Sabtu, 27 April 2019

[Cerbung] Bias Renjana #19









Sebelumnya



* * *



Maksudnya?

Dengan mata bulatnya, Minarti menatap James.

“Mau?” James menegaskan.

“Ke mana?” Minarti mengerutkan kening.

“Berlibur, Bu...,” jawab James dengan nada sabar. “Ke daerah yang pernah saya bina.”

“Iya, saya tahu,” tukas Minarti, halus. “Maksud saya, di daerah mana?”

“Jawa Timur, Bu. Dampit. Malang. Malang Selatan.”

Seketika Minarti kembali ternganga.

Nggak kurang jauh?

Dan, pertanyaan itu kemudian tercetus begitu saja dari mulutnya. “Nggak kurang jauh, Pak?”

James tergelak ringan mendengarnya.

“Jadi, gimana?” Tampaknya James benar-benar serius dengan tawarannya.

“Wah, saya pikir-pikir dulu, ya, Pak.”

James segera mengangguk.

“Tapi jangan kelamaan mikirnya, Bu,” senyumnya melebar.

Minarti hanya bisa meringis.

* * *

Jadi, maksudnya apa, coba?

Minarti menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Terlihat bersih dan segar seusai mandi, tapi diwarnai ekspresi setengah linglung. Masih tak percaya terhadap tawaran James yang begitu saja jatuh kepadanya siang tadi.

Tentu saja ia belum menanggapi ajakan James lebih lanjut. Sungguh, ia belum menemukan jawaban yang tepat. Kalau langsung menolak, kok, tampaknya ia juga butuh berlibur. Apalagi tawaran James sungguh menarik. Kalau menerima, tampaknya ia juga harus memikirkan lagi posisi, status, dan misinya.

Memikirkan soal misi, kening Minarti seketika berkerut.

Hei! Kenapa tidak?

Ia tersenyum, Rasa-rasanya, berlibur bersama James bisa memberinya peluang untuk mencekoki pikiran James dengan segala hal tentang Sandra.

Itu artinya....

Dengan wajah riang, Minarti pun meraih ponselnya. Tepat sepersekian detik sebelum ujung telunjuknya menyentuh nama James pada daftar kontak, gerakan itu terhenti. Tarikan riang pada wajahnya kembali datar. Diembuskannya napas panjang.

Ia memang seorang perempuan bebas. Tak terikat tali pernikahan dengan siapa pun. Juga James. Seorang laki-laki bebas. Bedanya, ia tak sebebas itu. Ia tetap memiliki batas. Seorang anak yang masih perlu dijaga perasaannya. Sedangkan James tidak.

Setelah berpikir sejenak, Minarti pun mengalihkan tujuannya. Kali ini, telunjuk tangannya menyentuh nama Vita pada layar ponsel. Beberapa detik setelah ponsel itu menempel di telinganya, terdengar ada jawaban dari seberang sana.

“Halo... Ya, Bu? Apa kabar?”

“Kabar baik, Vit. Kamu sendiri? Lagi jalan pulang jam segini?” Sekilas Minarti menatap jam dinding. Pukul enam kurang beberapa menit.

“Iya.” Suara Navita terdengar riang. “Eh, belum mau pulang, sih. Ini lagi jalan ke situ.”

“Ke mana?” Minarti mengerutkan kening.

“Ke indekos Ibu, dong....”

“Haaa? Serius?”

“Iyalah....” Tawa Navita menyambung jawaban itu.

Kebetulan!

Wajah Minarti mendadak berseri-seri. Apalagi ketika putri tunggalnya itu menanyakan ia ingin makan apa. Hendak sekalian dibelikan sambil jalan. Tak lama, pembicaraan itu pun berakhir.

Minarti menghela napas lega. Setidaknya, ia bisa bicara dengan putrinya sambil bertemu mata.

* * *

“Liburan bareng Pak James???” Mata Navita bulat menatap ibunya.

Seketika, Minarti merasa ada yang salah. Dihelanya napas panjang. Tapi sebelum pembicaraan itu berlanjut lagi, terdengar sebuah ketukan di pintu. Minarti pun beranjak. Ternyata Sri, istri penjaga rumah indekos itu. Memberitahu bahwa ada tamu untuknya di luar. Dari kedai.

“Sebentar,” Minarti menengok ke arah Navita dan Gandhi, menantunya. “Ada orang kedai ke sini. Nanti sambung lagi, ya?”

Sepeninggal Minarti, Navita menatap Gandhi. Ada letupan ketidakpuasan dan kejengkelan dalam tatap matanya.

“Ibu, tuh, ya,” desisnya. “Kok, makin sepuh makin macam-macam saja keinginannya. Yang maunya indekoslah, yang maunya berlibur sama Pak Jameslah. Maunya apa, coba?”

“Vi....” Gandhi mengulurkan tangan. Menyentuh dan meremas lembut bahu Navita. “Kamu bahagia, nggak, menikah sama aku?”

Seketika Navita melengak. Ditatapnya Gandhi dengan sorot mata tak mengerti. Ini lagi! Masalahnya apa, dia mau bahas apa!

“Ini ngomongin apa lagi, sih?” gerutunya.

“Jawab dulu...,” Gandhi tetap sabar.

“Ya, tentu saja aku bahagia,” Navita mengalah. Memilih untuk menjawab pertanyaan sang suami.

“Nah, kamu sudah bahagia.” Gandhi menatap Navita, dalam. “Aku yakin Ibu juga ikut bahagia. Tapi jangan lupa, Vit. Ibu masih punya kehidupan sendiri. Tugas Ibu mengantarmu ke jenjang kehidupan selanjutnya sudah selesai. Perjuangan Ibu bertahun-tahun untuk menjadikanmu seperti ini sudah lunas. Dan, kamu tahu sendiri, perjuangan Ibu sama sekali nggak ringan. Aku nggak akan pernah melupakan pesan Ibu saat kita sungkeman. Secara khusus Ibu berpesan padaku, agar menjagamu sebaik-baiknya. Agar aku membahagiakanmu. Aku nggak boleh menyakitimu. Selama ini semua kehidupan Ibu cuma untukmu. Lalu, kenapa sekarang kamu, kok, kelihatannya berat sekali untuk melepaskan Ibu sedikiiit saja menikmati kehidupannya.

“Ibu berhak untuk bersenang-senang, Vit, setelah bertahun-tahun tak pernah punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Ayolah, Vit. Aku yakin Ibu nggak akan kebablasan. Hanya berlibur. Bahkan seandainya kebablasan pun, kupikir nggak akan ada yang sakit hati. Pak James single, Ibu juga. Tapi percayalah, Ibu dan Pak James nggak akan mempermalukan kita.”

Navita tertunduk. Tiba-tiba saja merasa diri egois sekali.

Seingatnya, Minarti selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk dirinya. Walaupun harus berjuang hingga titik keringat terakhir, Minarti bisa memberikannya pendidikan formal dan non-formal yang cukup baik. Bisa mencukupi segala kebutuhannya. Tak pernah bisa berlebihan, tapi cukup. Selalu mengesampingkan kebutuhannya sendiri asal sang putri mendapatkan apa saja yang dibutuhkan.

Dan, Ibu mau bersenang-senang sedikit saja, aku keberatan? Durhaka banget!

Navita mengerjapkan matanya yang basah. Dengan lembut, ibu jari Gandhi menghapus genangan bening itu.

“Baiklah,” bisiknya kemudian.

Gandhi tersenyum lebar. Dipeluknya Navita dengan penuh kasih sayang.

“Tapi...,” Navita mendongak. “Dua minggu lagi kita, kan, mau nujuh bulan. Terus, bagaimana?”

“Nah, kan. Memang itu yang mau kita omongin sama Ibu?”

Navita mengangguk. Tepat saat itu, Minarti muncul kembali.

“Ada masalah di kedai, Bu?” Gandhi mendongak.

“Nggak ada.” Minarti menggeleng. “Cuma ini, ponsel Pak James ketinggalan di pantry. Daripada kenapa-kenapa, tadi diantar ke sini sama salah satu anak pantry.”

“Oh....” Gandhi manggut-manggut.

“Bu....” Navita segera menyambung pembicaraan itu. “Kalau Ibu mau berlibur sama Pak James, Navita nggak keberatan.”

Minarti sedikit ternganga menatap putrinya. Bukannya tadi...

“Serius?” Minarti menegaskan.

Navita mengangguk. Terlihat jauh lebih lepas dan tulus.

“Tadi kelihatannya....” Minarti terlihat sedikit ragu-ragu.

Navita memeluknya. “Tadinya... iya,” ungkapnya, jujur. “Tapi sudah ada yang menyadarkanku tentang semua pengorbanan Ibu,” diliriknya Gandhi. “Jadi, pergilah, Bu. Tapi....” Navita mengelus perutnya. “Ini ada rencana nujuh bulani. Gimana?”

“Oooh... Gampang itu!” Minarti menatap Navita dengan mata berbinar-binar. “Yang pasti kita nujuh bulani dulu. Kalau Pak James memaksa berangkatnya pas acaramu itu, Ibu mendingan mogok. Biar dia berlibur sendiri.”

Seketika Navita dan Gandhi tergelak. Navita mengeratkan pelukannya kepada Minarti.

“Tahu, tidak?” Dengan sedikit lebih serius, Minarti menatap Navita dan Gandhi. Bergantian. “Kenapa Ibu sampai berpikir untuk mau diajak berlibur bareng sama Pak James? Itu karena Ibu punya misi.”

Navita terbengong menatap sang ibu. Sedangkan Gandhi menatap Minarti dengan penuh rasa ingin tahu.

“Pak James dan Bu Sandra, sekretaris Mas Luken, kan, punya kisah masa lalu,” lanjut Minarti. “Nah, sekarang Bu Sandra sudah sendirian. Kelihatannya Pak James juga masih ada hati sama dia. Jadi..., selama berlibur bareng itu, Ibu mau cekokin pikiran Pak James supaya berani balikan lagi sama Bu Sandra.”

Navita masih terbengong menatap ibunya, sementara Gandhi melepaskan tawa.

“Astaga, Buuu....” Laki-laki itu geleng kepala. “Berlibur pun Ibu masih punya misi untuk kepentingan orang lain. Kapan, sih, Ibu memikirkan diri sendiri?”

“Lho!” sergah Minarti dengan wajah ceria. “Ibu ini sudah bebas, Mas Gandhi. Navita sudah mentas, sudah dijaga tangan yang tepat. Ya, inilah cara Ibu menikmati hidup. Masih bisa bekerja di bidang yang ibu senangi, nggak terlalu berat, di tempat yang tepat, dengan pendapatan yang memuaskan. Ditambah lagi sekarang bisa tinggal di tempat yang lebih nyaman. Apa lagi?” Minarti mengedikkan bahunya.

Navita tercenung.

Dulu, bisa saja Minarti ‘membuang’-nya. Baik saat masih berbentuk janin, ataukah setelah dilahirkan. Tapi Minarti memilih untuk mempertahankannya. Bertanggung jawab untuk membesarkannya dengan segala cara. Memberinya kehidupan pas-pasan tapi cukup dan lumayan menyenangkan. Lebih dari itu, Minarti sudah mencurahinya dengan segenap cinta.

Kini, ia sudah memperoleh kehidupan yang cukup sempurna dan patut disyukuri. Sementara ibunya tetaplah ibunya yang nyaris tak pernah memikirkan diri sendiri. Dan, hampir saja ia memotong kesenangan ibunya. Untung saja ada Gandhi yang dengan penuh kasih sayang mengingatkannya.

“Jadi, nanti acara nujuh bulan enaknya gimana, ya, Bu?” celetuk Gandhi.

Segera saja ketiganya asyik membicarakan rencana acara itu sambil menikmati makan malam. Menunya sederhana saja, tapi terasa sangat nikmat. Dibeli Navita di sebuah depot tak jauh dari tempat indekos ibunya.

“Berarti Ibu harus izin atau cuti, dong?” celetuk Navita pada suatu detik.

“Ya, iyalah,” jawab Minarti tegas. “Kalau sampai nggak dikasih izin sama Pak James, Ibu mundur saja dari kedai. Tapi kayaknya dikasihlah. Pak James itu baik banget orangnya.”

Navita manggut-manggut dengan wajah cerah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Catatan :
Mohon maaf sebesar-besarnya, lanjutan kisah ini baru mengudara sekarang. Soalnya saya kemarin benar-benar lupa kalau masih punya tanggungan menerbitkan satu episode lagi minggu ini. Selamat menikmati. Terima kasih atas pengertian pembaca...