Senin, 27 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #30









Sebelumnya



* * *

Empat Belas


Kembali ke rutinitas semula...

James mengemudikan mobilnya dengan santai. Matahari masih mengintip malu-malu dari balik awan tipis yang menutupi cakrawala timur. Ia langsung mengarahkan mobilnya ke kedai, tidak menjemput Minarti. Hari ini hari Senin. Walaupun baru saja libur panjang, tapi hari Senin tetaplah hari libur Minarti.

Mereka baru saja kembali dari berlibur pada hari Sabtu lalu, tepat dua minggu setelah memulai perjalanan. Melihat keceriaan Minarti ketika memborong aneka busana dan pernak-pernik batik Pekalongan pada etape terakhir perjalanan sebelum benar-benar bertolak kembali ke Jakarta, James merasa bahwa keputusannya untuk mengajak perempuan itu menikmati libur bersama benar-benar tepat.

Setelah semua urusan Minarti di Madiun selesai, James benar-benar bisa melihat bahwa Minarti menjelma menjadi manusia baru. Manusia yang jauh lebih bersemangat daripada sebelumnya. Manusia yang menatap ke depan dengan kepala lebih tegak. Penuh rasa percaya diri dan lebih ‘lepas’. Dan, ia sungguh-sungguh bersyukur menjadi bagian dari proses berubahnya Minarti jadi kupu-kupu yang lebih indah.

Dengan senyum terkulum di bibir, dibelokkannya mobil ke area parkir kompleks ruko tempat kedainya berada. Melihat pintu depan yang terbuka setengah, ia tahu bahwa kesibukan di dalam kedai sudah dimulai. Ketika ia melangkahkan kaki melintasi pintu, segala kesibukan itu seolah terhenti sejenak. Berbagai sapaan hangat menyambutnya.

Ia kemudian meminta bantuan beberapa orang untuk menurunkan semua kardus berisi oleh-oleh dari dalam mobilnya. Seharian kemarin, Luken dan Livi sudah membantunya membungkus semua oleh-oleh itu dengan kertas cokelat, sekaligus memberinya nomor.

“Sudah kumpul semua yang shift pagi?” James menatap berkeliling.

“Tunggu!”

Suara itu membuat James menatap ke satu arah. Pintu pantry.

“Lho....” Hanya itu yang bisa digumamkannya. Ditemukannya wajah Minarti menyembul dari balik pintu pantry.

Minarti melangkah bergegas menghampiri. Wajahnya terlihat sangat segar dan ceria.

“Aku nggak boleh ketinggalan menyaksikan acara undian oleh-oleh.” Perempuan itu melepaskan tawanya.

Undian itu pun dimulai. Suasana meriah benar-benar meledak di ruangan itu. Terlihat jelas kegembiraan orang-orang yang mencocokkan nomor undian yang didapatnya dengan nomor yang tertera pada bungkus oleh-oleh.

“Hari ini bukannya kamu libur?” bisik James dengan suara rendah.

“Seharian kemarin saya sudah cukup istirahat di rumah Vita, Pak James,” jawab Minarti.

James sedikit tertegun menangkap nada resmi dalam suara Minarti. Sedetik kemudian ia paham. Acara liburan sudah benar-benar berakhir. Mereka bukan lagi teman seperjalanan yang menikmati liburan bersama, melainkan kembali menjadi rekan kerja.

“Oh, ya, baju sarimbit itu sudah saya bawa,” lanjut Minarti. “Mau saya yang kasih ke Bu Sandra, atau Pak James sendiri?”

“Enaknya bagaimana?” James justru balik bertanya. Menatap Minarti dengan sorot mata serius.

“Mm...,” Minarti berpikir sejenak. “Sebaiknya Bapak sendiri yang ke sana. Sekalian bicara soal undangan Pak Sagan itu.”

James tercenung sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk.

“Nanti saja, saat makan siang,” bisik Minarti. “Sudah saya atur semuanya.”

Seketika James mengangkat wajah. Kembali menatap Minarti. Perempuan itu tampak tersenyum simpul. Penuh ekspresi kejahilan seorang remaja. James menggeleng samar.

* * *

“Kami tinggal dulu, ya, Bu.”

Dengan sangat sopan, Luken berpamitan kepada Sandra. Siang ini, laki-laki itu hendak menggunakan waktu istirahat makannya untuk bertemiu dengan staf wedding organizer. Tentu saja ia tidak pergi sendirian. Livi ada bersamanya.

Sandra mengangguk dengan senyum menghiasi bibirnya. Rasanya senang sekali ia melihat sepasang kekasih yang mempersiapkan pernikahan dengan penuh semangat seperti Luken dan Livi. Mengingatkannya akan hal yang sudah pernah dilaluinya bersama Riza dulu.

Sepeninggal Luken dan Livi, Sandra sekilas menatap jam dinding yang posisinya ada tepat di seberangnya. Masih kurang lima menit dari jam istirahat. Ia pun meraih ponsel dan menghubungi Angie. Bermaksud hendak mengajak putrinya itu makan siang bersama.

“Wah, aku masih di indekos Bu Min, Ma,” jawab Angie dari seberang sana. “Dari pukul sepuluh tadi. Diajak Bu Min ambil oleh-oleh.”

“Lho, kamu nggak kerja?” Sandra mengerutkan kening.

“Iya, tadi kerja. Nanti juga kerja lagi. Sudah dikasih izin sama Om James, kok.”

Keduanya pun segera mengakhiri pembicaraan itu. Sandra menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Menyadari bahwa siang ini ia harus menikmati makan siang sendirian saja.

Kecuali...

Tepat pukul dua belas siang, Sandra pun beranjak. Hendak turun untuk menikmati makan siang di bawah. Tapi di puncak tangga, langkahnya terhenti. Begitu juga orang yang tengah melangkah naik. Orang itu mendongak. Keduanya bertatapan. Dunia seolah membeku sejenak di sekitar mereka.

* * *

Dengan langkah sedikit ragu, James menyeberang dari kedai menuju ke kantor Coffee Storage. Tangan kanannya menjinjing sebuah tas kertas tebal bermotif tenun lurik warna-warni.

Sekitar pukul sepuluh tadi, Minarti berpamitan kepadanya, hendak pulang ke indekosnya. Minarti sudah selesai memeriksa pekerjaan staf dapur, dan hendak kembali pada jatah libur hari Seninnya. Tak lupa perempuan itu meminta izin untuk membawa serta Angie.

“Mau saya suruh sekalian ambil oleh-oleh, Pak.” Begitu ucap Minarti.

Ia tak punya alasan untuk menolak maksud Minarti. Seusai acara undian oleh-oleh tadi, ia sudah bertemu Angie dan menerima seluruh laporan dari gadis itu. Tak ada masalah dengan keuangan mereka. Semua sudah tercatat rapi dalam pembukuan yang dikerjakan Angie. Setelah ia memeriksanya, semuanya sudah cocok hingga ke sen-sennya.

“Jangan lupa, itu tasnya ada di mejaku,” bisik Minarti tadi, sebelum pergi. “Jangan bilang kalau kamu pernah mengajakku.”

Dan, ia hanya bisa mengangguk dengan rupa bodoh. Benar-benar tidak tahu bagaimana Minarti bisa secepat itu memutar otak untuk merencanakan segalanya demi ia dan Sandra.

Di sinilah aku sekarang....

Masih sempat dilambaikannya tangan ketika dilihatnya mobil Luken meluncur pergi. Ia tak punya pilihan lain kecuali melanjutkan langkah. Ketika kedua kakinya mulai menapaki anak tangga, tak terkira betapa debar-debar liar berlompatan dengan nakal dalam dadanya.

Ia sedikit tersentak ketika sebuah bayangan jatuh di matanya, Ia mendongak. Mendapati Sandra tengah berdiri tegak di ujung tangga. Menatapnya. Ia pun meneruskan langkah setelah sempat tertahan sejenak. Sempat menghela napas panjang untuk medapatkan kembali ketenangannya

“Halo!” Sapanya hangat, Tak urung telinganya menangkap sedikit getar dalam suaranya sendiri.

“Mm... Pak Luken baru saja keluar,” ucap Sandra. Lirih. Sangat lirih, hingga hampir tak terdengar. “Dengan Mbak Livi.”

“Ya, aku tahu,” James mengangguk. “Tadi ketemu mereka di bawah.” Ia sudah sampai di puncak tangga. Berada begitu dekat dengan Sandra. “Aku hanya ingin menyampaikan ini,” James menyodorkan tas kertas yang dijinjingnya. “Sedikit oleh-oleh buatmu.”

Sandra tertegun. Tapi diterimanya juga tas kertas itu.

“Sekaligus ingin mengajakmu makan siang,” lanjut James. “Aku sudah minta izin kepada Luken. Mm... Ada yang aku ingin bicarakan denganmu.”

Diam-diam, Sandra mendegut ludah dengan susah payah. Dadanya terasa sedikit sesak karena dipenuhi debar liar yang tak lagi bisa dikendalikan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.