, apa kata orang? Buatku tak ada masalah, Luk. Tapi buat dia? Aku juga masih perlu jarak untuk melihat ke hatiku. Jarak dan waktu. Karena tiba-tiba saja semua berubah tanpa aku pernah bisa menduganya. Bahkan memikirkan kepergian Pak Riza secara tiba-tiba begitu, aku sama sekali tak pernah. Sedikit pun.”
Sejenak Luken tercenung. Menemukan aneka kebenaran dalam ucapan James. Lalu, ditatapnya kembali sang paman.
“Iya, deh,” angguknya. “Yang penting Om dan Bu Min sama-sama menikmati liburan ini. Om juga jangan memforsir diri. Berhenti kalau capek. Nggak perlu merasa gengsi.”
“Iyaaa...,” James kembali tertawa. “Kamu ini lama-lama bawelnya mirip sama ibumu.”
Luken tertawa panjang karenanya.
* * *
“Ini nggak kebanyakan?” Minarti menatap dengan takjub isi troli yang didorong Arlena menuju ke kasir.
Tanpa dinyana, Arlena menjemputnya seusai jam kerja tadi. Rupanya hal itu sudah direncanakan baik-baik. Tujuannya satu, mengajaknya berbelanja semua kebutuhan perjalanan liburan nanti di sebuah pasar swalayan besar.
“Ya, enggaklah,” tukas Arlena sambil tertawa. “Enaknya pergi bawa mobil sendiri itu, ya, begini ini. Semua kebutuhan tinggal bleng. Masuk. Jadi nggak repot kebanyakan mampir di jalan.”
Minarti masih menatap isi troli. Berbagai macam biskuit dan keripik asin dan manis, sekian bungkus permen, beberapa blister vitamin C aneka rasa, sekantung besar permen mint, ada lebih dari selusin botol minuman teh aneka rasa, berbotol-botol air mineral ukuran besar, sekotak besar tisu basah, cairan antiseptik pembersih tangan, sabun mandi cair, pasta gigi, minyak angin beraroma buah, dan tak lupa jamu anti masuk angin.
“Percaya, deh! Nanti pasti terpakai semua ini,” ujar Arlena lagi.
Minarti hanya bisa meringis.
“Oh, ya, tadi kubawakan keranjang buat bawanya,” Arlena masih menyerocos. “Jadi nanti tinggal kita atur di keranjang, daaan... cus! Siap diangkat ke mobil.”
Sekali lagi, Minarti menatap dengan takjub. Sebesar apa keranjangnya?
Tapi ternyata keranjang yang dipinjamkan Arlena berukuran biasa saja. Sama seperti keranjang plastik aneka warna yang biasanya ada di minimarket. Hanya saja jumlahnya tak tanggung-tanggung. Tiga buah.
Di dalam kamar indekosnya, setelah kalah cepat membayar belanjaan itu karena Arlena secepat kilat sudah mengeluarkan kartu debitnya dari dalam tas, Minarti dengan pasrah membiarkan Arlena mengatur semua barang belanjaan itu di dalam keranjang. Dan, ternyata... pas. Satu keranjang untuk minuman teh, satu keranjang untuk air mineral, dan satu keranjang lagi untuk aneka camilan dan kantung permen.
Untuk sekian kalinya, Minarti menatap dengan takjub. Tampaknya Arlena memang sudah betul-betul berpengalaman.
“Ini barang-barang kecil lainnya, masukkan saja ke tas Mbak. Beres, deh!” Arlena tersenyum puas.
Dan, Minarti hanya sanggup mengucapkan terima kasih. Berkali-kali.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.