Selasa, 21 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #28









Sebelumnya



* * *

Tiga Belas


“James, terima kasih banyak.”

James seketika menoleh. Minarti tengah menatapnya. Tersenyum. Bersuara lirih dengan nada sangat tulus. Laki-laki itu pun mengerutkan kening.

“Untuk apa, Min?”

“Semuanya. Hingga aku bisa kembali merangkai masa kini dan masa laluku dalam satu jangkauan.”

“Ah....” James mengibaskan tangannya. “Aku hanya membawamu dalam perjalanan saja, Min. Tidak lebih.”

James mengembalikan tatapannya ke depan. Antrean di depan mereka bergerak. Ditekannya pedal gas.

Mereka tengah berada di sebuah SPBU untuk mengisi penuh tangki bahan bakar SUV James.

Perlu waktu dua hari dua malam bagi Minarti untuk menuntaskan rindunya kepada Daris. Seharian kemarin, dihabiskannya waktu untuk mengenal lebih baik lagi keluarga kecil Daris.

Dari situ Minarti tahu bahwa Erika dulu adalah salah satu staf administrasi di kantor pusat Barto Utama. Bekerja di sana selepas lulus SMK, sembari melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi.

Pesona seorang gadis mungil manis sederhana bernama Erika itu rupanya berhasil meluluhkan hati Daris. Setelah cukup mapan menakhodai Barto Utama, barulah Daris menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia menyunting Erika menjelang akhir usia dua puluhannya. Melamar gadis itu tepat pada hari wisudanya sebagai seorang sarjana hukum.

Setelah resmi menjadi suami-istri, keduanya kemudian bahu membahu membesarkan Barto Utama. Dalam perjalanan itu, keduanya memiliki sepasang buah hati. Nina yang kini duduk di bangku kelas 11, dan Nito yang masih kelas 7. Dua anak yang begitu sopan dan manis, dan segera dekat dengan ‘Budhe’ Minarti.

Sayangnya, perjalanan Minarti dan James harus terus berlanjut. Tapi Minarti sudah berjanji untuk lebih sering pulang ke Madiun, sekaligus mengundang Daris sekeluarga untuk datang ke Jakarta. Tawaran yang diterima Daris dan Erika dengan senang hati.

“Nanti, tunggu anak-anak libur kenaikan kelas, ya, Mbak.” Begitu ucap Daris.

Dan, Kamis pagi itu, diiringi lambaian tangan Daris dan Erika, Minarti dan James kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa Minarti meminta kepoada James untuk mampir sejenak ke makam. Sekadar berpamitan kepada orang-orang terkasih yang sisa-sisa raganya masih bermukim di sana, dan mengucap janji akan kembali lagi suatu saat kelak, bersama anak dan menantunya.

Mobil James berhenti lagi. Masih ada lima lagi mobil di depan. Setelah berpikir sejenak, Minarti kembali menatap James.

“Aku ke ATM sebentar, ya,” ucapnya.

“Nanti saja, habis isi bensin,” jawab James. “Aku juga mau ambil uang.”

“Oh, baiklah....” Minarti mengangguk.

Seusai beres menambah nutrisi untuk kendaraannya, James melajukan mobilnya ke area parkir SPBU yang luas itu. Tepat di depan sebuah ATM. Keduanya turun, mengantre sejenak, dan masuk ke dalamnya bersama-sama.

“Kamu duluan,” ujar Minarti sambil; mengaduk tasnya, mencari dompet.

James yang sudah siap memegang kartunya pun melakukan maksudnya lebih dulu. Ketika ia selesai, Minarti pun sudah siap dengan kartunya. Tapi, perempuan itu tertegun ketika menatap layar mesin ATM. Sejenak kemudian ia terbelalak dan ternganga.

“Nggak mungkin...,” desisnya.

James melongok dari balik bahu Minarti. Dan, ia kemudian sama takjubnya.

“Wah! Saldomu banyak sekali, Min!” James hampir saja tidak bisa menahan seruannya.

Minarti tak sanggup menjawab.

Selama ini, gaji yang diterimanya dari James dan langsung ditransfer ke rekeningnya memang lumayan besar. Tapi membengkak jadi sebesar ini? Minarti masih ternganga. Ada angka sepuluh digit tertera di layar.

“Min, ditunggu yang antre di luar, tuh,” bisik James.

Minarti segera tersadar. Ia kemudian mengakhiri aktivitasnya. Tak jadi menarik dana. Tanpa sadar, ditariknya tangan James, keluar dari ruang ATM.

“James, ini pasti ada kesalahan,” bisiknya, di depan mobil James.

“Mm... Selasa siang itu, waktu kita jalan setelah makan siang, mau ke makam, Daris menanyakan nomor rekeningmu padaku. Ya, kubilang saja.”

Minarti paham kini. Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponsel dari dalam tas, dan menelepon Daris. Ia menggumamkan kata ‘astaga’ ketika Daris tertawa di seberang sana. Membenarkan bahwa uang yang ada di rekening Minarti itu sebagian besar memang berasal darinya.

“Nanti kutransfer lagi, Mbak. Akan kuselesaikan urusannya dengan pihak bank minggu ini juga. Selamat bersenang-senang dengan Mas James.”

James pun tertawa ketika Minarti mengulangi ucapan Daris.

“Terus, ini jadi ambil uang, nggak?” ujarnya, diiringi senyum lebar.

“Ya, iyalah,” jawab Minarti. “Uangku tinggal seratus ribu. Kemarin sore hampir kupakai semua buat kasih uang saku anak-anak.”

Sepanjang perjalanan yang sudah terlewati, Minarti memang nyaris tak pernah mengeluarkan uang. Semua kebutuhannya sudah dipenuhi oleh James. Jadi, dipakainya uang tunai yang masih ada di dompetnya untuk ‘salam tempel’ bagi Nina dan Nito.

Maka, kini ia pun mengantre lagi. Mengambil secukupnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

* * *

James benar-benar menikmati perjalanan itu. Apalagi suasana yang membias di sekitarnya dan Minarti dipenuhi warna cerah. Makin cerah setelah Minarti berhasil menyambung kembali rantai masanya. Keceriaan itu menular dengan mudahnya kepada dirinya.

“James, kenapa kamu begitu baik?” celetuk Minarti, saat mereka menikmati makan siang di Lawang.

Seketika James menatap Minarti. Tampak sedikit tercengang menerima pertanyaan bernada polos itu. Ia kemudian tersenyum.

“Cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, Min,” jawabnya kemudian. “Kita nggak bisa menyenangkan dan memenuhi harapan semua orang. Tapi setidaknya, kita perlu untuk selalu berbuat baik. Kamu pasti paham itu.”

Minarti manggut-manggut. Membenarkan ucapan James.

Pada suatu detik....

“Min, kamu sudah banyak uang sekarang,” ucap James dengan nada rendah. “Apa kamu masih tetap akan bergabung denganku di kedai?”

“Tentu saja!” seceoat kilat Minarti menanggapi. “Aku justru bingung harus ngapain kalau aku tidak bekerja.” Disambungnya ucapan itu dengan tawa.

Tapi, James tetap serius menanggapinya.

“Nggak terpikir untuk kembali menikmati hidup, setelah semua yang kamu alami dan perjuangkan selama beberapa puluh tahun ini?”

Perlu waktu beberapa menit bagi Minarti untuk berpikir. Tapi ia menemukan juga jawabannya.

“Aku menikmati hidupku, James,” senyumnya. “Bahkan hingga ke setiap tetes pahit dan manisnya. Nggak ada yang harus berubah. Aku hanya perlu lebih bersyukur lagi dengan apa yang kuterima sekarang.”

“Masih tetap mau indekos?” senyum James melebar.

Minarti melepaskan tawanya ketika menemukan ada nada canda dalam suara James.

“Enak, tahu, indekos....,” jawabnya kemudian. “Nggak perlu mikir soal kebersihan, laundry, dan sejenisnya. Tinggal kerja, dan menikmati hidup. Apalagi letaknya dekat banget dengan kedai. Nggak perlu tua di jalan.”

James pun tertawa mendengar tanggapan itu. Tampaknya tak ada yang berubah dari sosok seorang Minarti. Perempuan yang sudah kembali kaya raya itu tetaplah seorang Minarti yang sederhana dan selalu mensyukuri apa yang dimilikinya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.