Minggu, 26 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #29









Sebelumnya



* * *


Minarti membundarkan bibirnya ketika James membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel di Malang.

“Kukira kita langsung ke Malang Selatan,” gumam Minarti.

“Kamu pernah kuliah di sini, kan?” James menoleh sekilas sambil mematikan mesin mobil. “Kutemani kamu napak tilas.”

Minarti tertawa pendek, sebelum menghela napas dengan wajah sedikit muram.

“Ada apa, Min?”

Minarti menggeleng samar.

“Aku bertemu ayah Navita di sini,” Minarti tertunduk. “Kami punya banyak kenangan di sini, tapi... Ah!” Minarti mengedikkan bahu seraya mengangkat wajah kembali. “Malang sudah berubah terlalu banyak, James. Aku hampir tak mengenalinya lagi.”

James termangu sejenak.

“Hei!” Suara Minarti kembali bernada ceria. “Kamu mengajakku berlibur, kan? Ayo, kita bersenang-senang!”

James menoleh cepat mendengar suara penuh semangat Minarti. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

“Ayo!” sahutnya, bersemangat.

Keduanya keluar dari mobil dan menuju ke meja resepsionis. Tak butuh proses bertele-tele, keduanya sudah memegang kunci kamar masing-masing.

“Kamu duluan,” ujar James. “Aku pindahkan mobil dulu ke depan kamar kita. Biar nggak susah-susah angkut koper.”

Minarti mengangguk. Seorang pelayan mengantarnya menuju ke sayap kanan hotel, tempat deretan kamar deluxe berada.

Bangunan kantor hotel dengan sayap deluxe yang terpisah oleh taman dihubungkan dengan sebuah koridor terbuka. Setelah melalui sebuah lorong selebar tiga meter yang memisahkan dua dinding, sampailah keduanya di beranda panjang yang merupakan teras deretan kamar. Mobil James sudah terparkir di depan bagian tengah deretan ketika Minarti sampai, dan laki-laki itu tengah menurunkan koper.

“Mau ke mana kita setelah ini?” tanya James begitu Minarti ada di dekatnya.

“Istirahat saja dululah, James,” Minarti menanggapi. “Sopir bus AKAP saja ada waktu istirahatnya.”

James tergelak mendengar ucapan Minarti. Tapi sungguh, mengendarai mobil sedemikian jauh jaraknya dari Jakarta kali ini sama sekali tak membuatnya merasa letih sedikit pun.

Chinese food yang enak di mana di sini?” tanya James sebelum ia dan Minarti masuk ke kamar masing-masing.

“Ah! Aku tahu tempatnya!” seru Minarti dengan mata berbinar. “Tapi aku nggak tahu apakah masih buka ataukah tidak. Coba nanti aku cari info dulu sembari istirahat.”

James mengangguk dengan wajah antusias.

“Tapi jangan menolak kalau aku mentraktirmu kali ini.” Minarti meringis dengan wajah jenaka. “Aku bukan lagi Minarti yang keuangannya mepet. Jadi...,” Minarti menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya di depan wajah, “... kamu harus mau menerima traktiranku. Sama sekali nggak boleh menolak!”

Seketika James tergelak.

* * *

Rentang waktu hampir tiga puluh tahun benar-benar sudah mengubah wajah Malang yang pernah diakrabi Minarti. Ia sudah melupakan banyak hal. Jadi, dibawanya James menyusuri jalanan kota Malang yang kini dihiasi banyak kemacetan berbekal aplikasi peta di ponselnya.

“Nah, ini dulu kampusku,” ujar Minarti ketika mereka melewati kawasan Universitas Negeri Malang. “Dulu namanya masih IKIP. Kira-kira empat tahun aku kuliah di sini. Tempat indekosku ada di belakang sana.”

“Mau melihatnya?”

“Buat apa?” Minarti menggeleng. “Aku malah takut kita bisa masuk tapi nggak bisa keluar dari kawasan itu,” ia tertawa sedikit. “Dulu masih daerah dengan banyak tanah kosong, James. Sekarang sudah rapat begini.”

James manggut-manggut.

“Dulu di dekat Brawijaya juga masih tanah kosong,” lanjut Minarti, merujuk pada Universitas Brawijaya yang tadi mereka lewati. “Sekarang jadi pusat perbelanjaan ramai begitu.”

“Waktu masih di Dampit, aku jarang ke sini,” ujar James. “Aku lebih senang berada di tengah kebun daripada di tengah keramaian seperti ini.”

“Tapi akhirnya kamu kembali juga ke Jakarta,” gumam Minarti, menoleh sekilas.

“Karena pekerjaanku di sini sudah selesai,” senyum James. “Dan, aku gatal untuk cari masalah yang bisa menyibukkanku.”

Minarti tertawa.

“Kita ada kesamaan dalam hal ini,” ucap Minarti di sela tawanya. “Nggak betah diam.”

“Yup!” James mengangguk. “Badan jadi sakit semua kalau cuma nganggur di rumah.”

Minarti mengalihkan tatapannya ke luar jendela mobil. Mengerjapkan mata.

Hidup sendiri, tanpa keluarga yang harus diurusi.... Walaupun tidak persis sama seperti itu, tapi aku paham betul rasanya.

“Terus, kita ke mana, nih?”

Suara berat James menyentakkan kesadaran Minarti. Ia buru-buru menunduk, mengamati layar ponselnya. Mereka sedang mendekati sebuah persimpangan jalan. Ia lalu mengarahkan James untuk mengambil jalur yang harus mereka lewati.

Jam digital di dashboard SUV James sudah menunjukkan angka kurang sekian menit dari pukul tujuh sore.

“Langsung ke depot Chinese food saja, ya?” Minarti menoleh, menatap James. “Aku sudah lapar.”

Laki-laki itu pun mengangguk dengan bibir mengulum senyum.

* * *

“Jadi, kamu dan Bu Sandra itu sebetulnya bagaimana?”

James menggeleng. Resah.

Tadi, di tengah keasyikan mereka menikmati makan malam di sebuah depot Chinese food legendaris, Minarti melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang masih juga berputar di dalam kepala hingga malam menghening di sekitarnya.

Ia belum mampu menjawab. Apalagi pertanyaan itu seolah terdengar bernada todongan di telinganya. Tapi sungguh, ia tahu maksud baik Minarti. Ia bisa menangkap nada tulus yang mengalun dalam suara Minarti.

Dihelanya napas panjang. Masalahnya...

Ia sudah telanjur begitu jauh dari Sandra. Setidaknya, perasaannya mengisyaratkan hal itu. Entah apakah rasa cinta itu masih tersisa dalam hatinya, ia tidak tahu. Yang ia tahu, ketika Riza berpulang dan meninggalkan Sandra tenggelam dalam duka, ia pun turut merasakan kesedihan yang cukup berarti. Itu karena sisa cinta ataukah sekadar empati, ia benar-benar tidak tahu. Jadi, jawaban itu juga yang diberikannya atas pertanyaan Minarti.



“Aku nggak tahu, Min.”

Minarti menghenyakkan punggung ke sandaran kursi. Ada sinar ketidakpuasan memancar dari matanya.

“Kamu ini gimana, sih, James?” gerutu perempuan itu. “Kalau ragu-ragu terus seperti ini, kapan ketemunya?”

James menggeleng samar. Ditatapnya Minarti. Ditemukan kepolosan murni dalam tatapan perempuan itu. Kepolosan yang membuatnya sama sekali tak mampu merasa jengkel atas sikap terlalu ikut campurnya Minarti dalam urusan perasaannya terhadap Sandra.

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Berkencanlah dengannya!” sahut Minarti. Tandas. “Seharusnya, dia yang kamu ajak berlibur begini. Bukan aku. Tapi, yaaa... aku paham. Dia belum lama menjanda. Jadi, yaaa...,” Minarti mengangkat bahu, “... berkencan tanpa pergi berlibur, kan, bisa.”

James masih terdiam.

“Oh, ya, kenapa bukan dia saja yang kamu ajak untuk menghadiri pernikahan Pak Sagan?” Minarti menegakkan punggungnya. Menatap James dengan mata berbinar, seolah baru saja menemukan ide cemerlang.

“Lantas, baju kita?” James mengerutkan kening.

“Nanti aku alihkan ke dia,” senyum Minarti melebar. “Ukuran tubuh kami nggak banyak berbeda. Aku cuma sedikit lebih tinggi daripada dia. Bukan masalah besar.”

“Ya... Okelah... Kamu atur sajalah, Min.” James akhirnya menyerah.

Minarti lebih melebarkan lagi senyumnya.



Dan, dalam keheningan malam di kamar hotel, diam-diam James menyesali keputusannya untuk menyerah atas keinginan Minarti.

Mau berjalan seperti apa lagi hidupku di depan sana?

Dihelanya napas panjang.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Catatan :
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan penerbitan episode ini. Dari hari Kamis kemarin sambungan internet di tempat saya down. Mau login google account nggak nyambung-nyambung.
Saat ini, mumpung internet lagi lancar, episode yang harusnya terbit besok sudah sekalian saya draft-kan di blog. Besok tinggal muncul saja. Sudah saya jadwalkan akan mengudara pukul tujuh pagi.
Terima kasih.