Rabu, 15 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #26










* * *


Dua Belas


“Bu, Ibu lupa menjadwalkan pertemuan saya dengan Pak Roan?”

Teguran halus Luken itu membuat Sandra seketika mengangkat wajah. Ada keterkejutan yang sangat tergambar di sana. Pelan-pelan, raut wajah itu pun memucat.

“Aduh! Maafkan saya, Pak,” jawabnya dengan nada panik. “Maafkan saya.”

Luken menghela napas panjang. Menggeleng samar. Minggu kemarin ada dokumen banyak kesalahan ketik. Ini lagi janji penting tidak dicatat.

“Saya kaget ini tadi, waktu Pak Roan hubungi saya,” lanjut Luken, masih dengan nada halus. “Dia ingin memundurkan jadwal pertemuan, jadi nanti agak siang. Seingat saya, belum ada pemberitahuan dari Ibu kalau hari ini saya harus bertemu dengan Pak Roan. Untung dia menelepon saya.” Luken menggeleng dan berdecak. “Berarti dokumennya juga belum siap?”

“Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” Sandra berdiri, sedikit tertunduk. “Tapi soal dokumen, hari Jumat lalu sudah disiapkan Mbak Livi.”

“Oh... Ya, sudah, Bu. Tolong, disiapkan sekarang. Biar bisa saya cek dulu.”

Sandra mengangguk dan segera meloncat ke depan lemari arsip untuk menemukan dokumen yang diperlukan Luken. Laki-laki itu meninggalkannya. Masuk kembali ke ruang kerjanya.

Fokus! Fokus! Fokus! Sandra mengucapkan kata itu berkali-kali dalam hati.

Beberapa saat kemudian ia menemukan bundel dokumen yang dicarinya. Semuanya lengkap, sudah disatukan secara khusus dalam sebuah map oleh Livi.

Ia beranjak dan menyerahkan map berisi berkas itu kepada Luken, disertai sekian seri lagi permintaan maaf. Kalau biasanya Luken percaya saja isi map, kali ini laki-laki itu meluangkan sedikit lagi waktu untuk menelitinya. Sandra duduk menunggu di seberang meja. Beberapa menit kemudian Luken menutup map dan mengangkat wajahnya.

“Bu, Ibu butuh berlibur?”

Entah kenapa Sandra merasa tertohok tepat di ulu hati. Padahal Luken mengucapkan pertanyaan itu dengan cara sangat halus dan suara sangat lembut. Ia pun menggeleng.

“Enggak, Pak. Belum perlu,” jawabnya lirih. Tertunduk.

Didengarnya helaan napas Luken.

“Bu Sandra nggak biasanya, lho, kayak gini,” gumam Luken. “Bahkan dilihat secara objektif,  level Ibu masih tetap di atas Livi. Kelihatannya memang cuma kesalahan-kesalahan sepele, tapi bisa fatal.” Luken menggeleng samar.

Sandra tertunduk makin dalam.

“Apa perlu Livi saya tarik kembali lagi saja ke sini?” Luken menatap Sandra. Lurus-lurus.

“Jangan, Pak,” Sandra buru-buru menyergah. Mengangkat sedikit wajahnya. “Nanti Pak James marah. Saya janji, Pak, saya akan melipatgandakan ketelitian saya. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Nggak akan terulang lagi.”

“Saya pegang janji Ibu.” Luken mengangguk sedikit. Dan, ia pun menyudahi pertemuan empat mata itu.

Keluar dari ruang kerja Luken, Sandra menghenyakkan diri di kursi. Menyesali keteledorannya. Diakui atau tidak, sejak minggu lalu, sejak mendengar kabar James hendak pergi berlibur bersama Minarti, pikirannya jadi sedikit kacau. Padahal...

Aku ini kenapa, sih?

Sandra menggeleng.

Bukankah sudah tak ada apa-apa lagi di antara aku dan Pak James?

Sandra mengerjapkan mata. Dihelanya napas panjang. Berkali-kali. Sekadar mengusir rasa sesak yang bersemayam dalam dada. Setelah terasa lebih lega, ia pun kembali kepada pekerjaannya.

Kali ini nggak boleh ada kesalahan lagi!

Dengan berusaha berkonsentrasi penuh, Sandra menatap layar laptopnya.

Tapi... Gini hari, Pak James dan Bu Min lagi ngapain, ya, di Malang? Sudah hari keempat sejak mereka berangkat.

Sandra terhenyak lagi.

Aaah! Ngaco! Fokus! Fokus! Fokus!

* * *

James baru saja satu gigitan menikmati sarapan berupa roti panggang dan telur rebus, ketika ponselnya berbunyi nyaring dalam keheningan kamar. Diraihnya benda itu. Sejenak ia mengerutkan kening. Luken?

“Ya, Luk? Selamat pagi...”

“Selamat pagi, Om. Maaf, aku mengganggu.”

“Ada apa?”

“Mm... Apakah Livi memang harus ngantor di kedai?”

“Lho, kan, kita sudah sepakat soal itu.” James mengerutkan kening.

“Maksudku, di kedai, kan, sudah ada Angie. Dia bisalah mengawasi operasional kedai. Baru kalau ada apa-apa, diselesaikan oleh Livi. Dan, seandainya Livi baru ngantor di kedai setelah kerjaannya di sini selesai, gimana?”

“Kamu, kan, punya dua sekretaris, Luk,” ucap James, sabar. “Lagipula aku sudah berpesan pada Livi agar tetap mengerjakan pekerjaan darimu walaupun dia ngantor di kedai. Kerjaan di kedai nggak terlalu banyak, kok. Tapi memang Livi harus stay di sana. Waktu Livi cuti saat Pak Prima sakit tempo hari, sekretarismu yang satu lagi juga bisa menangani pekerjaannya, kan? Sekarang apa masalahnya?”

Hening sejenak, sebelum Luken menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya.

“Om, aku pikir..., dia kepikiran Om dan Bu Min,” Luken mengakhiri penuturannya.

James pun menghela napas panjang. Mendadak ia teringat usikan Minarti soal Sandra saat keduanya makan di Malioboro tiga malam lalu.

“Sudah mulai memikirkan cara untuk kembali pada Bu Sandra?”

“Mau dia disambar orang lain untuk kedua kalinya?”

James menggeleng samar.

“Begini saja, Luk,” putusnya kemudian, “coba kamu bicarakan saja masalah ini dengan Livi. Pokoknya, aku mau kedai tetap lancar operasionalnya. Dan, itu tanggung jawab Livi, dengan dibantu Angie. Soal sehari-harinya dia ada di mana, di kantormu atau di kedai, sudahlah terserah kalian. Aku juga tetap ingin Coffee Storage tak ada hambatan internal.”

“Baik, Om. Nanti coba aku kondisikan dengan Livi. Ngomong-ngomong, Om lagi di mana ini?”

“Bu Min dan aku masih di Madiun. Tanpa sengaja, penginapan kami persis ada di seberang rumah lama Bu Min. Baru menjelang siang ini nanti Bu Min mau bertemu keluarganya. Adik tirinya.”

“Semoga clear semua masalah Bu Min, ya, Om.”

“Amin....”

Keduanya pun mengakhiri pembicaraan itu.

* * *

Minarti sudah selesai mandi sejak pukul enam tadi. Tapi hingga hampir pukul sembilan, ia masih mendekam di kamar. Bahkan, meminta sarapannya diantar saja ke kamar. Ia benar-benar butuh waktu sendiri. Sebelum melintasi masa untuk kembali menyambung kembali benang merah ke masa lalu.

James seutuhnya memaklumi. Keduanya sudah membicarakan hal ini semalam. Bahwa ia perlu mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Daris. Apa pun hasilnya, ia harus siap. Bukankah ia sudah pernah melewati hal yang jauh lebih buruk?

Ia menatap ke depan. Pada cermin yang memantulkan wajahnya. Terlihat kuyu dan tak secerah biasanya. Dihelanya napas panjang. Matanya mengerjap.

Sebenarnya apa lagi yang harus kucari dan kudapatkan? Bukankah apa yang kumiliki sekarang sudah lebih dari cukup?

Ia pun sudah tenang dengan hidupnya. Menjalani apa yang masih bisa dijalani. Menikmati apa yang masih bisa dinikmati. Tak khawatir lagi soal keuangan. Tinggal di tempat yang sangat nyaman. Sebentar lagi akan memiliki cucu.

Apalagi, coba?

Tapi ternyata benang merah itu masih cukup penting. Setidaknya ia masih bisa meniti jembatan tipis untuk sejenak mengingat masa lalu. Tak cuma kepahitannya, tapi juga rasa manis yang masih tercecap sedikit.

Tiba-tiba saja, ia merindukan semua itu. Sangat. Terutama pada kekasih hati yang jasadnya ia tinggalkan sendirian di pemakaman. Tak pernah ia tengok lagi. Juga makam ayahnya dan ibunya.

Juga makam Mama Erna...

Maka, ia pun beranjak.

* * *

Seusai James menelan kunyahan terakhir sarapannya, pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia segera beranjak dan menemukan Minarti berdiri di depannya. Wajah perempuan itu terlihat ragu-ragu.

“Seandainya... Daris tak mau lagi mengenalku, aku harus bagaimana, James?” bisik Minarti, dengan mata mengaca.

James segera menariknya masuk dan menutup pintu. Dibimbingnya perempuan itu, duduk di sofa tunggal yang ada di dekat jendela. Ia sendiri menarik sebuah ottoman dan duduk di atasnya.

“Min...,” ujarnya lembut, “kalau adikmu tak ingin berbagi apa-apa denganmu, bahkan tak lagi mau mengenalmu, kamu masih punya keluarga di Jakarta. Kamu punya banyak sahabat di sana. Itu artinya memang di sanalah rumahmu. Bukan di sini lagi. Tapi yang lebih penting dari itu, di sini ada makam ayahmu, ibumu, kekasihmu. Jenguklah barang sekejap. Aku yakin selama ini mereka tahu kamu baik-baik saja. Kirimkan saja doa dan taburan bunga, sebagai tanda bahwa kamu masih mengingat mereka.”

Pelan, Minarti menghapus butiran air mana yang menggelinding di pipi. Ditatapnya James dari balik tirai air mata yang masih menggenang. Ia mengangguk.

“Terima kasih, James,” bisiknya. “Terima kasih banyak.”

James mengangguk dan mengulas senyum.

“Sekarang aku benar-benar siap untuk ke sana.”

James menepuk lembut bahunya. “Sudah sarapan?”

Minarti mengangguk.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.