Satu
Akhirnya....
Adita menatap berkeliling. Kafe kecil itu sudah siap untuk menerima tamu. Akan resmi dibuka besok menjelang siang. Kafe kesebelas yang ia miliki. Kali ini berada di Jakarta Selatan.
Sebenarnya, ia lebih suka menyebutnya sebagai kedai, seperti cabang-cabang kedai miliknya yang sudah ia buka sebelum ini. Kedai sederhana yang menyediakan cemilan sederhana pula, berupa ketan kukus dengan aneka topping, makaroni dan pastel panggang, puding aneka bentuk dan rasa, dan aneka minuman. Tapi kedainya yang satu ini sekarang sudah mengalami perkembangan konsep. Menyediakan juga makanan berat berbahan pokok nasi dan segala macam pendampingnya dengan dasar bahan pangan organik. Bahkan kedai ini bersambung jadi satu dengan toko bahan pangan organik milik suaminya di sebelah kanan. Laki-laki itu pula yang mendorongnya untuk mengembangkan konsep kedai yang sudah ia miliki sejak masih gadis.
Kedai yang....
Sekali lagi, Adita menatap berkeliling di tengah-tengah kesibukan para karyawan dan karyawatinya yang masih membersihkan tempat itu agar terlihat lebih kinclong. Sejenak ia seperti terjebak dalam deja vu. Lebih tepatnya, terseret kembali pada selembar masa lalunya, pada kesibukan menjelang pembukaan kedainya yang pertama. Kedai pertama itu, bersama empat dari sepuluh kedai miliknya yang sudah ada dan tersebar di Jabodetabek, bahkan hingga ke Karawang, kini dijalankan oleh adiknya. Dan, ia sama sekali tak pernah lagi menginjak kedai yang satu itu. Sejak....
Adita menggeleng samar.
Semua yang pernah tertoreh pada selembar kenangan dari buku kehidupan yang ia miliki, tepat pada halaman yang itu, sedikit banyak menorehkan luka yang hingga detik ini masih terasa perih. Sekuat apa pun ia berusaha untuk menyembuhkannya.
Pelan, dihelanya napas panjang. Tepat saat itu, terdengar derum motor besar di depan kedai, disertai sorot lampu yang terbias oleh kaca buram pintu depan. Beberapa saat kemudian, derum itu tak terdengar lagi, lampu padam, dan Nugra pun muncul dengan wajah cerahnya. Dengan langkah bergegas dihampirinya Adita. Sebuah kecupan ringan dan hangat pun menyapu pipi kanan Adita. Membuat perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu sedikit tersipu.
Ia sudah enam tahun lamanya menikah dengan Nugra, dan sudah punya ’Adita junior’. Tapi kehangatan sikap Nugra masih juga bisa membuatnya tersipu-sipu. Tak pernah berubah sejak detik pertama mereka resmi menjadi sepasang suami-istri.
“Tadi Gwen sebetulnya mau ikut,” ucap Nugra dengan suara rendah. “Tapi aku lagi ingin berdua saja denganmu. Jadi...,” Nugra melebarkan senyumnya, “..., kali ini dia harus mengalah.”
“Dengan catatan?” Adita mengerling, sudah paham syarat dari putri tunggal mereka.
“Biasa...,” Nugra menyambungnya dengan gelak ringan. “Pop corn karamel dan es krim stroberi yang cone.”
Adita ikut tergelak. Syarat yang terlalu mudah, karena keduanya selalu tersedia di pasar swalayan dekat rumah mereka.
Seluruh persiapan sudah selesai. Adita memberikan pengarahan terakhir sebelum melepas semua pegawainya pulang. Terakhir, Nugra memeriksa gembok pintu belakang dan membantunya mengunci pintu depan. Deja vu itu kembali menghantam Adita tanpa ampun. Menyeret pula dua deret nama.
Rafael Adibarata, dan Anna Tejabarata.
* * *
Di sisi lain Jakarta, di dalam sebuah rumah yang selalu terasa hangat, Renata duduk dengan tekun menghadap ke layar laptop. Anak-anak sudah tidur nyenyak di kamar masing-masing. Memberinya kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan tambahannya.
Sejenak, ia tercenung menatap rancangan interior setengah jadi yang terpampang di layar laptop. Pekerjaan Lily, yang terpaksa dilimpahkan padanya karena Lily berpulang sepuluh hari yang lalu. Mengingat Lily, mau tak mau kejadian sekitar tiga tahun yang lalu itu berputar kembali di benaknya seperti film.
Saat itu ia harus menggantikan Lily – yang beberapa hari sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas – untuk menemui klien kantor desain interior tempat keduanya bekerja. Klien itu seorang laki-laki yang berkantor di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Sorang laki-laki tampan dan pendiam yang sudah beberapa waktu lamanya mulai terasa mencubit-cubit hatinya. Kini, laki-laki tampan itu sudah menjadi pendamping hidupnya. Mungkin memang mereka sudah ditakdirkan untuk bertemu dengan cara seperti itu.
Tapi Lily....
Renata mengerjapkan matanya yang diam-diam membasah. Ia cukup dekat dengan Lily. Mereka sering sekali berdiskusi tentang proyek mereka masing-masing. Ia cukup paham selera Lily, sama baiknya dengan Lily memahami seleranya. Sayangnya, efek kecelakaan itu harus ditanggung Lily. Luka dalam di kaki Lily pada akhirnya berkembang jadi kanker. Cukup ganas, membuat Lily hanya bisa bertahan tak sampai dua tahun sejak vonis itu jatuh. Tapi perempuan manis yang sangat tangguh tak pernah menyerah hingga detik-detik terakhir ia boleh menarik dan mengembuskan napas.
Donny, sang boss, yang tahu bahwa Lily sangat mencintai pekerjaannya terpaksa membiarkan Lily tetap mendapatkan semangat hidup dari pekerjaan itu. Hingga saat terakhirnya. Menyisakan rancangan setengah jadi yang membuat seisi kantor tertunduk haru karena tahu bahwa rancangan itu adalah masterpiece Lily. Dan, Renata-lah yang ketiban sampur menyelesaikan pekerjaan itu.
“Ren....”
Suara lembut itu membuatnya tersentak kaget. Ia menoleh dan mendapati Lea sudah melangkah menghampirinya dengan secangkir minuman berada di tangan. Sudah terlalu lambat untuk menyeka genangan bening di matanya. Perempuan berusia menjelang enam puluh tahun berwajah cantik dan teduh itu dengan halus menyodorkan cangkir itu pada Renata. Teh beraroma blackcurrant yang masih mengepulkan asap tipis, kesukaan Renata. Digumamkannya ucapan terima kasih.
“Kamu nangis?” Lea duduk di seberang meja, menatap menantunya dengan kening berkerut. “Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Ma,” Renata menggeleng sembari menyusut air matanya. “Cuma ingat Lily. Kerjaannya dilimpahkan padaku. Aku takut mengecewakannya.”
“Oh...,” Lea mengulurkan tangan, menepuk lembut punggung tangan Renata. “Coba lihat sekeliling rumah ini, Ren. Rasakan betapa hangatnya suasana di sini. Semua ini hasil rancanganmu, kan? Biarkan hatimu membimbing. Mama yakin, Lily tak akan pernah kecewa terhadap hasil dari sebagian sentuhanmu dalam rancangan terakhirnya.”
Renata mengangkat wajahnya. Menemukan keteduhan luar biasa dalam telaga bening mata ibu mertuanya itu. Seberkas sorot terima kasih melompat keluar dari matanya. Membuat Lea mengangguk sambil tersenyum.
“Percayalah pada kemampuanmu,” bisik Lea sebelum beranjak. “Mama tidur dulu, ya?”
Renata mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Setelah Lea menghilang di balik pintu, Renata kembali memusatkan perhatiannya pada layar laptop. Sesekali diliriknya angka yang tertera di pojok kanan bawah layar laptopnya. Terakhir, sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Rafael belum pulang juga.
Sudah hampir dua minggu ini laki-laki itu didera kesibukan yang menggunung. Sepuluh hari lagi ada ekspor perdana berbagai alat kesehatan yang diproduksi perusahaannya ke Polandia. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Selain itu, sedang ada perluasan pabrik di Karawang. Dan, pada akhir pekan begini, adalah jadwal Rafael untuk memeriksa kantor pusat produksi di Bogor. Kantor yang dulu berada di bawah kendalinya sebelum harus kembali ke Jakarta. Siang tadi Rafael memang sempat meneleponnya. Memberitahu bahwa ia akan pulang terlambat karena ada pertemuan dengan jajaran manajemen kantor Bogor.
Tapi...
Renata menghela napas panjang.
... ini sudah terlalu malam.
Belum lagi napas itu terembus sepenuhnya, sudah terdengar derum mobil berhenti di depan rumah. Renata cepat-cepat menyimpan pekerjaannya dalam file laptop, dan buru-buru keluar. Ketika ia membuka pintu garasi, mobil Rafael sudah berada di carport dalam kondisi mesin masih menyala, dan laki-laki itu tengah menggembok pagar.
“Lho, belum tidur?”
Dalam remang cahaya lampu teras dan lampu taman, Renata dapat melihat bahwa Rafael mengangkat tinggi-tinggi kedua alisnya. Ia kemudian menggeleng.
“Mana aku bisa tidur kalau Papa belum pulang?” Renata menyahut dengan nada menggerutu, membuat Rafael terkekeh sebelum masuk kembali ke mobil, dan melajukannya masuk ke garasi.
Sejenak kemudian, Rafael sudah merengkuh bahu Renata dan masuk ke ruang dalam rumah. Sebelum masuk ke kamar mereka, disempatkannya untuk menengok sebentar ke kamar anak-anak. Hanya menengok. Memastikan bahwa anak-anak sudah terlelap. Renata selalu melarangnya mencium anak-anak sebelum mandi kalau ia pulang malam. Demi kebaikan anak-anak sendiri.
Seusai mandi, barulah Rafael kembali ke kamar anak-anak. Mencium pipi dan membelai kepala mereka dengan segenap rasa sayang. Berusaha mengukur seberapa banyak pertumbuhan Sarah dan Steve selama sepanjang hari ia tinggalkan. Setelah itu, barulah waktunya untuk Renata, sepanjang sisa malam.
Sekeluarnya dari kamar anak-anak, Renata sudah menunggunya di dalam kamar dengan segelas susu hangat. Keletihan Rafael yang sudah sedikit luruh saat melihat wajah malaikat-malaikat kecilnya, kini meluruh sempurna setelah menemukan senyum manis Renata. Diteguknya susu hangat itu sambil mengucapkan terima kasih.
Lalu, keduanya berbaring bersisian di ranjang. Benar-benar melepaskan penat setelah beraktivitas seharian. Sesekali saling memeluk sambil terus bertukar cerita. Tentang pekerjaan, tentang anak-anak, tentang makan siang, tentang makan malam, tentang orang-orang yang mereka temui, dan masih banyak lagi.
Suara Rafael yang tengah menceritakan persiapan ekspor melirih ketika mendapati Renata sudah lebih dulu terlelap. Ada gurat kelelahan yang samar dalam wajah Renata. Dengan lembut, diciumnya kening sang istri tercinta, kemudian direngkuhnya hangat. Ia pun turut memejamkan mata. Membiarkan malam mengambil alih kendali mimpi mereka.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Kisah sebelumnya :
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.