Sebelumnya
* * *
Enam Belas
Keping-Keping Terangkai
Perubahan dalam diri Kresna, tentu saja tak luput dari ‘radar’ Wilujeng. Anak lelakinya yang satu itu sudah hampir seminggu ini muncul untuk menikmati sarapan bersama dengan diliputi aura yang lain daripada biasanya. Terlihat lebih ceria, bersemangat, tapi jadi sedikit lebih pendiam.
‘Kamu sedang jatuh cinta?’
Dituliskannya pesan itu melalui ponselnya. Jawabannya ia peroleh tak lama kemudian.
‘Aku sudah menemukannya, Bu.’
‘Siapa?’
‘Gadis yang sering muncul dalam mimpiku.’
‘Ah, senangnya... Kapan kamu kenalkan pada Ibu?’
‘Hahaha... Nantilah, Bu. Kami belum ada seminggu ini bertemu. Dan, Ibu harus tahu, kisah kami aneh sekali!’
‘Aneh bagaimana?’
‘Kapan Ibu ada waktu? Aku ingin ngobrol berdua sama Ibu.’
‘Besok bisa, Kres. Kebetulan Pinpin mau diajak mancing ke Telaga Talok sama Ayah.’
‘Oke, besok aku jemput Ibu sekitar jam dua belas, ya? Aku selesai ngajar kelas ekstensi jam sebelas. Kita ngobrol di luar.’
‘Baik. Ibu tunggu.’
Wilujeng menghela napas lega. Beberapa minggu yang lalu, Seta sudah memperkenalkan secara ‘resmi’ kekasihnya pada mereka sekeluarga. Seorang gadis manis yang berprofesi sebagai guru TK. Erika namanya. Sepertinya memang cocok betul dengan Seta yang terkadang masih juga aleman. Pun, Pinasti langsung lengket padanya.
“Ngomong-ngomong, Erika mirip Ibu, ya?”
Begitu ucap Kresna saat itu, begitu Seta pergi untuk mengantar gadisnya pulang. Baik Wilujeng maupun Mahesa ternyata memiliki penilaian yang sama. Sorot mata Erika terlihat sangat teduh dan sikapnya begitu sabar. Keseluruhan sosoknya sangat sederhana.
Mereka sempat kaget ketika Seta muncul lagi seusai mengantar Erika pulang, dan bercerita bahwa Erika adalah putri tunggal Samudro Sancoyo, seorang juragan beras dan palawija terbesar se-Palaguna. Selain tetap menekuni profesinya sebagai seorang guru TK, Erika juga mulai belajar mengendalikan bisnis yang dibangun ayahnya. Sejauh ini, keduanya berjalan dengan cukup baik.
Wilujeng menoleh ketika Mahesa keluar dari kamar mandi. Bibirnya masih mengulas senyum. Laki-laki itu menatapnya sejenak.
“Senyummu selalu mengguncangkan duniaku, Jeng,” gumam Mahesa sambil menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Wilujeng tergelak mendengarnya.
“Ngomong-ngomong, istriku yang cantik ini kenapa bawaannya senyum-senyum melulu dari tadi?”
Wilujeng ikut merebahkan badannya, tepat di samping Mahesa.
“Kresna lagi jatuh cinta,” bisik Wilujeng.
“Oh, ya?” Mahesa menanggapinya dengan antusias. “Bagaimana ceritanya?”
Tapi Wilujeng menggeleng. “Aku belum tahu. Baru besok dia mau cerita banyak. Selesai ngajar pagi, dia mau ajak aku keluar.”
“Hm... Jangan lupa berbagi cerita denganku.”
“Pastilah... Besok jadi pergi mancing dengan Pinpin?”
“Jadi,” angguk Mahesa. “Anakmu itu mudah banget dapat ikan.”
“Dikedipi juga ikannya datang sendiri, nyangkut di kail,” Wilujeng terkikik geli.
Mahesa tertawa lebar karenanya. Si bungsu mereka itu memang unik dan ‘ajaib’. Membuatnya dan Wilujeng nyaris tak pernah berhenti mengucap syukur atas kelahiran Pinasti.
* * *
Untuk sementara, ia dan Alma terpaksa merasa bahwa percakapan dalam hening itu sudah lebih dari cukup untuk mereka. Posisi keduanya belum memungkinkan untuk dekat secara fisik. Meskipun begitu, percakapan mereka berlangsung setiap hari. Saling menyapa, saling membuka diri, dan saling mengenal lebih dekat. Percakapan yang sungguh aneh. Baik ia maupun Alma cukup takjub akan kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara telepati. Walaupun hanya ampuh untuk mereka berdua, tapi hal itu tetaplah mereka pandang sebagai keajaiban.
Kresna sendiri menyadari, ada banyak keajaiban yang singgah dalam hidupnya beberapa tahun belakangan ini, sejak peristiwa di Gunung Nawonggo itu. Dan, ia lebih ternganga lagi ketika tahu bahwa Alma adalah salah satu korban kecerobohan Alex. Betapa benang merah yang menghubungkan mereka sebetulnya sudah tersambung sejak semula!
‘Kami semua kehilangan Kak Alda. Aku juga hampir lewat. Tapi ternyata keajaiban itu masih ada. Juga ketika aku mendapat ganti saudara. Kalau dulu posisiku adik, sekarang posisiku kakak. Nama adikku Alto. Masih TK kecil.’
‘Wah, seusia Pinpin.’
Kresna bisa merasakan bahwa Alma tengah menahan tawa di seberang sana.
‘Kenapa?’ tanyanya kemudian.
‘Tadi itu, kukira Pinpin anak Mas Kresna, hahaha... Atau paling tidak keponakanlah. Ternyata...’
Kresna ikut tertawa. ‘Kalau benar aku sudah punya anak, kenapa memangnya?’
‘Hahaha... Entahlah. Aku lagi males mikir, nih!’
Kresna tersenyum lebar mengingat pembicaraan dalam heningnya dengan Alma Senin malam yang lalu. Pembicaraan yang mengerucut pada keakraban dan perasaan begitu dekat. Seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Ya, barangkali memang benar mereka sudah saling mengenal cukup lama. Dalam mimpi. Dan, bagaimana itu bisa terjadi, ia tak bisa berhenti mempertanyakannya. Begitu juga Alma. Walaupun keduanya juga sama-sama tak punya jawaban yang cukup memuaskan hati.
Dihelanya napas panjang. Rasa-rasanya esok hari adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua itu pada ibunya. Dengan perasaan tenang ia kemudian berbaring di ranjang, dan mulai memejamkan mata.
* * *
Siang itu, setelah mereka duduk dengan nyaman dalam kedai kopi di sebuah pusat perbelanjaan, dan selesai memesan, Wilujeng menatap Kresna baik-baik.
“Nah, Ibu siap mendengarkan semua ceritamu,” ucap Wilujeng dengan seulas senyum teduh tersungging di bibirnya.
Kresna menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. Semua tentang bagaimana mereka bertemu, rangkaian mimpinya, mimpi Alma, siapa Alma, apa hubungan kejadian yang pernah dialami Alma dengan apa yang dialami Alex, dan masih banyak lagi. Sempat terjeda sejenak ketika pramusaji menghidangkan makanan dan minuman pesanan mereka. Setelah itu, Wilujeng kembali mendengarkan dengan perhatian penuh.
“... Dan, Ibu percaya tidak? Kami bisa berkomunikasi secara telepati. Bahkan Seta dan aku pun tak pernah bisa melakukannya,” Kresna mengakhiri penuturannya.
Wilujeng mengangguk-angguk.
“Ibu tidak tahu kenapa rasanya banyak sekali keajaiban yang kita alami beberapa tahun belakangan ini, Kres,” gumamnya kemudian. “Menurutmu, berapa kemungkinan Ibu kembali secara utuh, selamat, dan tetap hidup setelah kecelakaan di Pegunungan Pedut?”
Kresna menggeleng. “Menurutku, hampir tak ada.”
“Nah! Tapi kenyataannya Ibu kembali, walaupun sama sekali tak ingat apa yang terjadi selama tiga belas tahun Ibu hilang.”
“Dan, aku mengalami kejadian yang sama,” sambung Kresna. “Walaupun hanya beberapa hari.”
Wilujeng kembali menatap Kresna dalam-dalam.
“Semua lukisanmu tentang padang bunga, padang rumput, matahari tenggelam, dan sebagainya itu...,” bisiknya, “entah kenapa rasanya akrab sekali dengan Ibu. Menatapnya, Ibu merasa seperti pernah berada di dalamnya.”
Kresna manggut-manggut.
“Dan tentang nama Pinasti, kamu tentunya ingat bahwa kita menginginkan nama yang sama?”
Kresna menatap ibunya, tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Sejenak kemudian ia tercenung menatap meja. Seutuhnya, ia memahami semua yang dirasakan Wilujeng, karena ia pun merasakan hal yang sama tentang semua keajaiban itu.
“Lalu, sekarang bagaimana denganmu dan Alma?”
Kresna sedikit tersentak ketika berhadapan dengan pertanyaan itu. Diangkatnya wajah.
“Aku tak bisa mengingkari perasaanku, Bu,” gumamnya kemudian, “bahwa dialah gadis yang sudah menempati sebagian hatiku sejak lama. Kalau ditanyakan ‘kenapa?’, maka aku pun sama sekali tak tahu jawabannya. Aku hanya... tahu. Begitu saja.”
Wilujeng kembali mengangguk-angguk. Seutuhnya ia memahami apa yang dialami anak lelakinya itu.
“Mm... Ibu belum pernah bercerita tentang pengalaman Ibu dan Ayah beberapa tahun lalu, ya? Beberapa minggu setelah Ibu kembali, sebelum berangkat berlibur sama Ayah.”
“Belum,” Kresna menggeleng. “Ada cerita apa?”
“Jadi begini...”
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)