Sebelumnya
* * *
“Semuanya sangat tiba-tiba.” Sandra mengedikkan bahunya. “Tanpa pernah ada pendahuluan sebelumnya. Padahal....”
Tatapan ibunya yang terlihat pekat bersorot pahit segera menyadarkan Angie.
“Jadi... sejujurnya...,” suara Angie terdengar lirih. Sangat ragu-ragu. “Sejujurnya... apakah Mama juga... mencintai... Om James?”
Seketika Sandra mendegut ludah. Terasa sepahit sorot matanya. Tapi ia memutuskan untuk mengelak.
“Pak James tak pernah mengatakan apa-apa soal perasaannya.” Dihindarinya juga tatapan Angie.
Angie menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Masih ditatapnya sang ibu.
“Sikapnya?” ada nada menuntut dalam suara Angie.
“Kamu tahu sendiri sikap Pak James. Selalu baik kepada semua orang.”
Angie menyipitkan matanya. Tak ada nada penolakan dalam suara ibunya. Itu artinya...
“Seandainya... Om James... lebih terbuka menyatakan perasaannya, apakah....”
“Untuk apa lagi kita membahas hal ini, sih?” Sandra memotong ucapan putrinya. “Toh, Mama sudah menikah dengan Papa. Hasilnya adalah kamu. Dan, sekarang tinggal... kita berdua....” Mendadak saja suara Sandra menjadi serak.
Sungguh, sejak ia memutudskan untuk menerima pinangan Riza, ia tak pernah punya keinginan untuk menoleh ke arah yang lain. Pada satu perasaan cintanya yang lain. Cinta yang tak tergapai karena orang yang ia cintai secara diam-diam terlalu lambat menyatakan perasaannya.
Sandra menimang kotak kado yang sudah terbuka itu. Tanpa bisa ditahan, air matanya meleleh. Tanpa bisa dikendalikan pula, ia mulai sesenggukan.
“San, kenapa?”
Sebuah sentuhan halus terasa di bahu kirinya. Sontak, Sandra menengadah. Menatap James dengan kemarahan luar biasa.
“Kenapa Bapak baru bilang sekarang?” hampir saja ia berteriak. “Kenapa tidak dari dulu?”
“San... aku tak mau memecah konsentrasimu dalam menyelesaikan studimu,” jawab James, sangat halus. “Karenanya kutunggu saat yang tepat. Saat kamu selesai diwisuda.”
“Terlambat...,” desis Sandra. Masih menatap James dengan sorot mata marah, sementara ia sendiri tak tahu harus marah karena apa. “Saya sudah dilamar berbulan-bulan lalu, setelah saya letih menunggu Bapak mengucapkan sesuatu tentang hati Bapak. Saya sudah letih berharap. Jadi... saya menerima lamarannya.”
Jelas-jelas Sandra melihat ada luka menganga dalam mata James. Sepasang mata bening itu perlahan meredup dan berubah jadi kelam. Hati Sandra terasa makin sakit melihatnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain terduduk lemas di kursinya.
“Saya....” Sandra mendegut ludah. “Saya minta maaf. Surat pengunduran diri saya akan segera sampai di meja Bapak. Secepatnya.”
“Jangan!” Suara James hanya menyerupai bisikan. “Kantor ini membutuhkanmu. Tolong, jangan mengundurkan diri karena kebodohanku.”
Dan. Ia tetap bertahan bekerja di Coffee Storage hingga detik ini. Hingga Riza berpulang, tak setitik pun Sandra mengungkap tentang rasa hatinya. Ia mencintai Riza? Ya, pada akhirnya. Setelah pernikahan mereka berjalan beberapa tahun lamanya dan mereka memiliki Angie. Sedikit banyak, pengunduran diri James dari Coffee Storage beberapa tahun kemudian memberikan ruang yang cukup longgar untuk menikmati hidup bersama Riza dan Angie.
Ada bertumpuk-tumpuk perasaan tak nyaman ketika pada suatu ketika James memanggilnya ke ruang kerja laki-laki itu.
“San, kenalkan, ini Luken, keponakanku.”
James memperkenalkan laki-laki muda yang ada dalam ruangan itu juga kepadanya. Laki-laki muda itu segera berdiri dari duduknya, menjabat tangannya dengan mantap dan hangat. Sikapnya sopan dan penuh atensi.
“Luken, Bu.”
“Sandra.” Sandra tersenyum.
“Duduk, San,” ucap James, halus.
Sandra mengangguk. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja James.
“San, secepatnya Luken akan menjadi bos barumu.”
Seketika Sandra mendongak mendengar suara berat James.
“Segera setelah dia bisa mengendalikan Coffee Storage secara mandiri, aku akan mengundurkan diri dari sini.”
“Maksud Bapak?” Sandra ternganga.
Kali ini, James menatapnya. Dalam.
“Kamu tahu aku tak punya anak,” ujar James dengan suara rendah. “Luken ini satu-satunya keponakan yang kumiliki. Satu-satunya ahli waris yang kupunya. Jadi, sekarang atau nanti, Coffee Storage akan menjadi miliknya. Aku...,” James menghela napas panjang. “Banyak yang sudah kukorbankan demi tetap berdirinya Coffee Storage. Mungkin terlalu banyak. Dan, bukan hanya aku saja yang sudah berkorban. Kamu tahu maksudku. Jadi... Aku akan mencari kesibukan baru. Kehidupan baru. Tantangan baru.”
Tak ada lagi yang bisa diucapkan Sandra.
Pelan-pelan, ia kehilangan James. Lagi. Untuk kedua kalinya. Yang pertama dulu, James segera mengambil jarak aman begitu ia menikah dengan Riza. Membangun hubungan yang murni profesional. James masih orang yang sama. Baik kepada semua orang. Sopan dan menghargai. Tapi Sandra sungguh-sungguh kehilangan sikap hangat James. Meski begitu, ia memahami alasannya. Seutuhnya.
Dan, kini...
Tampaknya ia akan segera kehilangan sosok James untuk selamanya. Ada bertumpuk rasa bersalah. Lalu, ia mulai membangun sederet kalimat yang dimulai dengan kata ‘seandainya’. Deretan kalimat yang sudah tak lagi ada gunanya. Deretan kalimat yang hanya disimpannya sendiri. Tak pernah dibagikannya dengan siapa pun, termasuk Riza.
Sampai pada akhirnya ia berani terbuka kepada putrinya. Kini. Saat putrinya sudah beranjak dewasa.
“Kupikir... memang sudah waktunya episode Mama dan Papa selesai,” bisik Angie. Membuat Sandra tercenung. “Satu hal aku berani jamin, bahwa sekian puluh tahun kehidupan terakhir Papa adalah kehidupan yang paling membahagiakan buatnya. Itu karena ada Mama. Karena aku, hanya sekian belas persen saja,” Angie tersenyum manis.
Sandra menggeleng. Masih diliputi kesedihan. Riza sudah memberikan semua hal yang diinginkannya di dunia ini. Cinta, rasa nyaman dan aman, keluarga yang selalu diliputi kehangatan dan kasih sayang, kebahagiaan. Sebut saja, semua sudah diberikan Riza kepadanya. Entah apakah ia sudah dirasa cukup membalasnya.
“Aku yakin Papa sudah bahagia di Surga, Ma.” Suara Angie terdengar jauh. “Sementara Mama masih harus tetap melanjutkan hidup. Mungkin terlalu cepat. Papa baru beberapa minggu lalu berpulang. Tapi, aku pikir, Mama juga berhak meraih mimpi dan kehidupan Mama. Aku yakin, Papa setuju denganku.
Seketika Sandra menggeleng. Tidak! Ia tak lagi punya keberanian untuk berharap dan memikirkan kemungkinan itu.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Catatan :
1. Berhubung bab 7 ini agak panjang sampai terpenggal jadi tiga bagian, maka episode selanjutnya yang akan masuk ke bab 8 dijadwalkan mengudara pada hari Rabu (24 April 2019).
2. Hingga saat ini, saya belum terima email kelanjutan kisah ‘Pak Ken’. Jadi, bagian yang seharusnya mengudara hari Sabtu kemarin belum bisa dilanjutkan lagi. Dimohon maklumnya, karena Pak Ken memang sibuk berhari raya bersama putra-putrinya, dan lagi sibuk banget sama pekerjaannya.
3. Terima kasih....