Kamis, 31 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #9-1








Sebelumnya



* * *


Sembilan
Ketika Detik
Terus Merayap


“Nanti malam, waktunya Kresna kembali ke atas.”

Suara halus Paitun itu disambut keheningan. Seketika rasa makanan yang mereka nikmati saat sarapan itu berkurang lezatnya. Kresna tercenung. Wilujeng tertunduk. Pinasti mengheningkan diri.

Ketiganya tahu, pada saat yang tepat nanti mereka akan bertemu kembali. Tapi kenapa rasa kosong itu sudah dimulai dari sekarang? Pelan, Pinasti mengalihkan arah tatapannya. Menjatuhkannya pada Kresna. Pada detik yang sama, tatapan Kresna pun terarah padanya. Benak keduanya terkunci pada satu gelombang yang sama.

‘Aku akan merindukanmu...’ Kresna mengerjapkan mata. ‘Sangat merindukanmu.’

‘Siapa lagi yang akan membuatkan aku mahkota bunga?’ Tatapan Pinasti berlumur duka.

‘Aku akan membuatkan yang paling bagus saat kita bertemu lagi kelak.’

‘Janji?’

Kresna mengangguk samar. ‘Janji!’

‘Ya, aku percaya.’ Pinasti tersenyum samar.

Kresna tak mau membuang kesempatan itu begitu saja. Segera disimpannya senyum samar Pinasti dalam lipatan hatinya.

Gelombang itu buyar begitu Paitun berdehem ringan. Pinasti dan Kresna sama-sama mengalihkan tatapan.

“Nikmatilah hari ini,” ucap Paitun dengan nada bijak. Menatap Pinasti dan Kresna bergantian.

Pinasti dan Kresna mengangguk serempak. Keduanya segera menyelesaikan sarapan agar bisa segera menikmati hari terakhir mereka berdua di padang bunga. Wilujeng sudah menyiapkan sebuah keranjang rotan penuh berisi makanan dan minuman untuk bekal Pinasti dan Kresna.

Tanpa banyak membuang waktu, keduanya kemudian berpamitan. Kresna menggandeng Pinasti erat-erat. Perawan sunti cantik itu mengenakan mahkota bunga berwarna merah-biru yang kemarin sore dibuatkan Kresna, senada dengan gaun sederhana yang dipakainya pagi ini. Gaun katun putih berbunga kecil merah dan biru yang terlihat cantik. Keduanya berjalan pelan-pelan, menikmati keteduhan pagi di bawah kubah Bawono Kinayung.

Pinasti membawa Kresna ke sebuah gua di tengah-tengah hutan bambu kuning yang kemarin dilewati Kresna saat diajak memancing oleh Tirto. Lorong gua gelap dan lembap itu tidaklah panjang. Ujungnya adalah ruangan semacam cerobong tinggi yang membuka ke atas. Dindingnya terbuat dari ribuan batu pipih kecil berwarna abu-abu gelap yang tersusun dengan sangat rapi. Dasar cerobong itu terlihat basah dan ditumbuhi beberapa teratai. Bunga-bunganya mekar indah di tengah daun-daun lebar yang menutupi seluruh dasar cerobong.

“Sini, Mas,” Pinasti dengan lembut menarik tangan Kresna.

Pemuda itu menurut saja, karena benar-benar buta dengan berbagai kondisi ajaib di Bawono Kinayung.

Benar saja! Pinasti membawanya mendekati sebuah daun teratai terlebar di tengah dasar cerobong, dengan melompat-lompat melalui daun teratai lainnya. Diameter daun terlebar itu kira-kira satu meter. Lalu, Pinasti berdiri di tengah daun itu bersama Kresna. Tangannya masih erat menggenggam tangan Kresna.

Kemudian, dengan sangat lembut Pinasti berucap, “Nyai Padma yang baik, tolong, bawa kami ke atas.”

Sebelum Kresna menyadari apa yang terjadi, ia dan Pinasti seolah melayang naik hingga sampai di puncak cerobong, dengan kaki masih tetap menapak pada daun teratai. Kresna hanya bisa ternganga. Dan, lebih ternganga lagi ketika mereka sudah sampai di atas.

Pinasti kembali menarik tangannya. Perawan sunti itu melompat lincah keluar dari cerobong sambil mengucapkan terima kasih. Kresna tak bisa berbuat lain kecuali menuruti Pinasti.

Mereka kini ada di tengah padang bunga yang demikian indah. Bunga-bunga aneka jenis dan warna seolah menonjolkan seluruh keindahan mereka secara acak. Aneka bentuk dedaunan pun turut memamerkan diri di tengah hamparan bunga mekar. Kresna nyaris lupa caranya mengedipkan mata. Pinasti pun tersenyum ketika mendapati wajah Kresna seutuhnya dikuasai oleh rasa takjub. Dibiarkannya pemuda itu memuaskan mata menatap sekeliling. Hingga kemudian tatapan matanya jatuh pada Pinasti.

“Ini...,” Kresna betul-betul kehilangan kata.

Pinasti mengangguk. Tersenyum samar. Kresna kembali menatap berkeliling. Matahari mulai menyapa padang bunga itu dengan kehangatan sinarnya. Sisa-sisa embun yang masih enggan menguap memantulkan kerlip indah bagaikan kristal yang bertaburan di padang itu.

Kembali, Kresna berusaha merekam baik-baik pemandangan itu dan menyimpannya dalam hati. Dengan halus, Pinasti kemudian menarik tangan Kresna. Ada sebuah gundukan tanah berlapis rumput hijau yang cukup tinggi di bawah sebuah pohon beringin besar di dekat mereka. Ke tempat itulah Pinasti membawa Kresna duduk, setelah mendaki lewat tumpukan batu yang tertata rapi. Dari ketinggian itu, indahnya padang bunga terlihat dengan begitu jelas. Angin sepoi datang menyapa.

“Ya, Tuhan... Seperti inikah Surga?” desahnya. “Indah sekali!”

Pinasti tersenyum. Ia senang karena Kresna kelihatannya juga sangat menyukai tempat itu. Pemuda itu kemudian menoleh ke arah Pinasti.

“Tempat ini tak terlihat dari puncak Gunung Nawonggo,” ujarnya.

“Kata Nini terlihat, kok,” Pinasti menanggapi. “Tapi hanya tampak seperti padang bunga putih kekuningan kecil-kecil. Bunga abadi. Edelweiss.”

Seketika Kresna memahaminya setelah sempat sejenak terpana. Padang bunga edelweiss jauh di bawah puncak Gunung Nawonggo, ia pernah melihatnya. Tetap sebagai sebuah tempat terhampar di kejauhan yang tak terjangkau karena dilingkari jurang dan tak ada jalur yang bisa mengarah ke sana. Dihelanya napas panjang. Kembali ditatapnya Pinasti.

“Pin...,” ucapnya kemudian. Ragu-ragu. “Di ‘atas’ tempatnya tidak sebagus ini. Dunia begitu sibuk dan bergerak cepat seiring urusannya sendiri-sendiri. Kalau aku boleh memilih, aku ingin tinggal di sini. Bersama Ibu. Bersamamu. Tapi garis kehidupan kita kelak ada di ‘atas’.”

Pinasti tertunduk. Kresna mengulurkan tangannya. Membelai rambut Pinasti yang tergerai indah.

“Aku benar-benar berharap kita bisa bertemu lagi nanti,” bisik Kresna. “Aku sayang sekali padamu. Bukan sebagai abang terhadap adiknya. Mungkin kamu masih terlalu muda untuk memahami. Tapi aku ingin kamu menyimpan perasaan ini dalam hatimu. Sehingga kelak kita masih bisa saling mengenali saat bertemu.”

Pinasti mengangguk dalam hening. Lembut, tangan Kresna mengangkat dagunya. Mereka bertatapan. Saling merekam sorot mata dan senyum yang terkembang samar, dan menyimpannya dalam hati. Pelan, Kresna mengecup kening Pinasti, kemudian merengkuh bahunya.

Pinasti merasakan sebuah kedamaian dalam hatinya. Aman, nyaman, damai. Semua itu selalu dirasakannya seumur hidup di Bawono Kinayung. Tapi yang dirasakannya sekarang adalah sesuatu yang ‘lebih’.

Bersama-sama keduanya menikmati keindahan padang bunga itu dalam hening. Sementara benak mereka menari-nari pada gelombang yang sama. Saling bertukar rasa. Saling bertukar cerita. Membiarkan detik terus merayap hingga waktu habis bagi kebersamaan mereka.

* * *

Saijan sedang sibuk melayani beberapa pembeli di toko bahan obat herbalnya ketika seorang laki-laki menyelinap masuk melalui pintu depan. Sejenak Saijan mengalihkan perhatian. Tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki itu. Keduanya mengangguk samar bersamaan. Laki-laki itu kemudian menyisihkan diri ke sebuah sudut yang ada mejanya, dan duduk di kursi yang ada di depan meja itu. Dilepaskannya topi laken yang menutupi kepalanya. Kini terlihat bahwa laki-laki itu ternyata berambut gondrong putih mengilat yang diikat rapi ke belakang.

Saijan segera menyelesaikan urusan dengan pembeli yang tengah dihadapinya. Selanjutnya ia menyerahkan urusan pembeli lainnya pada asistennya. Dihampirinya laki-laki berambut putih itu. Dan, ia duduk di belakang meja.

“Ada kabar apa, Bon?” tanya Saijan tanpa basa-basi.

“Aku bawa pesan dari Nini,” jawab laki-laki itu dengan suara berat yang terdengar lirih dan rendah. “Nanti malam akan ada orang yang dikirim Nini ke kaki Gunung Nawonggo. Jemput dia, antarkan ke polisi. Bilang kamu menemukannya di hutan saat kamu cari tumbuhan obat.”

“Di mana tempatnya?”

“Nanti kamu akan tahu. Berangkatlah sebelum matahari terbenam. Lewati jalur Sembrani. Di sana aku akan menuntunmu.”

Saijan mengangguk paham.

“Ya, katakan pada Nini, aku siap.”

Laki-laki berambut putih itu kemudian berpamitan. Sekeluarnya dari kedai obat Saijan, ia berjalan lurus ke arah timur, kemudian berbelok memasuki jalan setapak sepi ke arah sebuah bukit. Sebelum mencapai puncak bukit itu, ia melompat masuk ke dalam rumpun semak putri malu.

Sekelebat, ada sosok hewan besar yang makin menghilang dalam rimbunan semak dan kedalaman hutan. Seekor ajak besar berbulu putih. Yang segera disambut dengan dengking pendek-pendek kawanannya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Aku membayangkannya seperti dunia Tinkerbelle. Hehehe.

    BalasHapus
  2. Mb Liiiiissssss pean kambek Domi ancene super jos gandos soro to the max pokoe weska !!!!!
    Babano aq diarani lebay wkwkwkwkwkwkwk
    Gangaruh tetep cintah kambek crito"e pean.
    Domiiiiiii joko sitok iq kudu taewek" ae hare.
    Awas lek nti kapan" ketemu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wanyik kedisikan nyonyah awak rek wkkkkkkkkkkk
      Trus iku bondet isok dadi menungso ??????
      Guendeng imajinasine arek² iki rek !

      Hapus