Jumat, 10 Mei 2019

[Cerbung] Bias Renjana #24









Sebelumnya



* * *



Hari Minggu cerah yang mereka mulai pada pukul sembilan pagi habis di Pasar Beringharjo untuk menikmati sarapan dan memborong oleh-oleh. Sengaja melewatkan sarapan yang disediakan pihak hotel karena ingin menikmati street food yang ada di Pasar Beringharjo.

Minarti sempat terbengong sejenak ketika melihat James makan dengan lahapnya sepincuk nasi pecel yang dijual mbok-mbok yang lesehan di tepi jalan. Lengkap dengan kerubungan beberepa ekor lalat, yang segera diusir mbok-mbok tadi dengan sangat cekatan. Ia sendiri sudah puluhan tahun terbiasa dengan segala macam kesederhanaan dan ketidakhigienisan. Tapi James? Minarti menggeleng samar.

Kelihatannya dia juga nggak terlalu peduli!

Dikulumnya seulas senyum. Lalu, ia sedikit tergeragap ketika James menatapnya.

“Ini kayaknya bagus kalau dijual di kedai kita,” celetuknya. “Nasi pecel model begini, asli pakai pincuk daun pisang. Gimana? Bisa?”

“Bisa,” Minarti mengangguk pasti. “Tapi nanti aku trial dulu bikin sambel pecel yang jos.”

James manggut-manggut. Terlihat senang.

“Haruskah lengkap dengan kerubungan lalatnya?” bisik Minarti.

Seketika James tergelak. Minarti pun ikut tertawa.

Setelah puas menikmati aneka jajanan dan memborong berlembar-lembar kain batik, James membawa Minarti putar-putar Jogja. City tour itu diakhiri dengan makan siang yang cukup terlambat di sebuah resto ayam goreng tradisional yang namanya sudah kondang. Seusai itu, James mengarahkan mobilnya ke jalan lingkar luar selatan Jogja.

“Wah, kita mau ke mana lagi ini, James?” Minarti menoleh sekilas. Kegembiraan tergambar jelas di wajahnya.

“Ke mana, hayooo?” James menyahutinya dengan canda, diakhiri dengan gelak tawanya yang selalu menghangatkan suasana.

“Ah, aku ini kurang update,” Minarti meringis sekilas. “Nggak tahu mana-mana.”

“Ke Candi Ratu Boko, Min,” jawab James, akhirnya. “Kita nikmati sunset di sana.”

Ooo... Minarti membundarkan bibirnya tanpa suara.

* * *

Tanpa banyak kata, kedua orang itu menikmati pemandangan indah yang terhampar di situs bekas kerajaan kuno itu. Sebuah keheningan yang indah, agung, dan cukup mendirikan bulu roma karena kental sekali suasana magisnya. Ketika menikmati satu demi satu situs yang ada di kompleks candi itu, sekilas-sekilas Minarti seolah terseret masuk pada sebuah kejayaan masa silam.

“Indah sekali, James,” bisiknya.

James mengangguk tanpa suara.

Lalu, ketika tahta siang hari mulai mendekati akhir, James mengajaknya duduk berdampingan. Mengarahkan mata pada matahari merah yang mulai redup, makin tergelincir ke cakrawala barat. Menikmati detik demi detik ketika pusat dunia itu mengakhiri kekuasaannya. Membiarkan kamera James yang disangga oleh tripod melakukan tugasnya merekam keindahan sunset.

Ketika matahari sudah sepenuhnya terbenam di balik cakrawala, keduanya masih duduk berdiam diri. Hingga akhirnya James berdiri dan meringkas kameranya, kemudian mengulurkan tangannya kepada Minarti.

“Ayo, Min, kita kembali ke hotel.”

Minarti mengangguk dan menyambut uluran tangan James. Dengan bergandengan tangan keduanya kembali ke mobil. Minarti masih juga berdiam diri ketika SUV James sudah meluncur beberapa menit lamanya.

“Min, kamu baik-baik saja?” celetuk James tiba-tiba.

“Hah?” menoleh sekilas.

“Kok, diam saja?”

“Entahlah, James.” Minarti menghela napas panjang. “Itu tadi...,” Minarti benar-benar kesulitan menemukan ungkapan yang tepat, “... indah sekali. Sangat indah! Terlalu indah! Menakjubkan!”

“Aku juga baru sekali ini ke sini, kok,” senyum James. “Dan, begitu sana langsung terpesona.”

“Terima kasih sudah mengajakku, James,” gumam Minarti. “Aku benar-benar tak pernah bermimpi bisa menikmati pemandangan seperti tadi. Ah... Luar biasa!”

Senyum James melebar mendapati suasana dalam kabin mobil seolah bersemburat keceriaan murni seorang anak-anak. Mungkin terlihat norak atau kampungan bagi orang lain. Tapi sungguh, James seutuhnya menangkap kegembiraan murni yang terasa begitu menyentuh.

* * *

Seusai mandi, James mengajak Minarti nongkrong di lobi hotel. Menunggu datangnya pesanan bakmi Jawa yang dipesan James melalui Great-food.

“Wah, cemilan kita masih di mobil, James,” celetuk Minarti. “Lumayan buat ganjal gigi sambil menunggu.”

James tertawa sambil berdiri. Merogoh saku celana dan menemukan kunci mobilnya ada di sana.

“Kamu tunggu di sini, aku ambil dulu.”

Minarti mengangguk.

“Eh, sekalian minumnya, ya!” pesan Minarti sebelum James melangkah pergi.

James memarkir mobilnya di basement hotel. Perlu waktu beberapa menit sebelum muncul lagi di lobi. Kesempatan itu dipakai Minarti untuk menghubungi Navita melalui ponselnya. Setelah saling bertukar kabar baik, Minarti pun mengakhiri pembicaraan itu dan menghubungi seseorang lainnya.

“Halo. Ya, Mbak Min? Sudah sampai di Malang?”

Terdengar suara hangat Prima dari seberang sana.

“Wah, aku ini masih nyangkut di Jogja, Dik,” jawabnya, mengulum senyum.

“Lho?”

“Hehehe... Rupanya Pak James maunya mampir-mampir. Tapi besok kami sudah mau check out, kok. Tapi entahlah, mau nyangkut ke mana lagi, aku nggak tahu.”

Terdengar tawa ringan Prima dari seberang sana.

“Mm... Dia menawariku mampir ke Madiun,” sambung Minarti. “Aku pikir, ya, sudahlah. Mungkin memang ini sudah jalanku kembali ke sana.”

“Mbak mau sekalian menengok makam Mas Drastya?”

“Pastinya begitu.”

“Masih ingat letaknya? Soalnya kompleks makamnya sudah banyak berubah, Mbak.”

“Nah, itulah makanya aku meneleponmu, Dik. Mau minta denah lokasi makam Mas Drastya.”

“Oh, kalau begitu aku gambar dulu, Mbak. Nanti aku kirim via WA, ya?”

“Baik, Dik Prim. Terima kasih banyak.”

Pembicaraan itu berakhir tepat ketika James melintasi pintu lobi dari luar. Di tangannya ada kantung plastik putih yang terlihat cukup berisi. Ia segera menghampiri Minarti. Keduanya kemudian menikmati sekaleng keripik kentang dan masing-masing sebotol teh rasa markisa, sambil mengobrol.

“Besok setelah sarapan kita check out, ya, Min,” ujar James. “Kita beli kain lurik dulu di Klaten buat oleh-oleh, setelah itu kita ke Tawangmangu, baru ke Madiun.”

Minarti terdiam. Tertunduk. James menatapnya.

“Kita jadi mampir ke Madiun, kan?” tanyanya halus. Berusaha menegaskan keputusan Minarti kemarin.

Minarti menghela napas panjang sebelum mengangkat kembali wajahnya. Balik ditatapnya James.

“Rasa-rasanya memang perlu,” angguknya kemudian. “Sudah sedemikian dekat. Lagipula... aku tahu aku baik-baik saja sekarang, setelah semua yang pernah kualami.”

James mengangguk. “Jadi, Navita tak akan sama sekali tercabut dari akarnya. Suatu saat kalau ia ingin mengunjungi makam ayahnya, sudah tak ada lagi beban masa lalu. Mm... Memangnya dia nggak pernah punya keinginan untuk mengunjungi makan ayahnya?”

Minarti tertunduk lagi.

“Aku tahu keinginannya besar sekali,” gumam Minarti. “Tapi dia paham bahwa aku tak punya uang untuk sekadar membawanya menengok makam ayahnya. Setelah dia cukup dewasa, dia tahu ada sesuatu yang membuatku terluka kalau bicara tentang masa lalu yang menyangkut ayahnya. Dia sama sekali tidak paham apa masalahnya, tapi dia tahu. Makanya dia tak pernah mengungkapkan keinginan itu. Navita anaknya sangat pengertian, James. Aku saja yang egois.”

“Enggaklah,” hibur James. Menepuk lembut punggung tangan Minarti. “Kupikir wajar kamu bersikap seperti itu. Apalagi sekarang kamu sudah berpikir untuk mengakhiri semuanya. Baiklah, kita besok mampir ke Madiun. Mungkin kita sampainya sudah malam. Aku booking kamar hotel saja sekarang. Jadi, nanti Selasa baru kuantar kamu ke mana pun kamu ingin di Madiun.”

Minarti mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Beberapa belas menit kemudian, seorang pengemudi Great-jek mengantarkan pesanan mereka. Empat kotak bakmi goreng Jawa. James yang sudah membayar pesanan itu melalui Great-dompet masih memberikan tips yang besarnya lumayan untuk pengemudi Great-jek itu. Plus, dua kotak bakmi goreng.

Minarti lagi-lagi merasa tersentuh melihat kebaikan hati James. Memang seperti itulah James yang dikenalnya. Tak jarang, saat kedai lebih sepi dari biasanya, James akan memintanya membungkus sekian belas atau puluh nasi beserta lauknya. James akan berkeliling sejenak di lingkungan sekitar kedai untuk membagikan nasi bungkus itu kepada tukang parkir, anak jalanan, ataupun gelandangan yang ditemuinya.

Duh, orang sebaik ini, kok, kehidupan cintanya ngenes betul? Minarti membatin sambil menatap James.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.