Sebelumnya
* * *
Delapan
Dari balik kaca gelap ruang kerjanya di lantai tiga kedai, James menatap ke seberang. Sebuah gedung berlantai dua. Kantor Coffee Storage. Samar, dihelanya napas lega.
Segala urusan yang menyangkut kepemilikan dan pengelolaan Coffee Storage sudah beres. Coffee Storage sudah resmi diserahkannya kepada Luken. Bahkan status hukumnya pun sudah ditetapkan. Dengan begitu, seolah ada satu beban yang terangkat dari bahunya.
Tinggal kedai ini....
James mundur selangkah. Ia menatap berkeliling. Hanya ada ia sendirian di ruang kerja itu. Minarti tentunya masih sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Angie, sudah minta izin untuk mengurus yudisiumnya.
Lalu apa?
Sejujurnya, ia sudah lelah. Semua yang dikerjakannya kini hanya sekadar mencari kesibukan.
Untuk apa sebenarnya?
Ia sendiri mulai tak kenal lagi apa yang ia sebetulnya inginkan.
Kedai kopi ini sudah beroperasi selama beberapa bulan lamanya. Sudah berjalan dengan cukup mantap, memperoleh pasar yang terus berkembang, dan memperlihatkan hasil dengan grafik naik yang menggembirakan.
Lantas, apa lagi?
Pelan-pelan, ia duduk di kursinya. Menyandarkan punggung dan kepala. Menatap jauh ke luar jendela. Pada bayang-bayang langit berawan di atas atap deretan gedung di seberang.
Ia mau mengakui atau tidak, ada sebuah ruang kosong yang sangat lapang dalam hatinya. Dalam hidupnya. Ruang kosong yang seharusnya diisi penuh oleh kehangatan sebuah keluarga. Dan, rasa-rasanya sudah terlalu lambat untuk merasa menyesal.
Keputusannya untuk mengalihkan perhatian dan energi pada hal lain seusai gagal menyunting Sandra bukanlah sesuatu yang harus ia sesali. Ia mengambil pilihan itu dengan kesadaran penuh. Bahwa lebih baik ia sendirian melakukan apa pun yang ia inginkan. Tidak mengorbankan keluarga, ataupun hal-hal yang setara.
Tapi kini, ketika dirasanya semua sudah selesai dengan hasil baik sesuai yang diinginkan, barulah rasa sepi itu menerjangnya tanpa ampun. Tak ada rambu untuk berbalik arah. Jalannya harus tetap lurus ke depan. Mau tak mau ia harus menempuhnya, sekaligus menikmati rasa sepi dan kosong itu dalam satu paket perjalanan.
Ya, itulah konsekuensinya. James mengedikkan bahu. Tepat pada saat yang sama, telepon di mejanya berbunyi. James menegakkan punggung dan mengulurkan tangan untuk meraih gagang telepon.
“Selamat siang. James di sini.”
“Selamat siang, Pak James. Maaf, mengganggu Bapak. Ada pesan dari Bu Min. Ini sudah waktunya Bapak makan. Bapak mau makan di bawah, atau makanannya diantarkan ke atas?”
“Oh, aku turun saja. Terima kasih, ya.”
Setelah mendapat jawaban dari seberang sana, James pun menutup pembicaraan. Sebelum keluar dari ruang kerja itu, dimatikannya laptop yang sedari tadi berada dalam posisi menyala. Setelah merapikan meja, James pun beranjak.
* * *
Ketika James menyelinap ke dapur, Minarti dijumpainya tengah sibuk di meja sudut. Bergantian antara menulis di buku catatannya dengan mengamati lembar demi lembar bundelan kertas di depannya. Tanpa suara James melangkah mendekati meja.
“Bu...,” sapanya, sehalus mungkin. “Sibuk banget?”
Minarti mendongak. Kacamata bacanya nyaris melorot ke ujung hidung.
“Oh, Pak James.” Minarti mengerjapkan mata sambil tangannya sibuk merapikan apa saja yang ada di depannya. “Makan dulu, Pak.”
James mengangguk dan berlalu. Memilih dan mengambil makanan langsung dari pantry. Beberapa saat kemudian ia kembali. Minarti masih juga tenggelam dalam kesibukannya semula.
“Bu, ditunda dulu sibuknya,” tegurnya halus. “Makan dulu.”
“Iya, Pak.” Minarti menanggapi sambil tetap konsentrasi pada kesibukannya. “Tanggung. Sebentar lagi selesai.”
James pun memutuskan untuk tidak mengganggu Minarti. Diam-diam, ia mulai menikmati makan siangnya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Minarti. Lalu, ia menangkap ada aura lain dalam wajah Minarti. Tapi ia diam saja. Menunggu dengan sabar. Hingga akhirnya Minarti mengangkat wajah. Menatapnya dengan pasrah.
“Catatan belanja saya ada yang keselip, Pak,” desahnya. “Padahal di situ ada catatan harganya juga. Banyak yang sudah berubah dari catatan sebelumnya. Kalau kayak gini, saya susah menentukan acuan harga.”
James mengerutkan kening.
“Yang tanggal 26 apa bukan?” tanyanya kemudian, dengan suara rendah.
“Iya, betul!” Mata Minarti melebar. “Kok, Bapak tahu?”
“Kayaknya tadi ada di meja Angie.”
“Aduuuh... Anak itu!” Sesal Minarti. “Kenapa nggak bilang dulu, sih, sebelum bawa catatan itu ke atas?”
Dengan wajah terlihat sedikit kesal, Minarti menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dengan jelas James menangkap ekspresi ‘bikin repot saja!’ dalam raut wajah Minarti. Tapi ada juga sebersit kelegaan di sana. James mengulum senyum.
“Ya, nanti saya tegur dia,” ujarnya kalem.
Minarti menghela napas panjang, dan menutupnya dengan tawa. Dengan cekatan, tangannya merapikan buku catatan dan bundelan kertasnya. Dimasukkannya semua itu ke dalam sebuah map plastik berbentuk amplop besar berwarna biru dengan kembang-kembang putih.
“Nggak apa-apa, Pak,” ujarnya kemudian. “Nanti biar saya ngomong sendiri ke dia. Bapak belum perlu terlibat. Cuma masalah kecil ini.”
James pun tersenyum menanggapinya. Bersamaan dengan itu, Minarti beranjak untuk mengambil makanan. Ketika ia kembali lagi, James menatapnya.
“Bu, kayaknya kita perlu berlibur,” ucap James dengan nada santai. “Mau, nggak, saya ajak menengok petani-petani kopi yang pernah saya bina?”
Seketika, Minarti ternganga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Silakan mampir juga ke cerpen berjudul "Jendela" yang mengudara siang tadi di blog ini. Terima kasih...