Senin, 06 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #22









Sebelumnya



* * *



Sepuluh


Sabtu pagi, beberapa belas menit menjelang pukul tujuh, James sudah muncul di depan rumah indekos Minarti. Di teras berjajar semua bawaan Minarti. Untunglah Navita dan Gandhi pagi-pagi sudah datang untuk melepasnya pergi. Jadi, untuk memindahkan semua barang bawaan yang cukup berat itu dari kamar Minarti ke teras, Gandhi-lah yang jadi kulinya.

James sempat ternganga sebelum tergelak saat mendapati ada tiga keranjang plastik berwarna merah berjajar di dekat koper Minarti. Ia menggelengkan kepala. Tapi setelah menilik isinya, ia setuju bahwa mereka berdua pasti membutuhkan semuanya.

Dengan dibantu Gandhi, James menata barang bawaan Minarti. Koper Minarti diletakkannya di saf belakang SUV-nya, berdampingan dengan kopernya. Sesama travel bag ada di bangku tengah, satu miliknya, satu milik Minarti. Semua keranjang berisi bekal diatur rapi berdampingan di bawah, di depan bangku tengah. Mudah dijangkau Minarti dari jok samping pengemudi.

Sebelum masuk ke mobil, Minarti sempat sekali lagi memeriksa isi tas tangan besar yang ditentengnya. Dompet, sisir dan kosmetik dasar, kacamata hitam, ponsel, charger, power bank berkapasitas penuh, beberapa blister vitamin C, segenggam permen mint, minyak angin, beberapa sachet jamu anti masuk angin, tisu basah, dan sehelai scarf lebar yang masih terlipat rapi.

Sip! Lengkap!

“Bersenang-senanglah, Bu,” bisik Navita sembari memeluk erat ibunya.

Minarti pun balas memeluk putrinya. Mengerjapkan matanya yang sedikit basah. Setelah itu dijabatnya tangan Gandhi erat-erat.

“Titip Vita, ya, Mas,” gumamnya.

Pesan yang sama pun diucapkan Navita terhadap James.

“Titip Ibu, ya, Pak.”

“Pasti akan kujaga Bu Min baik-baik,” ucapnya tegas sembari menjabat tangan Navita.

Dengan diiringi lambaian tangan Navita dan Gandhi, SUV itu pun pelan-pelan meluncur keluar dari halaman rumah indekos Minarti. Cahaya hangat mentari yang menembus sela-sela pepohonan menyambut mereka. James sudah siap untuk melindungi penglihatannya dengan kacamata hitam yang biasanya memang ia kenakan saat mengemudi.

“Kita mau mampir sarapan di mana, nih?” celetuk James sambil terus mengemudi.

“Wah, terserah Pak James,” Minarti tertawa ringan. Ada nada riang bermain dalam suaranya.

“James,” ucap James tiba-tiba. “Panggil saja aku James.”

Minarti tercengang seketika.

“Kalau boleh, aku ingin memanggilmu Min, tanpa ‘bu’. Bagaimana?” ucap James lagi.

“Oh, silakan, Pak,” sahut Minarti, cepat.

“James,” ulang laki-laki itu. Terdengar tegas.

“James...,” Minarti membeo, dengan nada ragu-ragu.

“Nah, begitu jauh lebih baik.” Ada senyum dalam suara berat laki-laki itu.

Sejenak ada keheningan dan aroma canggung sebelum Minarti memecahkannya dengan gerak memutar ke arah belakang. Tangannya meraih sesuatu.

“Mm... Tadi Navita membekaliku lontong isi,” ucap Minarti sambil berbalik kembali. Mulai terseret suasana akrab yang sudah diulurkan James. Ada sebuah kotak plastik di tangannya. Penuh lontong isi. “Arem-arem, kalau orang Jawa bilang. Mau mampir sarapan, atau makan ini saja dulu sambil jalan?”

“Oh?” James menoleh sekilas. “Aku suka itu, lontong isi. Aku mau satu, Min.”

Dengan cekatan, Minarti mengambil selonjor kecil lontong isi dan mengupas ujungnya. Lalu, disodorkannya makanan gurih itu kepada James. Laki-laki itu menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. Sebelum melahap selonjor lontong, Minarti kembali memutar badannya, mengambil dua botol air mineral. Minarti mengulum senyum ketika James tanpa malu-malu meminta satu lagi lontong isi.

“Enak, doyan, apa lapar?” candanya.

James tertawa lepas sembari menjawab, “Lengkap tiga-tiganya.”

Minarti pun tergelak karenanya.

Ketika James menepi sejenak ke sebuah SPBU untuk mengisi penuh tangki mobilnya, Minarti pun menyiapkan kacamata hitamnya. Pagi di luar sana luar biasa cerahnya. Memunculkan silau yang mulai mengganggu mata. Ketika James turun sejenak untuk membayar, iseng Minarti mengenakan kacamata hitam itu dan mengintip penampilannya melalui cermin di balik visor. Seketika ia terkikik dalam hati.

Sudah mirip nyonya-nyonya kaya!

Dan, terlambat baginya untuk melepaskan kacamata itu dari wajahnya. James sudah lebih dulu kembali. Sejenak manatapnya. Tersenyum sambil menyalakan mesin mobil.

“Pakai dari tadi, kek, kayak aku,” celetuknya. “Kan, nggak silau.”

Minarti terkikik untuk menutupi perasaan malunya. Ia pun batal melepaskan kacamata itu. SUV James meluncur lagi. Mengarah ke jalur jalan tol dalam kota.

* * *

“Wah, salah hari kita kayaknya, Min,” gumam James ketika kemacetan panjang menyambut mereka selepas pintu tol Bekasi Timur.

“Lha, gimana?” Minarti mengerutkan kening. Benar-benar tak paham maksud gumaman James.

“Itu, lihat sendiri. Macetnya gila.”

Seketika Minarti paham.

“Iya, akhir pekan gini pada ingin ke luar kota.”

“Yup.”

Mobil itu terus merayap. Untung Navita memberi bekal banyak sekali lontong isi untuk dimakan berdua. Sesuai kesepakatan, James dan Minarti melewatkan jadwal sarapan mereka. Menggantinya dengan mengemil lontong isi untuk mengganjal perut.

“Ini lontong isinya sudah habis, lho,” celetuk Minarti, saat mereka baru saja melewati rambu exit tol Cikarang Pusat.

“Aku, sih, lumayan kenyang,” James menanggapi. “Bisalah tahan sampai jam makan siang. Kamu sendiri, kira-kira gimana?”

“Samalah. Kalau terpaksa lapar, ya, itu masih ada biskuit bejibun di keranjang.”

Seketika James tertawa. Sungguh, baru kali ini ia merasa melakukan perjalanan jarak jauh dengan kendaraan pribadi yang membuatnya benar-benar merasa riang. Minarti teman seperjalanan yang menyenangkan. Apalagi sekat di antara mereka sudah terburai begitu saja saat ia memutuskan untuk menghilangkan panggilan formal di antara mereka.

Sekitar pukul sebelas, James membelokkan mobilnya ke rest area km 57 di Klari, Karawang. Diam-diam Minarti menarik napas lega. Baru kali ini ia mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa parahnya kemacetan di ruas tol Jakarta-Cikampek pada saat akhir pekan. Biasanya, ia cuma bisa melihatnya melalui layar televisi, atau membacanya dalam bentuk berita.

Sebelum keluar dari mobil, James merebahkan sedikit sandaran joknya, dan meregangkan punggung. Jadi lumayan lebih nyaman rasanya. Ia menoleh ke arah Minarti yang tengah sibuk mengikat kantung plastik kecil berisi sampah daun pisang bekas lontong isi.

“Mau makan apa, nih?” tanyanya.

Minarti menoleh sekilas. “Sudahlah, aku manut saja.”

Sebuah jawaban yang membuat James mengulum senyum. Ketika keduanya keluar dari dalam mobil, sudah tak terlihat lagi bahwa keduanya hanyalah rekanan bisnis. Yang tampak adalah keakraban bagai dua orang sahabat lama, bahkan sekilas justru terlihat seperti pasangan suami-istri yang berbahagia. Sebuah kedekatan yang tetap tampak elegan.

James memutuskan untuk membawa Minarti menikmati makan siang di sebuah resto steak. Tempat itu tak tampak lengang, juga tak terlalu padat pengunjung. Cukup memberi kenyamanan.

Sekitar satu jam keduanya menghabiskan waktu di tempat itu, sebelum SUV James kembali melaju. Matahari sudah berada tepat di atas kepala. James menyetel pendingin kabin mobil ke angka maksimum.

“Ini nanti sampai Malang kira-kira pukul berapa, James?” celetuk Minarti tiba-tiba.

“Oh...,” James menoleh sekilas. “Kita ke Jogja dulu, ya. Aku sudah booking hotel di sana.”

Seketika Minarti ternganga. Lha? Ternyata mampir-mampir?

“Namanya juga liburan, Min,” ucap James, kalem, seolah tahu apa yang dipikirkan Minarti. “Santai sajalah kita. Nanti malam kita puas-puasin jalan ke Malioboro. Atau ke mana pun kamu mau.”

Minarti tak menemukan kata yang tepat untuk menanggapi apa yang sudah direncanakan James. Tapi sungguh, ia sama sekali tak keberatan. Terserah ke mana saja James hendak membawanya pergi.

Liburan gratis ini..., pikirnya. Sedikit jahil.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Teriring ucapan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA BAGI SAHABAT-SAHABAT FIKSILIZZ YANG MENJALANKANNYA. Semoga puasanya penuh sampai Idul Fitri tiba.