Sebelumnya
* * *
Keesokan harinya, begitu sampai di kedai menjelang pukul delapan pagi, dengan didampingi Luken, James segera mengumpulkan semua stafnya, termasuk Livi dan Angie. Dalam forum itu, secara eksplisit James menyerahkan pengelolaan kedai kepada Livi dan Angie selama ia dan Minarti pergi. Ia juga mengungkapkan bahwa Luken pun akan turut mengawasi.
Kemarin, Minarti sudah melakukan briefing sendiri terhadap seluruh staf dapur yang sedang bertugas. Dengan bantuan Angie, ia juga sudah membuat garis besar pedoman kerja secara jelas dan tertulis, agar bisa dibaca untuk dilaksanakan seluruh staf dapur tanpa terkecuali. Bahkan, ia sudah mengupas hingga hal detail.
“Jangan khawatir, Budhe,” ucap Livi, manis. “Angie dan aku akan memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Budhe tinggal bersenang-senang saja dengan Pak James. Berlibur tanpa harus repot-repot mikirin yang ada di sini. Mas Luken pasti juga bakalan bantu, kok.”
Ya, tampaknya semua akan baik-baik saja seperti harapannya.
“Ada atau nggak ada saya dan Bu Min, kedai harus tetap beroperasi seperti biasa,” tegas James. “Kalau kedai sepi karena salah kelola, salah melayani, standar turun, dan sebagainya, yang bisa membuat para pelanggan angkat kaki, dan pada akhirnya bisa membuat kedai ini tutup, itu nanti yang rugi kalian sendiri. Kalian bisa kehilangan sumber pendapatan. Apalagi jaman sekarang, cari kerja itu juga susah. Sampai di sini bisa dipahami?”
“Paham, Pak!” jawab mereka, serempak.
“Bisa sejenak saya dan Bu Min tinggalkan?”
“Bisa, Pak!”
“Oke. Sampai di sini ada pertanyaan?”
Hening. Maka, James pun mengakhiri pertemuan itu. Semua kembali bekerja. Livi dan Luken berpamitan hendak kembali ke seberang, Minarti beranjak ke pantry, sedangkan James menggamit tangan Angie, mengajaknya naik ke kantor.
“Sampai aku kembali, tahan saja semua pemasukan,” pesan James. “Untuk urusan belanja lakukan saja secara tunai, pakai uang cash yang ada. Kalau ada hal yang mendesak dan mendadak, ambil juga dari situ. Nggak perlu berurusan dengan pihak bank. Kalau ada kesulitan, segera bilang Livi dan hubungi Mas Luken. Pokoknya, semua urusan keuangan, kuserahkan padamu. Livi lebih ke manajerial kedai. Sudah kubilang padanya kalau otoritas keuangan ada di tanganmu. Aku yakin, kamu bisa dipercaya.”
“Siap, Om!” tegas Angie.
James kemudian menyerahkan kunci brankas kepada Angie.
“Kunci brankas dokumen sudah dipegang Livi,” ujar James lagi. “Kalian hati-hati, ya.”
Angie mengangguk mantap. Walau begitu, terselip juga satu perasaan sedih. James lebih memilih untuk pergi dengan Minarti, bukan dengan ibunya. Tapi segera ditindasnya perasaan itu.
Sedikit banyak, ia tahu bagaimana kehidupan Minarti sebelum ini. Perjuangannya keras. Perjuangan yang tentu saja membuat perempuan itu jarang bersenang-senang. Sementara ibunya?
Kehidupan mereka bertiga selama ini secara ekonomi lumayan berada di atas rata-rata. Pendapatan ayahnya lebih cukup untuk menghidupi mereka bertiga secara layak. Belum lagi ibunya juga punya gaji sendiri yang ia tahu cukup jauh di atas rata-rata rekan seprofesinya. Liburan? Minimal setahun sekali mereka menjadwalkan pergi berlibur bertiga. Dan, mereka punya segudang dokumentasi berupa foto dan rekaman video yang menunjukkan berbagai ekspresi bahagia ibunya.
Pasti lumayan jauhlah dengan kehidupan Bu Min sebelum ini.
Angie mengedikkan sedikit bahunya. Berusaha mengumpulkan pemakluman.
* * *
Sandra menyempatkan diri menengok ke luar jendela kantor. Melemparkan pandang ke arah gedung yang ada tepat di seberang. Ia sedang ditinggalkan sendirian pagi ini. Livi dan Luken sedang melakukan pertemuan di seberang. Kabar yang didengarnya, James akan berlibur sejenak, mengajak serta Minarti, dan menyerahkan pengelolaan kedai untuk sementara waktu ke tangan Livi dan Angie, dengan diawasi Luken.
Pada saat hening seperti ini, ia selalu teringat Riza. Salah satu hobi suaminya itu adalah melakukan perjalanan. Terkadang jauh, terkadang hanya sekadar putar-putar kota saja.
Dulu, ketika Angie belum ada, hampir setiap akhir pekan Riza mengajaknya jalan-jalan dengan mengendarai motor sport besar kesayangannya. Ke mana saja putaran roda motor membawa mereka. Jarang sekali menggunakan mobil. Dan, Sandra amat sangat menikmati perjalanan-perjalanan itu. Membuatnya bisa mengumpulkan kembali kesegaran untuk amunisi bekerja selama satu minggu berikutnya.
Ketika Angie mulai bergelung nyaman di perut Sandra, kebiasaan itu tetap dilanjutkan oleh Riza. Bedanya, mereka bermobil agar Sandra dan calon bayi mereka lebih aman. Pun setelah Angie lahir. Sejak bayi sudah biasa diajak melakukan perjalanan. Makin Angie besar, perjalanan yang mereka lakukan pun makin jauh. Apalagi setelah Angie bisa menyetir mobil dan punya SIM. Dengan riang mereka bertiga bergantian menyetir saat melakukan perjalanan jarak jauh.
Tak terasa mata Sandra mengembun. Sedih sekaligus bersyukur. Kehidupannya jauh lebih baik daripada Minarti, yang selama ini harus bekerja sedemikian keras dengan pendapatan mepet untuk membesarkan putri tunggalnya.
Jadi... Ya, mungkin memang sudah waktunya bagi Bu Min untuk mendapatkan kesempatan sejenak menikmati hidup. Aku tak boleh cemburu.
Sejenak Sandra terhenyak.
Hah? Cemburu?
Tanpa sadar ia menggeleng.
Aku ini siapanya Pak James, coba?
Dengan menghela napas panjang, dikeluarkannya semua pikiran melenceng itu dari benaknya. Tepat saat itu, telinganya menangkap ada langkah kaki menaiki anak tangga. Luken dan Livi muncul beberapa detik kemudian. Disambutnya kedua orang itu dengan senyuman.
Segera saja ketiganya tenggelam dalam kesibukan pekerjaan. Dengan menyisakan pertanyaan yang kembali dikulum Sandra.
Jadi, Pak James dan Bu Min sudah siap untuk berangkat besok?
* * *
“Bu, setelah makan siang ini saya langsung cabut, ya,” ucap James sambil menyuapkan sesendok nasi dan pelengkapnya ke dalam mulut. “Mau ke bengkel, ambil mobil, setelah itu langsung pulang. Mau ngumpulin tenaga biar besok kuat nyetir jarak jauh.”
“Oh, ya. Baik, Pak.” Minarti mengangguk.
“Besok saya jemput paling lambat pukul tujuh pagi, ya, Bu. Sambil berangkat kita mampir ke mana gitu, sarapan dulu, sekalian belanja minuman dan cemilan.”
“Wah, kalau minuman dan cemilan, jangan khawatir, Pak.” Minarti tersenyum lebar. “Saya ada stok tiga keranjang. Kemarin sore dibelanjakan sama mamanya Livi.”
“Hah?” James melebarkan matanya. “Tiga keranjang?”
Minarti seketika tergelak.
“Sudahlah, saya menurut saja, Pak, dia ambil macam-macam di swalayan. Nyerah saya. Lagipula, saya pikir dia lebih pengalaman soal bepergian jauh dengan kendaraan sendiri. Jadi, ya...,” Minarti mengangkat bahu, “begitu, deh!”
James tersenyum lebar. Tiga keranjang, apa saja isinya, ia tak berani membayangkan. Selama ini kalau ia pergi jauh membawa mobil sendiri, ia tak pernah memikirkan macam-macam. Butuh sesuatu, tinggal singgah saja ke toko terdekat, walaupun memang lebih banyak melesetnya.
“Bu Min nanti pulangnya tengbur saja, biar bisa istirahat juga,” ujar James kemudian.
“Baik, Pak.” Minarti mengangguk. Ia memang sudah selesai berkemas. Sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Memasukkan setiap hal yang diingatnya ke dalam sebuah koper dan sebuah travel bag. Dirasanya sudah lengkap betul semalam. Berharap tak ada yang ketinggalan. Bahkan kemarin Arlena menyelipkan juga sebuah kotak kecil ke dalam tas tangannya.
“Apa itu, Dik?” tanyanya sembari mengerutkan kening.
“Kacamata hitam,” Arlena tersenyum lebar. “Pasti terpakai. Percaya, deh!”
Minarti tergelak karenanya, sambil mengucapkan terima kasih.
“Maaf, Mbak, cuma barang second. Aku nggak sempat belikan yang baru. Itu salah satu koleksiku. Pakai saja. Aku masih punya beberapa di rumah. Tadi kupilihkan yang paling cocok dengan bentuk wajah Mbak.”
Sekali lagi Minarti mengucapkan terima kasih. Tak terhingga rasa syukurnya karena ia sudah dipertemukan lagi dengan keluarga yang pada beberapa masa lampau serasa jauh di awang-awang.
Rasa-rasanya, ia memang sudah siap untuk menikmati liburan bersama James. Rencananya untuk mengompori James soal mendekati Sandra kembali pun sudah matang betul.
Diam-diam, ia tersenyum dan berdendang dalam hati karenanya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.