Sebelumnya
* * *
Sekeluarnya dari Menara Daha menjelang pukul setengah sebelas, Rafael mengembuskan napas lega. Akhirnya pekerjaannya longgar juga. Shipping produk ke Polandia berjalan lancar. Demikian pula dengan perluasan pabrik di Karawang. Sudah mencapai tahap akhir. Grafik kesibukannya saat ini sedang menurun, sebelum tergenjot lagi nanti menjelang pembukaan pabrik itu.
Sudah hampir tiga minggu lamanya ia sama sekali tidak punya kesempatan untuk makan siang bersama Renata. Padahal mereka bekerja di bawah satu atap gedung perkantoran yang sama. Jadwal mereka belakangan ini selalu berselisih. Bila ia memiliki waktu longgar, Renata yang sibuk. Begitu pula sebaliknya. Maka, ketika pagi tadi mereka bisa saling meneliti jadwal dan menemukan waktu longgar yang sama saat jam makan siang, semangatnya langsung terpompa dan menggelembung besar.
Renata sedang keluar saat ini. Bertemu klien di daerah Jagakarsa. Cukup jauh dari Menara Daha di Cempaka Putih. Pertemuan itu dijadwalkan selesai pukul dua belas, tepat saat jam makan siang. Karena tadi pagi mereka berangkat bersama, dan Renata berangkat ke Jagakarsa dari kantor menggunakan jasa taksi daring, maka siang ini ia menjemput Renata untuk kemudian menikmati makan siang bersama. Sebagai pemilik perusahaan pribadi, ia memiliki waktu yang lebih longgar daripada Renata yang masih bekerja ‘ikut orang lain’.
Klien Renata kali ini adalah pemilik sebuah toko bahan pangan organik yang hendak membuka toko baru. Rafael tahu betul lokasi tepatnya Renata mengadakan pertemuan kali ini. Dulu, sebelum mereka pindah rumah dari daerah Pasar Minggu ke Kebon Jeruk, ia pernah mengantar ibunya berbelanja ke toko itu.
Kurang dari dua puluh menit menjelang pukul dua belas, Rafael sudah berada dekat di lokasi penjemputan. Supaya tidak menunggu terlalu lama, maka ia memutuskan untuk sekalian saja isi bensin di pom terdekat. Sepuluh menit kemudian, ia pun masuk ke area parkir komplek ruko tempat toko bahan pangan organik itu berada. Setelah mengunci baik-baik mobilnya, Rafael pun melangkah ke tujuannya, yang tak jauh dari tempatnya parkir.
Seorang gadis kecil dengan rambut diikat model ekor kuda menyambutnya dengan ramah ketika ia membuka pintu kaca. Ia pun tersenyum karena sapaan manis itu.
“Selamat siang, Om. Selamat datang di Organikita. Ada yang bisa dibantu?”
Gadis kecil itu mengingatkannya pada Sarah saat seumuran. Ia pun membungkuk sedikit.
“Selamat siang, Cantik. Siapa namamu?”
“Aku Gwen, Om. Anak Pak Nugra, yang punya toko ini.”
“Oh...,” senyum Rafael melebar. “Kebetulan, nih! Om, kan, harus jemput istri Om. Tadi ada urusan kerjaan dengan papa kamu. Kira-kira sudah selesai belum, ya?”
“Oh...,” mata Gwen terlihat berbinar-binar. “Pasti Tante Renata, ya?”
“Iya, betul!”
“Kayaknya sudah selesai. Tante Renata ada di sebelah. Sama Papa, sama Mama. Mau makan siang bareng. Di sebelah itu kafe mamaku, Om. Ayo, aku antar!”
Tanpa menunggu jawaban Rafael, Gwen segera menggandeng tangan laki-laki itu keluar dari toko, dan menuju ke ruko di sebelah kiri Organikita. Sekilas Rafael menatap neon box yang tergantung di bagian depan kafe itu.
Warung Ketan AV.
Seketika, jantungnya serasa berhenti berdetak. Dan, sebelum bisa mengelak, pintu kaca kafe itu sudah dibuka olah tangan mungil Gwen. Ketika menemukan orang-orang yang dicari di sebuah sudut, Gwen pun kembali menyeret Rafael.
“Tante Renata!” serunya. “Ini omnya sudah datang.”
Tatapan Rafael seolah berkabut ketika mendapati senyum cerah Renata yang segera datang menghampirinya.
“Makasih, Gwen,” ucap Renata, mengelus kepala Gwen. Ia kemudian ganti menatap Rafael. “Ini, tadi diundang makan di sini sama Pak Nugra dan Mbak Adita, istrinya. Beberapa waktu lalu aku garap interior kafe ini. Punya Mbak Adita. Sekarang aku dapat proyek ngerjain toko barunya Pak Nugra. Nggak enak tadi mau nolak,” Renata meringis sekilas.
“Oh...,” bibir Rafael membundar tanpa suara.
Sejujurnya, ia tak tahu harus mengatakan apa. Sebelum ia bisa buka suara lebih lanjut, laki-laki bertubuh tinggi besar yang tadi ada di meja yang sama dengan Renata sudah menghampiri mereka.
“Mari, Pak,” ucap laki-laki itu. Sangat ramah. “Maaf, kami culik Mbak Renata untuk makan siang di sini. Sekalian dengan Bapak.”
“Wah, kami merepotkan saja,” gumam Rafael.
“Enggaaak.... Ayo, Pak, mari. Oh, ya, saya Nugra.”
“Rafael,” Rafael menjabat tangan Nugra.
Laki-laki tinggi besar itu segera mengajak Rafael dan Renata kembali duduk. Lalu, tatapan mereka bertemu. Rafael dan Adita. Adita-lah yang lebih dulu mengulurkan tangan sembari tersenyum.
“Mas Rafael, apa kabar?”
“Baik,” Rafael mengangguk sedikit, menyambut uluran tangan Adita. “Kamu apa kabar juga?”
“Seperti yang Mas lihat,” Adita sekilas melihat berkeliling. “Kabarku baik sekali.”
Sementara itu Nugra dan Renata menatap kejadian itu dengan sorot mata bertanya. Adita lagi yang lebih dulu menjelaskan sambil menatap Nugra.
“Aku pernah cerita, kan, bahwa ada yang memberiku modal untuk membuka kedai,” senyumnya, terlihat biasa. “Mas Rafael inilah orangnya.”
“Oh...,” senyum Nugra melebar. “Wah, ternyata bisa reuni dadakan ini.”
Rafael terpaksa membalas senyum itu dengan senyum pula. Berusaha keras untuk bersikap biasa. Lagipula, ia sama sekali tak tahu apa saja yang sudah diceritakan Adita kepada Nugra. Apakah masa lalu mereka ikut diceritakan juga? Rafael sama sekali tak berani melangkah lebih lanjut membuka percakapan tentang itu.
Karena selama ini, ia tak pernah bercerita apa-apa kepada Renata, tentang lembaran yang pernah ia buka bersama seorang gadis bernama Adita.
* * *
Acara makan siang itu berlangsung hangat dan menyenangkan, seandainya saja naluri Renata tidak sibuk berbisik-bisik tentang Rafael dan Adita. Logikanya, membuka sebuah kedai tentu butuh modal yang tidak sedikit. Dan, ia cukup mengenal Rafael. Seorang laki-laki yang cukup pendiam dan sedikit tertutup. Sedekat apa hubungan antara Rafael dengan Adita sampai Rafael bisa memberi modal untuk membuka sebuah kedai, yang akhirnya punya cabang di mana-mana, ia bisa membayangkan. Tak aneh, sebetulnya, kalau saja Rafael dan Adita tidak bersikap terlalu biasa sebagai dua orang yang sudah kenal sejak lama.
Percayalah, ada sesuatu yang ditutupi..., bisik salah satu sisi nalurinya.
Mungkin tidak penting, tapi kamu tetap perlu tahu, sisi lain nalurinya mendukung.
Renata masih sempat melambaikan tangan pada Nugra, Adita, dan Gwen, dengan wajah diselimuti senyum saat mobil yang dikemudikan Rafael meluncur meninggalkan area parkir. Tapi setelah itu, tanpa disadari ia menebarkan aura dingin ke seluruh penjuru kabin mobil. Tanpa menoleh pun, Rafael sudah bisa merasakan aura itu. Tapi ia hanya bisa menunggu.
“Jadi, Adita itu bekas pacarmu, kan, Pa?” suara dingin Renata tiba-tiba saja menusuk gendang telinga Rafael.
Laki-laki itu menghela napas panjang sebelum menjawab. Tapi suara dingin Renata kembali menyambar sebelum ia sempat membuka mulut.
“Kamu ceritakan tentang Mega, tentang Anna, tentang semua gadis yang pernah dekat denganmu, aku terima. Itu masa lalumu. Ada sebelum aku,” cetus Renata. “Tapi kenapa yang satu ini bisa lolos? Hmm.... Modal untuk buka kedai, ya? Tidak sedikit, kan?”
Seutuhnya, telinga Rafael menangkap nada cemburu yang sangat kental dalam suara Renata. Ia pun tahu, menyembunyikan keberadaan Adita adalah kesalahan yang cukup fatal.
Selama mengenal Renata, ia sudah lebih dari cukup memahami bahwa istrinya itu bukanlah seorang perempuan pencemburu. Renata menerima secara terbuka semua masa lalunya yang pernah ia ceritakan. Sama seperti ia menerima semua masa lalu Renata sebelum mereka saling bertemu. Dalam kedalaman telaga bening mata Renata, ia menemukan kejujuran yang menyatakan bahwa masa lalu itu sudah tuntas. Sayangnya, ia tidak membalasnya dengan kejujuran yang sama.
Ia masih menyembunyikan sosok seorang Adita dalam lipatan hatinya. Tanpa pernah berani mengungkapkan seperti apa sebenarnya hubungannya dengan Adita. Hubungan yang tak pernah selesai. Setidaknya, menurut hatinya seperti itu. Walaupun salah satu ujung perjalanan hidupnya sudah berlabuh pada Renata. Dalam janji saling mencintai dan terus bergandengan tangan sehidup semati.
Dihelanya napas panjang.
“Sulit sekali untuk menjawabnya, ya?” ada nada mengejek sekaligus terluka yang sarat dalam suara Renata. “Baiklah, aku tak akan pernah mengusik lagi soal itu. Semua terserah padamu, Pa.”
Dan, Rafael memilih untuk diam. Menata hatinya sendiri yang cukup terurai jalinannya karena tanpa diduga bertemu kembali dengan Adita. Menata kalimat-kalimat penjelasan yang lebih rapi agar nantinya tidak kembali menyakiti Renata. Memberi ruang bagi Renata untuk menurunkan kembali suhu hati dan benaknya.
* * *
Untunglah, tujuan berikutnya sesuai rencana dari perjalanan itu bukanlah gedung Menara Daha di Cempaka Putih. Melainkan tempat pertemuan dengan klien lain di Lenteng Agung. Tak perlu terlalu lama bersama dalam mobil di tengah atmosfer sedingin es itu. Ketika Rafael menghentikan mobil di tempat tujuan, di depan sebuah kantor megah seorang pengacara terkenal, Renata segera keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dengan langkah lebar Renata menghampiri pos satpam, dan mengungkapkan tujuannya datang ke kantor itu. Sejenak kemudian ia diantarkan ke kantor pengacara yang ingin merombak ruang kerjanya. Ia masih harus menunggu karena pengacara itu sedang ada tamu. Lagipula, ia memang datang nyaris setengah jam lebih cepat daripada jadwal.
Renata duduk diam di salah satu sofa lobi. Sambil mengatur napas dan pikiran, ia membuka tabletnya. Tanpa tujuan pasti. Hanya sekadar menutupi kegiatannya saat ini. Melamun.
Adita....
Perempuan bernama Adita itu sama sekali bukan perempuan yang tidak menarik. Dalam pandangan Renata, Adita adalah perempuan cerdas dengan intuisi bisnis yang sangat baik. Dari kemampuannya membuka kedai kesekian, juga keberaniannya mengubah konsep kedai terbarunya, cukup terlihat bahwa usahanya sangat berkembang.
Sejujurnya, ia menyukai sosok Adita. Ketika mereka bekerja sama, ia tahu keinginan-keinginan Adita untuk konsep kafenya. Tapi Adita juga tak segan mendengarkannya mengungkapkan hal-hal baru yang mungkin bisa dibaurkan dengan ide Adita. Hasilnya memang benar-benar memuaskan. Terbukti, suami Adita kini tertarik pula untuk menjadi kliennya. Suami yang terlihat sangat mencintai sang istri. Seperti juga Rafael mencintainya.
Lalu, apa yang harus kutakutkan?
Renata menghela napas panjang dan menggeleng samar. Ia tak punya jawabannya. Tapi ia percaya terhadap bisikan nalurinya. Bahwa pasti ada sesuatu di balik sikap tertutup Rafael tentang masa lalu suaminya itu bersama Adita.
“Mbak Renata?”
Suara bernada renyah itu menyapa telinga Renata. Membuatnya terlempar kembali ke dunia nyata. Renata mengangkat wajah dan segera berdiri seraya mengulas senyum. Seorang perempuan dengan dandanan apik bertubuh tinggi dan subur sudah berada di dekatnya.
“Selamat siang, Bu Yunike,” Renata mengangguk dan menyambut jabat tangan pengacara kondang itu. "Apa kabar?"
“Baik.... Baik....," senyum cerah Yunike melebar. "Ayo, Mbak Renata, kita ngobrol di dalam.”
Renata pun kembali mengangguk. Dibuangnya jauh-jauh semua rasa tak nyaman yang beberapa saat lalu membelit hatinya. Setelah menghela napas panjang, ia merasa siap untuk kembali menjalankan pekerjaannya secara profeisonal.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)