Senin, 13 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #25









Sebelumnya



* * *



Sebelas


Seusai sarapan dan membereskan urusan administrasi hotel, James meluncurkan kembali SUV-nya, meninggalkan kehangatan kota Jogja. Sinar mentari pukul sembilan pagi menyambutnya dan Minarti.

“Nanti sampai di Malang, kita hitung lagi oleh-oleh kita, Min,” celetuk James, menoleh sekilas. “Jangan sampai ada yang terlewat nggak dapat oleh-oleh. Nanti buat anak-anak kedai kita undi saja. Jadi adil. Semuanya dapat berdasarkan undian. Buat keluarga, kalau kurang, pulangnya nanti kita bisa mampir ke Solo. Ke Pasar Klewer. Gimana?”

“Begitu juga bagus.” Minarti mengangguk.

Di sebuah sentra kain tenun lurik di daerah Pedan, Klaten, mereka berbelanja lagi. Minarti takjub melihat berbagai bahan dan warna kain lurik yang ada di ruang pamer. Semua indah di matanya. Kalau lupa daratan, rasa-rasanya ia bisa memborong semua kain yang ada di situ.

“Oh, iya, beberapa waktu lalu Sagan mengabariku, dia akan melangsungkan pernikahan bulan depan,” ujar James. “Cuma, aku belum dapat tanggal pastinya. Yang pasti dapat undanganlah. Mau menemaniku, Min?”

Minarti terdiam sejenak. Wah, kok, aku terus jadinya?

“Kan, kamu sudah kenal Sagan dan Luna.” James seolah tahu isi benak Minarti.

“Mm... Ya, bolehlah.”

“Nah!” Wajah James seketika terlihat jauh lebih cerah. “Sekalian saja kita cari busana sarimbit. Kulihat lurik di sini bagus-bagus. Ada butiknya juga di sebelah.”

Maka, Minarti hanya bisa menurut saja ketika James menyeretnya ke sebelah. Di sana, ia kemudian terpaksa sibuk memilih busana yang kiranya cocok untuk James. Terpaksa juga memilih gaun dan kemeja sarimbit kualitas premium yang diinginkan James.

Setelah puas berbelanja, keduanya meninggalkan tempat itu. Langsung meluncur ke Tawangmangu. Mereka tak lama di sana. Hanya sekadar menikmati makan siang yang lagi-lagi sedikit terlambat, dan menikmati sejuknya udara Tawangmangu.

Menjelang pukul senja, James kembali meluncurkan SUV-nya. Kali ini meninggalkan Tawangmangu, menuju ke Madiun.

* * *

Warna langit sudah pekat sempurna ketika James membelokkan mobilnya masuk ke halaman sebuah hotel. Minarti sudah merasa tercekat sejak mereka memasuki wilayah Madiun. Lebih tercekat lagi ketika mendapati bahwa James ternyata memilih sebuah hotel besar yang tepat berada di seberang rumah masa lalunya. Tapi ia hanya menyimpan galau itu dalam hati. Belum hendak mengungkapkan kepada James, bahwa sebetulnya mereka sudah berada begitu dekat dengan tujuan.

Nanti..., putus Minarti. Biar dia istirahat dulu.

Hampir pukul delapan malam, barulah Minarti keluar dari kamarnya. Ia sempat beberapa belas menit lamanya berendam di bathup. Berusaha untuk meluruhkan resahnya. James sudah duduk menunggu di salah satu sofa yang ada beberapa set terpisah di selasar depan deretan kamar, menghadap ke arah taman. Sibuk dengan gawainya. Ia mengangkat wajah ketika mendengar pintu kamar Minarti terbuka dan tertutup kembali.

“Kita makan di kafe hotel saja, ya?” tawar James.

Minarti mengangguk.

* * *

Hotel besar itu memiliki kafe yang berada di sudut depan hotel. Buka 24 jam dengan menyediakan ruang tertutup dan terbuka. Ruang terbukanya ada di area halaman hotel. Berkonsep taman dengan sebaran beberapa belas payung tenda yang menaungi set meja dan kursi.

Minarti tetap menurut ketika James mengajaknya duduk di bawah payung terluar, sekira lima meter jauhnya dari pagar hotel, yang hanya berupa deretan tanaman perdu setinggi kurang lebih satu meter. Minarti pun bisa bebas melayangkan pandang ke arah seberang jalan.

Rumah besar berlantai dua itu dikelilingi pagar besi setinggi hampir dua meter. Tetap semegah yang diingatnya. Terlihat cukup terang karena siraman beberapa lampu di bagian luar rumah dan lampu taman. Menyiratkan masih ada kehidupan di dalamnya.

Semoga Daris masih tinggal di situ....

“Mas, rumah itu masih ada yang menghuni?” Minarti mendongak, menatap pramusaji yang menunggu untuk mencatat menu pesanannya dan James.

“Ada, Bu,” pramusaji itu mengangguk. “Yang punya bus Barto Utama. Pak Daris.”

Seketika James mengangkat wajahnya. Menatap Minarti. Tapi ia sadar bahwa masih harus menahan pertanyaannya. Masih ada orang ketiga di antara mereka. Ia kemudian menunduk lagi. Memilih menu. Pun Minarti, berusaha untuk bersikap tenang, walaupun degup jantungnya nyaris tak terkendali lagi.

Selesai dengan urusan memilih menu, dan pramusaji itu sudah meninggalkan mereka berdua, James kembali menatap Minarti.

“Jadi itu--,” James menunjuk ke seberang, “—rumahmu?”

Minarti mengangguk.

“Ah, kalau saja dari awal tahu tinggal sejengkal begini, kita bisa ke sana dulu,” sesal James.

“James,” tukas Minarti, halus, “ini sudah malam, dan aku... belum siap.”

James tercenung sejenak. Tapi kemudian mengangguk. Mengerti seutuhnya. Ia menatap ke seberang.

Dalam gelap malam, rumah itu tak jelas apa warnanya. Hanya tampak berwarna muda dan bersih. Terlihat sangat asri dan terawat dengan baik. Tetap menyiratkan kemegahan walaupun sudah melalui beberapa gulungan masa.

James tercenung lagi. Ia tahu sebesar apa skala usaha PO. Barto Utama. Raja otobus dari Jawa Timur. Ia bisa membayangkan seberapa makmur kehidupan pemiliknya. Tercermin dari ukuran rumah yang ada di seberang itu, beserta tanah yang mengelilinginya, dan letaknya yang ada di salah satu ruas jalan utama.

Dan, Minarti sanggup meninggalkan semua itu? Bertahun-tahun hanya bisa hidup seadanya? Mampu bertahan hingga detik ini? Membiarkan aliran kehidupan memeliharanya?

James menggeleng samar. Perempuan yang ada di dekatnya itu rupanya jauh lebih istimewa daripada yang selama ini ia kira. Seorang perempuan yang benar-benar tangguh dan tegar menantang tiap badai kehidupan. Tak hanya berhasil mengatasi setiap badai itu, tapi juga muncul sebagai pemenang.

“Kamu hebat, Min,” gumamnya, tanpa sadar.

“Hah? Kenapa?”

James tersadar ketika menemukan tatapan Minarti menghunjamnya.

“Maksudku,” James mengerjapkan mata, “secara ekonomi, kamu pernah berada pada titik yang cukup tinggi di kehidupan ini. Lalu jatuh ke titik yang lumayan rendah. Kamu merayap, kamu berjuang, dan kamu muncul jadi pemenang. Kamu hebat, Min. Benar-benar perempuan hebat.”

Seketika Minarti menggeleng.

“Kamu terlalu tinggi menilaiku, James,” gumamnya. Teringat sudah berapa banyak derai air mata yang mengiringi perjuangan hidupnya setelah memutuskan untuk meninggalkan Madiun. “Aku hanya merasa harus menjadikan Navita orang yang kuat dan sukses. Itu saja.”

Tujuan sederhana yang kemuliaannya tak sesederhana itu.... James menatap Minarti. Yang ditatap masih mengarahkan pandang ke seberang. James membiarkan saja. Tak ingin mengusiknya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.