Minggu, 14 April 2019

[Cerita Serial] Pojok Kisah Duda Seksi – Meretas Trauma







Meretas Trauma


Pada suatu saat, tiba-tiba saja Ajeng bertanya padaku, “Pa, boleh nggak, aku pacaran?”

Hooo... Perutku langsung terasa mulas. Tapi kuberikan saja jawabannya, “Tanya dulu sama Tante dan Om. Karena kamu sama Dika, kan, ada di bawah pengawasan Om sama Tante.”

“Aku sudah tanya Tante,” ujarnya lagi. “Tante bilang, tanya dulu sama Papa.”

“Kapan tanyanya?”

“Sudah beberapa hari lalu.”

Waduh... Kuhela napas panjang. Kali ini, aku tak boleh salah memberi jawaban. Maka...

“Ya, deh, gini,” putusku kemudian. “Keputusannya ada di tangan Om. Tapi kamu harus sabar. Karena sekarang Om, kan, lagi sakit. Bisa?”

Ajeng mengangguk.

Saat itu kami bertiga (Ajeng, Dika, dan aku) sedang menggantikan Ninin menunggui Wira di rumah sakit. Wira sedang dirawat karena penyakit maagnya kambuh tak lama setelah dia pulang dari dinas ke luar negeri.

Setelah itu, kami mengobrolkan cowok yang ia ‘taksir’ itu. Ternyata, cowok itu bersekolah di tempat yang sama dengan Dika. Satu gereja juga dengan Wira sekeluarga. Menurut Ajeng, Wira dan Ninin cukup mengenal orang tua cowok ini.

Kami juga mengobrol soal kemungkinan keputusan Wira nanti. Bagaimanapun, anak-anak sedang berada di bawah pengasuhannya, tinggal di rumahnya. Ialah yang punya aturan, dan anak-anak harus menuruti aturan itu.

Oh, ya, saat hendak masuk ke SMA, Dika dan Ajeng memutuskan untuk ‘berpisah’. Sejak TK keduanya memang selalu bersekolah di tempat yang sama. Bahkan beberapa kali ada di kelas yang sama. Hingga selesai SMP, tampaknya mereka sudah bosan bertemu ‘lu lagi, lu lagi’. Jadilah mereka lanjut di SMA yang berbeda.

“Kalau dengar cerita Papa, kayaknya aku optimis bakalan boleh.” Ajeng nyengir.

Aku tertawa. Secara iseng, aku memang sedikit mengulas soal pengalaman pacaran Wira. Rekor masih dipegangnya. Sudah berani pacaran sejak kelas 3 SMP.

* * *

Itu kejadian sekian belas bulan yang lalu. Saat ini, aku sudah tinggal bersama lagi dengan anak-anak (akan kuceritakan soal ini pada kesempatan lain), sudah tak kedengaran lagi kabar soal pacar-pacaran ini.

Dulu, saat Ajeng mengutarakan maksudnya pada Wira, omnya itu memang tidak langsung setuju. Ia memilih untuk berdiskusi dulu denganku. Pada dasarnya, aku tak apa-apa. Tapi kuserahkan sepenuhnya keputusan untuk dia ambil. Dan, ternyata ia pun tak keberatan memberi izin untuk pacaran. Tentunya dengan sederet syarat yang harus dipatuhi Ajeng dan cowok itu.

Saat aku mengunjungi anak-anak, aku pernah beberapa kali bertemu dengan cowok itu. Remaja yang cukup baik. Bukan type blo’on dan begajulan. Sikapnya sopan. Terhadap Ajeng nyaris sama seperti Dika, cukup menjaga dan melindungi.

Dari Wira maupun Ninin, aku tahu bahwa kedua anak itu masih berada di jalur yang benar. Lebih banyak malu-malu kucingnya daripada yang aneh-aneh. Jujur, aku cukup lega mendengarnya.

Tapi, makin ke sini kabar soal keduanya makin kabur. Jadi, kuputuskan untuk bertanya saja kepada Ajeng. Jawabannya kali ini sekali lagi membuatku merasa seperti ditonjok telak pada ulu hati.

“Hah! Ribet banget rasanya pacaran!” Begitu jawaban Ajeng sambil mencibir. “Toh, nantinya aku juga nggak bakalan married.”

Soal pacaran yang bubar, okelah bisa diabaikan. Tapi kalimatnya yang terakhir? Tanpa ia membahas lebih lanjut pun aku sudah tahu sebabnya.

Anak-anak tentunya melihat contoh yang betul-betul kelihatan oleh mata. Yang tampak di depan mata Ajeng tentunya pernikahan ayah-ibunya sendiri. Pernikahanku dengan Marie. Pernikahan yang harus kandas di tengah jalan dengan berbagai tragedi, termasuk bagaimana aku pada akhirnya menyandang status duda.

Belum lagi ia dan Dika ada saatnya berada di bawah pengasuhan Wira dan Ninin. Sedikit banyak, keduanya tentu bisa melihat dan merasakan bahwa pernikahan Wira dan Ninin pun bukanlah pernikahan yang biasa. Pernikahan yang cukup luar biasa, untuk tidak dikatakan ‘tidak terlalu normal’.

Pernikahan Wira dan Ninin dari awal memang sudah berangkat dari masalah. Keduanya memang cukup terbuka terhadap anak-anak soal keadaan itu, saat anak-anak sudah cukup besar. Tujuannya sudah jelas, supaya anak-anak bisa mengambil pelajaran dari situ. Mengambil hal-hal baik, dan membuang hal-hal buruk. Salah satu hal baiknya adalah pada akhirnya Wira dan Ninin berhasil menyamakan visi dan tetap bergandengan tangan untuk memenuhi setiap janji pernikahan yang sudah mereka ucapkan. Tentu saja setelah melewati berbagai badai. Sebuah sisi yang sama sekali lain dari perjalanan berkeluargaku dan Marie, di mana anak-anak mau tak mau berada di dalamnya.

Pada saat-saat seperti ini, selalu timbul perasaan bersalah. Kenapa aku tak mampu memberikan kehidupan keluarga yang normal untuk anak-anak? Padahal dulu Marie dan aku berangkat dari cinta. Terlalu mahal rasanya mendapati bahwa ternyata cinta saja tak cukup. Lebih menyesal lagi karena harga yang sangat mahal itu harus ditebus pula oleh anak-anakku. Anak-anak yang sangat kuharapkan kehadirannya dalam hidupku. Anak-anak yang jadi pusat duniaku. Anak-anak yang sangat kucintai. Lebih dari setengah nyawaku.

“Jadi, kamu trauma, Jeng?” tanyaku, pada akhirnya.

Dan, seperti yang sudah kuduga, ia mengangguk. Aku sama sekali tak mau menyalahkannya. Aku tahu betul bagaimana rasanya. Sejenak kami bertatapan.

“Ya, mungkin aku trauma, sama kayak Papa,” bisiknya kemudian. “Tapi mungkin juga nggak tepat seperti itu. Aku nggak tahu.”

Segera kubawa dia dalam pelukan.

“Putus pacaran itu wajar,” ujarku kemudian. “Asal nggak bikin kamu tenggelam dalam kesedihan, ya, itu salah satu tahapan kehidupan yang harus kamu lalui.”

“Aku nggak apa-apa, kok,” ia menanggapi.

Aku cukup lega mendengar nada yakin dalam suaranya. Mungkin memang benar itu cuma cinta monyet. Tapi bisa jadi tak sesederhana itu.

“Dia nggak apa-apa,” ucap Dika pada kesempatan lain. “Papa tenang aja, deh!”

Ya, aku percaya. Harus percaya. Anak-anakku adalah anak-anak yang kuat. Badai yang mereka hadapi tak pernah main-main. Tapi hingga detik ini mereka masih berada pada jalur yang benar. Masih bisa berdiri tegak. Bahkan bisa menjagaku, papa mereka. Tinggal bagaimana mengelola dan meretas trauma itu. Trauma terhadap sebuah kehidupan pernikahan. Trauma yang juga membuatku ngeles tiap kali anak-anak ‘mendesak’-ku untuk menikah lagi.

Hmm... Tampaknya memang kunci masalah bukan terletak di tangan Ajeng. Tapi lebih di tanganku. Bukan berarti juga kalau aku menikah lagi maka trauma akan pupus dengan mudahnya. Bisa jadi lebih mudah buat Ajeng untuk mengubah pendapat soal pernikahan kalau aku menikah lagi (dan berbahagia).

Masalahnya, urusan pernikahan itu tak pernah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Tentunya aku tak mau gagal untuk kedua kalinya. Hanya saja, kupikir yang ada di otakku saat ini bukan soal ketajutan akan kegagalan itu. Tapi lebih ke perasaan sudah nyaman menikmati hidup bertiga dengan anak-anak.

Entah apakah aku salah atau benar memiliki perasaan seperti itu. Yang jelas, fokusku saat ini adalah mendampingi dan mengantarkan anak-anak hingga meraih apa yang mereka cita-citakan dan menemukan kebahagiaan mereka. Terdengar klise memang, tapi itulah yang jadi keinginan terbesarku.

Barangkali benar ada trauma soal pernikahan. Aku masih terus mencari tahu soal itu. Supaya kalau benar ada, segera bisa diretas, dan Ajeng bisa mengubah pikirannya. Seandainya pikiran itu tak akan berubah hingga ia dewasa nanti, setidaknya alasannya bukan karena trauma, tapi karena ia benar-benar merasa nyaman dengan kehidupan sendirinya. Dan, seandainya ia mantap untuk hidup bersama belahan jiwanya kelak, harus kupastikan bahwa alasannya benar. Bukan seperti Marie dan aku dulu.

Sampai berjumpa lagi Sabtu depan dengan catatan yang lain!

* * * * *

(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)

Kisah-kisah sebelumnya :