Sebelumnya
* * *
“Kita ke kafe, yuk, Ma!” Tiba-tiba saja tercetus kalimat itu dari sela-sela bibir Angie.
Seketika Sandra menengok ke kanan. Menatap anak gadisnya yang tengah mengemudi. Keningnya sedikit berkerut.
“Tumben...,” gumamnya, sembari kembali mengalihkan tatapan ke arah depan.
“Kan, aku baru gajian.” Angie menyambung ucapannya dengan tawa ringan.
“Wooo....” Sandra tersenyum lebar. “Boleh, deh!”
“Sesekalilah kita hangout berdua, Ma,” gumam Angie kemudian. “Sambil menghibur diri.”
Ucapan Angie yang terkesan ringan dan sambil lalu itu tak urung terasa menyodok ulu hati Sandra. Menghibur diri... Ia melemparkan tatapan ke luar jendela kiri. Dunia di sekelilingnya seolah berlari dalam gerak lambat.
Sejak Riza meninggalkannya secara tiba-tiba, tanpa pesan pula, rasanya sulit sekali untuk menghibur diri. Dengan statusnya sekarang, entah mengapa, Sandra merasa bahwa hidupnya mulai lebih terbatas. Pun soal menghibur diri. Sejenak bersenang-senang. Terkadang ia berpikir kurang pantas untuk melakukannya.
“Tapi jangan lupa, Bu, kehidupan kita sudah seharusnya terus berjalan.” Begitu ucap Minarti saat mereka makan nasi goreng bersama di kamar indekos Minarti. “Rasa kehilangan sudah pasti akan tetap ada. Apalagi dia adalah orang yang sangat kita cintai. Tapi kita masih punya napas kehidupan yang harus kita syukuri dan isi dengan berbagai hal yang bisa membuat kita bahagia.”
Jadi... Dengan sebuah helaan napas panjang, Sandra membuang jauh-jauh segala perasaan tak pantas itu. Toh, aku hanya menghibur diri bersama putriku sendiri. Tidak sedang merugikan orang lain. Maka, ia pun mengangkat dagu dan menegakkan duduknya.
* * *
Kafe yang dipilih Angie masih berlokasi di seputaran Tebet juga. Kafe bertema keluarga terasa begitu hangat disinari pendar-pendar lampu yang terkesan sedikit temaram. Sandra belum pernah mengunjunginya.
Ketika Riza masih ada, akhir pekan mereka hampir selalu dilewatkan di luar rumah. Terkadang berdua saja, tapi lebih sering bertiga dengan Angie. Sering hanya makan malam saja di luar, tapi tak jarang pula ditambah dengan ke bioskop. Tidak selalu di kafe atau resto yang mahal, malah lebih sering ke warung tenda langganan ataupun kedai-kedai kecil yang selalu menyajikan menu spesial. Saat-saat yang selalu terasa hangat, manis, dan menyenangkan.
“Es krimnya recommended, Ma,” bisik Angie begitu mereka duduk nyaman di dua buah sofa tunggal yang ditata berhadapan, dipisahkan oleh sebuah meja kecil.
Seorang pramusaji datang dengan senyum ramahnya. Menyapa sambil menyodorkan dua buah buku menu. Segera saja keduanya asyik memilih sambil berdiskusi dengan pramusaji. Beberapa menit berlalu, urusan itu selesai. Seorang pramusaji lain datang membawa satu stoples mini berisi sus kering dan dua botol kaca air mineral. Cemilan dan minuman gratis untuk dinikmati sembari menunggu pesanan disiapkan.
Sekilas, Sandra mengedarkan pandangan berkeliling. Kafe itu lumayan penuh. Menandakan bahwa apa yang disajikan kafe itu cukup memuaskan hati pengunjungnya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Sandra sambil menjumput isi stoples.
“Pernahlah, tapi nggak sering.” Angie menggeleng sedikit.
Pembicaraan beralih ke masalah yang sedikit pribadi. Dengan sedikit malu-malu, Angie pun mengakui sesuatu.
“Ma... Mm... Aku... Aku... jadian... sama... Tony.” Dengan suara nyaris tak terdengar, Angie menyebutkan nama sahabatnya sejak SD itu.
Sandra tak terlalu heran, sebenarnya. Karena nalurinya sudah lama menangkap ada sesuatu yang istimewa dalam relasi Angie dengan Tony. Hanya saja keduanya terlihat masih belum yakin dengan perasaan sendiri.
“Kapan dia nembaknya?” Sandra tersenyum lebar.
Ia sudah lama mengenal pemuda itu. Bahkan ia dan ibu Tony berteman baik, dan mereka tinggal di lingkungan yang sama. Mendiang ayah Tony bahkan mengajar di kampus yang sama dengan Riza, hanya saja lain fakultas. Meninggalnya sudah cukup lama, saat Tony masih SMP, karena mengalami kecelakaan lalu lintas.
Kepergian sang ayah tak ayal membuat Tony jadi lebih cepat dewasa. Pada dasarnya memang Tony anak yang baik. Lebih baik lagi saat sang ayah sudah tiada. Jadi anak sulung yang selalu membuat ibunya bangga, dan pelindung yang cukup sempurna untuk Petra, satu-satunya adik yang ia miliki.
Saat ini, Tony bisa dikatakan sudah cukup mandiri. Masih tetap tinggal bersama ibu dan adiknya, tapi sudah punya penghasilan sendiri. Sejak awal kuliah dulu, Tony sudah aktif menjadi mentor sebuah bimbel. Hasilnya lebih dari lumayan. Apalagi dia juga pandai mencari celah dengan menjadi guru les privat beberapa anak SD dan SMP di sekitar rumah.
Belakangan, kesibukannya bertambah dengan mulai menjadi asisten dosen. Ia tampaknya cukup serius untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dosen. Bukan untuk menggantikan posisi mendiang ayahnya, tapi memang itulah hal yang sangat diinginkannya. Peluang itu sungguh terbuka lebar. Apalagi secara akademik ia memang berprestasi.
“Beberapa waktu lalu. Pas cari kado buat Petra.”
“Jujur, Mama senang kamu akhirnya bisa mengenali perasaanmu sendiri.” Dengan lembut, Sandra menepuk punggung tangan Angie. “Apalagi Mama tahu Tony anaknya baik.”
Angie tampak sangat lega melihat dan mendengar tanggapan ibunya. Ia memang selalu merasa nyaman berada di samping Tony.
“Nanti kayaknya kami mau bareng lagi memulai program S2,” ungkap Angie lebih lanjut.
“S3?” Sandra masih mempertahankan senyum teduhnya.
“Mungkin dia lanjut, aku enggak.”
“Lho, kenapa?” Sandra mengerutkan kening. “Kan, ada jatah beasiswa.”
“Mm... Kalau aku jadi dosen, atau peneliti, atau sejenisnya, barangkali memang sangat penting untuk lanjut ke S3. Tapi, kan, Mama tahu, aku bekerja di perusahaan. Kupikir, cukuplah sampai S2 saja. Bahkan seandainya nanti aku punya usaha sendiri, tetaplah cukup. Tinggal gimana menyelaraskan ilmu dengan penerapannya. Tapi, ya...,” Angie mengedikkan sedikit bahunya, “... nggak tahu lagi kalau nanti pendapatku berubah. Yang jelas, targetku beres S1 secepatnya, tetap bekerja, dan nanti lanjut ke S2 sampai selesai.”
“Dan, memikirkan pernikahan dengan Tony?” Ada nada menggoda yang kental dalam suaranya.
Seketika Angie tersipu.
“Masih nantilah itu, Ma,” kilahnya halus. “Yang jelas, baik aku dan Tony nggak ada niat main-main.”
“Ya,” angguk Sandra. “Yang jelas, kalian nikmatilah dulu masa muda ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai saling menyakiti. Jangan sampai saling merugikan. Salinglah mendukung. Salinglah mengenal pribadi masing-masing dengan lebih dalam. Menerima segala kelebihan dan kekurangan. Selalu meningkatkan cara berkomunikasi hingga kalian menemukan pola yang betul-betul pas.”
Angie manggut-manggut. Sejurus kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya. Ditatapnya sang ibu dengan sorot mata polos dan gemerlap.
“Ma... Soal Mama dan Om James..., sebetulnya... gimana ceritanya?”
Suara lirih Angie seketika berubah jadi guntur yang seolah menggelegar begitu saja di telinga Sandra.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.