Sebelumnya
* * *
Dua Puluh Satu
Menyusuri
Jalinan Kenangan
Para ajak sudah kembali berkumpul, menyebar di segala penjuru tepi danau, ketika Alma dan Kresna muncul bersama Janggo sekeluarga. Dengan riang mereka berfoto bersama dalam berbagai angle. Bersama Alma dan Kresna dalam satu kesatuan besar, bersama kelompok masing-masing, bersama kesatuan keluarga, dan berbagai gaya lainnya. Mereka bercakap dalam hening sejenak sebelum Alma dan Kresna meneruskan perjalanan ke padang bunga, dan para ajak beristirahat setelah bertugas di daerah masing-masing. Lolongan para ajak itu terdengar bersahutan saat mereka saling mengucapkan selamat tinggal.
Kresna menyandang ransel dan meraih keranjang rotan yang dibawa Alma ketika keduanya berjalan meninggalkan danau. Alma sempat menahan keranjang itu, tapi Kresna berhasil merebutnya.
“Bawaanmu sudah banyak begitu, Mas,” Alma memprotes dengan halus.
“Ah, cuma ransel ini saja, Yang,” senyum Kresna. “Malah keranjang rotan ini lebih berat karena isinya bekal kita.”
Alma hanya bisa menggeleng samar dan mengedikkan bahu.
‘Bu, boleh aku ikut Bibi dan Paman?’
Tiba-tiba suara kecil Cenil menyeruak ke dalam benak mereka. Seketika Alma dan Kresna menoleh ke belakang, ke arah keluarga Janggo yang mengiringi mereka.
’Kamu harus tidur, Cenil,’ jawab Pinasti sabar.
‘Aku juga ingin ikut, Bu,’ sahut Lopis.
Begitu pula Klepon, ikut merengek. Janggo dan Pinasti bertatapan sejenak.
‘Tak apa-apa,’ ujar Alma, menengahi. ‘Tapi nanti kalian bobok di padang bunga, ya? Janji?’
‘Iya, Bibi, iya!’
Jawaban serempak dalam nada riang itu membuat Alma dan Kresna tersenyum lebar.
‘Baiklah,’ ucap Janggo, akhirnya. Ajak itu menatap Alma. ‘Kalau sudah mau pulang dari padang bunga, panggil saja aku.’
Alma mengangguk sambil mengangkat jempol tangan kanannya. Jadilah ketiga ajak kecil itu berlari-lari gembira mengikuti langkah Alma dan Kresna.
‘Kalian tahu jalan ke padang bunga?’ tanya Kresna.
‘Tahu, Paman! Tahu!’
‘Nah, sekarang kalian jalan di depan, ya? Tunjukkan jalannya pada Bibi dan Paman.’
Ajak-ajak kecil itu segera berebutan berjalan di depan pasangan pengantin baru itu. Diam-diam Alma tersenyum dalam hati. Taktik Kresna agar lebih mudah mengawasi ketiga ajak kecil yang sangat lasak itu boleh juga.
Setelah melewati bagian samping pondok Paitun dan melewati jalan setapak, sampailah mereka di tepi sungai. Setelah berbelok ke kanan di sebelah bilik mandi, dan sejenak menyusuri sungai, mereka pun menyeberang melalui jembatan kecil.
Hutan bambu kuning itu masih sama seperti yang pernah mereka ingat. Pun gua di tengah-tengahnya. Mereka melangkah dalam hening menyusuri lorong gua hingga sampai di dasar cerobong.
‘Hayo, siapa yang bisa membawa kita semua ke atas?’ Alma tersenyum lebar.
Ketiga ajak kecil yang bersama mereka itu berebutan menjawab, ‘Aku bisa, Bibi! Aku bisa!’
‘Coba, bagaimana caranya?’
‘Ayo, kita berdiri di daun yang lebar itu, Bibi! Ayo, Paman!’
Alma dan Kresna pun sambil tertawa geli menuruti seruan ketiga ajak kecil itu. Mereka berlima kemudian berdiri berdekatan di tengah sebuah daun teratai yang paling lebar.
Suara ajak-ajak kecil itu mendadak berubah menjadi bernada khidmat ketika berucap serempak dalam hening, ‘Nyai Padma yang baik, tolong, bawa kami ke atas.’
Dan, perlahan mereka pun terangkat ke atas, hingga mencapai bibir cerobong. Kresna-lah yang pertama kali meloncati bibir cerobong. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk mengeluarkan Lopis, Klepon, dan Cenil. Terakhir, ia membantu Alma meloncati bibir cerobong.
Padang luas itu pun menyambut mereka dengan aneka warna bunga mekar yang teramat indah. Kresna tak pernah berhenti merasa takjub akan keindahan tempat itu, walaupun sudah melukisnya dengan nyaris sempurna. Segera saja ia sibuk mengabadikan berbagai objek menarik di sekitarnya dengan kameranya. Tak lupa ia mengabadikan pula tingkah jenaka tiga ajak bersaudara yang asyik bergulingan di rerumputan.
Sementara itu, Alma menebarkan sehelai kain untuk alas duduk mereka di bawah pohon beringin, di dekat gundukan tanah berlapis rumput yang pernah ia dan Kresna duduki di masa lalu. Dengan cekatan, ia mengeluarkan semua bekal makanan dan minuman yang tadi sudah disiapkan Kriswo untuk mereka. Setelah puas mengabadikan keindahan itu, Kresna pun duduk di samping Alma.
Matahari bersinar sangat cerah. Tak secuil pun mega tampak di langit biru. Walau begitu, udara di padang bunga itu tetap sejuk. Keduanya tertawa melihat tingkah lucu Lopis, Klepon, dan Cenil, yang disertai dengan dengking-dengking bernada riang.
Berada di tengah padang bunga yang sedemikian indah, Kresna pun teringat sesuatu, Setelah menyesap minumannya sedikit, ia pun kembali bangkit dan mendekati rumpun bunga terdekat. Dengan teliti, dipilihnya bunga-bunga indah aneka warna dan ukuran untuk dipetik. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke samping Alma, dan mulai merangkai bunga-bunga itu. Dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah selesai membuat tiga buah mahkota bunga. Satu berukuran mungil, dan dua lagi berukuran besar. Salah satu mahkota berukuran besar itu diletakkannya dengan hati-hati di puncak kepala Alma.
“Oh.., terima kasih...,” bisik Alma dengan mata berbinar indah.
Kresna pun membalas ucapan itu dengan kecupan hangat di kening Alma. Diberikannya mahkota besar yang lain pada Alma.
“Simpan dulu ini,” ujarnya. “Buat Pinasti.”
Alma mengangguk dan menyimpan mahkota bunga itu baik-baik di dalam keranjang rotan. Kemudian, satu demi satu ketiga ajak kecil itu mendekat, dan duduk manis di sekitar mereka. Kresna segera memasang mahkota bunga berukuran kecil yang dibuatnya di antara kedua telinga Cenil. Ajak betina mungil itu mendengking kegirangan.
‘Ini untukku, Paman?’
Kresna mengangguk sambil mengelus tengkuk Cenil. Ajak itu mengucapkan terima kasih dengan dengkingan bernada riang.
‘Lapar?’ tanya Alma, menatap bergantian ketiga ajak di dekatnya dan Kresna.
Ketiga ajak kecil itu serentak mengangguk. Alma kemudian membuka bungkusan tiga buah arem-arem dan memberi mereka satu-satu. Ketiganya pun menyantap makanan itu dengan lahap. Lopis, yang badannya paling besar, tak segan meminta tambah satu lagi. Sedangkan Klepon dan Cenil meminta satu lagi, untuk dibagi berdua.
“Ini mangkuk buat apa?” tanya Kresna sambil mengangkat sebuah mangkuk kecil yang diambilnya dari dalam keranjang rotan.
“Oh, itu untuk menampung air buat cuci tangan,” jawab Alma.
“Buat tempat minum anak-anak saja, ya?”
Alma mengangguk. Kresna mengisi mangkuk itu dengan air segar yang dituangkannya dari dalam kendi.
‘Ini minuman kalian,’ ujarnya lembut sembari menyodorkan mangkuk itu ke depan para ajak kecil. ‘Mangkuknya cuma satu. Kalian minumnya bergiliran, ya.’
‘Ya, Paman,’ ketiga ajak kecil itu serempak menjawab dengan nada patuh.
Sebelum ketiga anak ajak itu mengantuk dan tertidur setelah makan dan minum, Kresna mengajak mereka berfoto bersama dalam berbagai gaya. Ketiga ajak kecil itu menyambutnya dengan dengking riang. Mereka berlima tertawa-tawa melihat hasilnya di layar kamera Kresna. Setelah puas, satu demi satu ajak-ajak kecil itu mulai menguap. Ketiganya kemudian duduk berdekatan, dan melingkarkan tubuh masing-masing sambil memejamkan mata. Alma dan Kresna sibuk mengelus-elus ketiganya hingga terdengar dengkur lembut. Kresna tak lupa mengabadikan ketiga ajak lucu itu saat tertidur.
“Ingin rasanya aku bawa pulang mereka,” gumam Alma. “Mereka menggemaskan sekali!”
“Dan bakal langsung viral karena kita punya peliharaan tiga ekor ajak dalam warna tak umum di apartemen,” sambung Kresna, tersenyum lebar.
Alma tergelak mendengarnya. Tapi sejurus kemudian, wajahnya tampak serius. Ditatapnya Kresna yang tengah asyik menyesap minumannya.
“Mm..., Mas...,” ucapnya ragu-ragu.
“Ya?” sekilas, Kresna balas menatap Alma.
“Mm.... Sebelum pulang ke Margiageng setelah kita di-undhuh mantu, Ayah sempat bilang padaku, sudah menyiapkan rumah baru buat kita di daerah dekat kampusmu dan kantorku. Di kompleks yang baru saja selesai dibangun Ayah. Mm.... Aku belum tahu lokasi pasti cluster-nya, sih.”
“Wah...,” Kresna sempat kehilangan kata. Ditatapnya Alma kembali. “Suatu saat nanti, kita pasti butuh rumah juga. Saat kita sudah tak lagi berdua. Sebetulnya aku sudah memikirkannya. Aku sudah punya tanah di daerah dekat kampus juga. Sedang mengumpulkan uang untuk membangunnya. Sudah mulai terkumpul, sih, uangnya. Lumayan, Yang, luasnya sekitar dua ribu meter persegi.”
Seketika Alma ternganga. Mereka bisa membuat apa saja di tanah seluas dua ribu meter persegi! Tiba-tiba saja sebuah pikiran jahil melintas dalam benaknya.
Hmm.... Bagaimana kalau aku minta ‘mentahan’-nya saja dari Ayah?
‘Yang...,’ tiba-tiba saja Kresna menegurnya dengan nada sangat halus.
Alma menoleh cepat. Sedikit menyesal karena ia lupa menutup pikirannya.
“Saat kita sudah memutuskan berani untuk menikah,” lanjut Kresna, tetap dengan nada halus, “saat itu juga kita seharusnya sudah berani lepas dari orang tua secara penuh. Soal rumah, salah satunya. Saat ini kita masih bisa bernaung dengan aman di apartemen kita. Sementara waktu sudah lebih dari cukup. Sambil jalan, kita siapkan juga lainnya, termasuk rumah yang menapak tanah.
“Sudah beberapa tahun ini, sejak Ayah mengalihkan pengelolaan perusahaan pada Seta, tiap akhir tahun aku selalu dapat pembagian keuntungan. Tidak sebanyak yang didapat Seta, tapi lebih dari cukup untuk ditabung. Aku belikan tanah, dan juga untuk pembangunan rumah kita nanti. Sudah aku perhitungkan, akhir tahun ini kita sudah bisa mulai. Desainnya terserah kamu. Kamu lebih tahu, karena itu wilayahmu,” Kresna merengkuh bahu istri tercintanya.
Alma hanya bisa mengangguk-angguk. Berusaha menyelami pemikiran Kresna yang sudah begitu jauh di depan demi kenyamanan kehidupan mereka kelak. Dalam benaknya, sudah terbayang rumah asri yang bagian dalamnya hangat bermandikan cahaya matahari, yang dikelilingi halaman hijau nan luas tempat anak-anak mereka bisa berlarian dengan bebas kelak. Ia tersenyum lebar. Kresna yang bisa menangkap gambaran itu pun ikut tersenyum lebar, dan mengeratkan rengkuhannya di sekeliling bahu Alma.
Dengan pasti, matahari makin naik ke puncak pentasnya. Lopis, Klepon, dan Cenil terlihat masih bergulung dalam lelap mereka. Alma pun memutuskan untuk memanggil Janggo dengan pikirannya. Ajak raksasa itu muncul tak lama kemudian, bersama Pinasti.
Setelah meringkas semua bawaan mereka, Kresna kemudian mengangkat Lopis dan meletakkannya dengan hati-hati di punggung Janggo. Berikutnya Klepon di punggung Pinasti. Sedangkan Cenil, Alma sudah menggendongnya.
‘Sekalian saja taruh dia di punggungku,’ ujar Janggo, menatap Alma.
‘Tak usah, biar aku menggendongnya.’
‘Baiklah,’ Janggo mengalah.
Mereka kemudian berjalan ke arah cerobong. Dengan lincah Janggo dan Pinasti meloncat ke atas helaian daun teratai besar di dalam cerobong. Alma dan Kresna sempat khawatir Lopis dan Klepon akan meluncur jatuh dari punggung ayah-ibu mereka. Tapi ternyata tidak. Kedua ajak kecil itu tetap menempel erat seolah badan mereka berperekat. Berikutnya adalah Alma yang menggendong Cenil, dan terakhir adalah Kresna.
“Nyai Padma yang baik, bolehkah kami turun sekarang?” suara Alma kemudian menggema lembut dalam cerobong.
Perlahan, mereka melayang turun dengan bertumpu pada daun teratai. Setelah sampai di dasar cerobong, tak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Sebelum pulang ke pondok, Alma membaringkan Cenil di tempat tidur ajak mungil itu, di tengah Lopis dan Klepon. Ketiga ajak kecil itu sempat menggeliat dengan mata tetap terpejam, sebelum kembali meringkuk dan mendengkur halus.
‘Makan siang hari ini ada di rumah Bibi Kriswo,’ ujar Pinasti pada saat Alma dan Kresna berpamitan. ‘Bibi bilang nanti malam sekalian juga makan di sana. Bibi mau buatkan nasi goreng gongso paling enak buat kalian.’
Alma tertawa ringan mendengarnya. Ia dan Kresna kemudian mengangguk. Keduanya sempat mampir ke pondok Paitun untuk menyimpan ransel berisi kamera yang disandang Kresna.
”Setelah makan siang, kita ke mana?” Kresna meraih tangan Alma, menggandengnya sambil berjalan ke pondok Kriswo dan Randu.
“Di sini saja dulu, ya?” Alma menoleh sekilas. “Kita ngobrol saja sama Nini, Nyai, Bibi, dan Paman.”
Kresna pun mengangguk.
* * *
Selanjutnya
Teriring ucapan terima kasih dari partner menulis saya, Mas Domi (dan saudara kembarnya, Mbak Thea) untuk semua pembaca blog FiksiLizz yang sudah berkenan menitipkan salam dan turut mendoakan kesembuhan papa tercinta mereka melalui fb saya. GBU all... 🙏💕💞
Teriring ucapan terima kasih dari partner menulis saya, Mas Domi (dan saudara kembarnya, Mbak Thea) untuk semua pembaca blog FiksiLizz yang sudah berkenan menitipkan salam dan turut mendoakan kesembuhan papa tercinta mereka melalui fb saya. GBU all... 🙏💕💞
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)