Ketika Hilang
Setengah Nyawa
Seperti yang pernah kuungkapkan pada catatan yang lalu, ketika harus berpisah dengan anak-anak, aku seperti kehilangan lebih dari setengah nyawa. Pada saat sebelum perpisahan itu, sudah ada jurang yang menganga di antara Marie dan aku. Aku sudah mendengar desas-desus yang membuat telinga gatal. Sudah kutanyakan pula kepada Marie, tapi dia membantah. Oke, aku HARUS percaya kepadanya. Sayangnya...
Menjelang akhir semester ganjil saat anak-anak kelas 6, aku harus menjalani training ke Jepang. Lamanya delapan bulan. Saat anak-anak mempersiapkan ujian kelulusan SD, aku tak bisa mendampingi mereka. Bukan masalah yang terlalu besar sebetulnya, karena walaupun Marie juga sibuk, dia masih bisa meluangkan waktu untuk anak-anak. Selama ini pun dia juga bukanlah ibu yang jauh dari anak-anak. She’s a good mom. Good enough. Jadi aku pun nyaman-nyaman saja meninggalkan anak-anak.
Selama menjalani training di Jepang pun komunikasiku dengan anak-anak cukup lancar. Tanpa aku tahu apa yang direncanakan Marie. Ketika aku pulang, anak-anak dan Marie sudah pergi. Tak hanya sekadar pergi berkunjung ke tetangga, tapi boyongan ke Surabaya.
Seketika hidupku terasa gelap. Duniaku runtuh.
Tapi aku masih ingat untuk mengajukan cuti dan menyusul ke Surabaya. Di sana, jelaslah tuntutan Marie, agar aku mengurus perceraian secara sipil kalau ingin anak-anak kembali. Duniaku pun serasa runtuh untuk kedua kalinya.
Aku bukannya tak mencintai anak-anak. Justru merekalah pusat duniaku setelah relasiku dengan Marie dilanda keruwetan. Tapi aku juga berhak untuk tetap memegang teguh ajaran agamaku, yang salah satunya adalah pernikahan yang tak terceraikan oleh manusia. Aku sudah berkomitmen untuk setia pada satu perempuan dan pernikahan. Aku berhak untuk tetap memegang dan menjalankan komitmen itu. Timpang memang, tapi mau bagaimana lagi?
Orang pertama yang kuhubungi setelah peristiwa ini adalah Wira. Aku punya tiga orang adik. Yang urutannya ada di bawahku langsung adalah Wira, kemudian satu lagi – laki-laki juga – sudah berpulang, dan yang bungsu perempuan (ada di luar negeri, ikut suami). Jadi, satu-satunya yang bisa kuajak bertukar pikiran memang cuma Wira. Orang tua? Keduanya sudah cukup lama berpulang.
Wira langsung menyuruhku pulang ke Jakarta. “Bilang sama Marie, Mas mau mengurus semuanya asal masih boleh bertemu anak-anak kapan pun.” Begitu Wira memintaku mengajukan syarat kepada Marie. Kuturuti saja saran itu. Sekadar mengulur waktu dan supaya aku masih tetap bisa bertemu anak-anak. Untungnya, Marie setuju.
Aku pun pulang, mampir ke Jakarta, rumah Wira. Di Jakarta, Wira mengajakku konsultasi dengan pastor wilayah tempatnya tinggal. Saran yang kuterima kemudian sangat jelas. Aku harus bisa memperbaiki hubunganku dengan Marie agar pernikahan kami terselamatkan dan terhindar dari perceraian. Sesuai benar dengan keinginanku, tapi bertolak belakang dengan keinginan Marie.
Jadi, aku menggantung status itu, dengan dikejar pertanyaan dari Marie soal proses perceraian itu tiap kali kami bertemu. Pernah di awal-awal aku mencoba membuka pembicaraan soal perbaikan relasi, tapi Marie sama sekali tak ada reaksi positif. Pernikahan adalah komitmen dua orang yang membangunnya. Kalau timpang seperti ini, sudah jelas hasilnya, kan?
Melibatkan mertuaku adalah hal terakhir yang bisa kulakukan. Bagiku dan Marie, mereka adalah satu-satunya orang tua yang kami punyai. Hasilnya? Seharusnya aku sudah bisa menduga dari mana kengototan Marie berasal.
* * *
Kembali ke rumah yang kosong, sunyi tanpa celoteh anak-anak, seperti menyongsong hari-hari tanpa sinar mentari. Tapi setipis apa pun, aku masih tetap punya harapan untuk bisa memeluk kembali anak-anak. Harapan itulah yang jadi bahan bakarku untuk menjalani hidup.
Untuk mengisi kekosongan itu, sekaligus berusaha agar hari cepat berlalu, aku kembali aktif berkegiatan sesusai jam kerja. Bergabung dalam klub futsal bersama rekan-rekan kantor adalah hal pertama yang kulakukan. Kami meluangkan waktu bermain futsal satu atau dua kali seminggu. Berikutnya adalah menerima permintaan beberapa tetangga untuk memberi les privat gitar anak-anak usia SD. Yang terakhir adalah menerima permintaan seorang rekan untuk melatih karate anak-anak sebuah SMP.
Dalam wajah anak-anak itu, aku seolah melihat pantulan wajah anak-anakku. Semangatku timbul kembali karenanya.
Dan, rupanya Tuhan memang tak pernah tidur. Gusti mboten nate sare. Membuat waktu berbicara dan kebenaran terbuka. Harapanku terkabul. Nyawaku kembali penuh. Anak-anak bisa kembali padaku meskipun tidak secara langsung. Kisahnya ada pada tulisan yang lalu.
Semua ini sama sekali bukan perjalanan yang mudah untuk dilalui. Tapi selalu ada semangat baru yang timbul setiap kali kutatap mata anak-anak. Juga ketika aku menengok ke arah Wira. Dia selalu mengulurkan tangan untuk tempatku berpegang dan menegarkan diri.
Tak hanya Wira saja sebetulnya. Juga ada Ferdi dan penyadur kisah ini. Mereka adalah sahabat-sahabat terbaikku. Dengan cara mereka sendiri selalu mendampingiku menempuh badai. Menguatkanku dengan cara-cara unik yang selalu bisa membuatku tertawa.
Setelah keinginanku agar anak-anak kembali padaku terkabul, lalu ada keinginan yang ngelunjak. Yaitu berkumpul kembali dengan anak-anak. Terkabul? Saat ini, iya. Bagaimana kisahnya? Kapan-kapan akan kuceritakan.
Oh, ya, sudah kujelaskan dalam kisah yang lalu, bahwa statusku adalah duda. Pada saat manusia menyerah, maka Tuhanlah yang menentukan. Bagaimana juga kisahnya? Nanti, ya. Lain kali.
Sampai bertemu lagi Sabtu depan!
* * * * *
(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)
Kisah-kisah sebelumnya :