Sebelumnya
* * *
Seta berdiri mematung di ruang tengah begitu kabar itu menggema di telinganya melalui ponsel. Dari ayah Alex. Mengabarkan bahwa Alex sudah diketemukan. Tapi dalam kondisi koma di salah satu rumah sakit di Rimas karena semalam mengalami kecelakaan. Dihelanya napas panjang. Dengan pasrah digelengkannya kepala. Kesedihan diam-diam merayapi hatinya.
Belum ada pengakuan dari Alex, keluhnya dalam hati. Kresna belum bisa kembali...
Mahesa yang tengah melangkah turun dari lantai atas, hendak ke ruang makan, berhenti sejenak ketika melihat anaknya menatap taman belakang dengan sorot mata kosong. Ia kemudian memutuskan untuk menghampiri pemuda itu. Seta tersentak ketika sebuah tepukan lembut mampir di bahunya.
“Melamun, Set?” tegur Mahesa, halus.
Seta menoleh. Tatapannya terlihat kelam. Pemuda itu menggeleng samar.
“Alex sudah ketemu, Yah,” bisiknya. “Sekarang ada di salah satu rumah sakit di Rimas. Semalam dia kecelakaan, mobilnya menabrak warung di pinggir jalan, di kaki Bukit Seribu Kembang Goyang. Mesin mobilnya meledak, lalu terbakar. Alex masih hidup, tapi luka parah. Koma.”
Mahesa ternganga. Laki-laki itu pun terduduk di sofa terdekat.
“Padahal Ayah harapkan dia cepat mengaku,” gumamnya dengan wajah murung, “supaya Kresna cepat kembali. Tapi nyatanya...”
Seta ikut duduk di sebelah Mahesa. Dihelanya napas panjang. Ia tak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. Sampai beberapa detik kemudian keheningan itu pecah dengan suara lirih Mahesa.
“Bagaimanapun Kresna dalam kondisi baik di luar sana. Walaupun entah di mana. Suatu saat dia akan kembali, Set. Entah bagaimana pula caranya.”
Seta hanya bisa mengangguk walaupun hatinya digayuti perasaan pesimis.
“Ya, sudah,” Mahesa berdiri. “Sekarang sarapan dulu. Kita bisa terlambat ke kantor.”
Seta pun mengikuti gerakan ayahnya. Sudah hampir setahun ini ia dan Kresna dilibatkan dalam perusahaan mebel yang didirikan ayah dan ibu mereka. Tapi kelihatannya Kresna kurang tertarik. Jadi Seta-lah yang lebih diharapkan ayahnya untuk kelak menjalankan usaha itu.
Kresna sudah pernah mengungkapkan pada ayahnya, bahwa pemuda itu kelak ingin menjadi seorang pengajar. Secara akademis, Kresna memang lebih baik daripada Seta. Seta sendiri lebih menonjol dalam hal kreativitas. Beberapa rancangan mebelnya sudah diproduksi dan disambut baik oleh pasar. Ialah kini yang menjadi tumpuan harapan Mahesa untuk menjadi penerusnya.
* * *
Sepeninggal Pinasti dan Janggo, Paitun memanggil Kresna untuk membicarakan ‘sebuah hal penting’. Kresna pun duduk dengan sikap takzim di balai-balai, di dekat Paitun. Wilujeng masih membereskan bekas sarapan mereka. Ia akan menyusul kemudian.
Paitun menatap Kresna dalam-dalam. Diam-diam, ia mengagumi pemuda itu. Pemuda yang begitu sopan dan kelihatan sangat penyayang. Ia juga kagum pada Wilujeng yang sudah begitu baik meletakkan dasar kepribadian Kresna. Begitu pula yang perempuan cantik itu lakukan pada Pinasti. Pun pada sosok seorang Mahesa yang begitu setia terhadap belahan jiwanya. Tak mau menggantikan sosok Wilujeng dengan siapa pun dalam kehidupannya.
“Kres...,” ucap Paitun lembut. “Sesungguhnya aku sudah mengirim pesan melalui Bondet pada ayahmu, dengan perantara orang yang tempo hari turun ke jurang untuk mencarimu.”
Seketika Kresna menatap Paitun.
“Ayahmu sudah tahu bahwa kamu selamat dan akan kembali,” lanjut Paitun. “Syaratnya cuma satu, tersebutnya nama orang yang mencoba membunuhmu. Dan, kamu sudah menyebutkannya.”
Oh... Kresna mengangguk samar.
“Sekarang, keputusan ada padamu. Kapan pun kamu siap untuk kembali ke ‘atas’, maka kamu bisa kembali. Ibumu akan menyusul kemudian. Tapi, dengan sangat menyesal, aku akan menghapus ingatanmu akan tempat ini.”
Seketika raut wajah Kresna terlihat murung. Ia sama sekali tak mengkhawatirkan perpisahannya dengan Wilujeng.
Tapi Pinasti? Kresna mendegut ludah.
Betapa hatinya sudah sedemikian tertambat pada perawan sunti cantik itu. Ia belum pernah merasakan hatinya sedemikian terguncang seperti ini. Dan, tampaknya Pinasti pun memiliki perasaan yang sama. Sayangnya, Pinasti masih terlalu muda. Sayangnya pula, tampaknya mereka akan berpisah segera.
Bisakah aku? Kresna mengerjapkan mata.
Paitun tersenyum mengetahui kelebat-kelebat pikiran yang berlompatan dalam benak Kresna. Ia mengulurkan tangan, menepuk lembut punggung tangan Kresna.
“Jangan khawatir,” senyum Paitun melebar. “Takdir kalian sudah digariskan oleh Gusti. Kalian adalah belahan jiwa. Kamu dan Pinasti. Kehidupan akan menuntun kalian sehingga kelak bertemu lagi. Nanti, kalau Pinasti sudah cukup usianya.”
“Benarkah, Ni?” ada harapan yang melompat keluar dalam mata Kresna.
Paitun mengangguk. “Benar. Aku tak pernah bohong soal ini, Kres.”
Seulas senyum kini terbit di wajah tampan Kresna. Berpisah untuk kelak bertemu lagi. Hm... aku tak akan apa-apa. Semoga Pinasti juga.
“Sepeninggalmu nanti, aku juga akan menghapus ingatan ibumu dan Pinasti tentangmu,” ujar Paitun lagi. “Supaya kalian tetap bisa melanjutkan hidup seperti biasa. Begitu juga aku akan menghapus kenangan Pinasti akan ibumu saat ibumu kembali ke ‘atas’.”
“Lalu...,” kening Kresna berkerut. Nada bicaranya terdengar mengambang dan ragu-ragu. “Bagaimana kami bisa bertemu lagi dan saling mengingat kalau ingatan kami sama-sama terhapus, Ni? Maksudku, Pinasti dan aku.”
Paitun tersenyum simpul. “Hati kalian yang akan menuntun kalian pada pertemuan itu kelak. Hati kalian akan mengerti dan memahami. Jangan khawatirkan hal itu.”
Kresna hanya bisa ternganga.
* * *
Menjelang siang, Paitun berpamitan untuk ke ‘atas’ menyetorkan dedaunan bahan obat bersama Randu. Tak lama setelah kepergian Paitun, Tirto muncul. Laki-laki itu menawarkan pada Kresna apakah ia mau ikut memancing. Tanpa ragu-ragu Kresna mengangguk. Wilujeng pun membekali keduanya makanan dan minuman yang ditaruhnya dalam sebuah keranjang rotan.
“Kang, tolong, nanti sekalian ambilkan rebung, ya,” ucap Wilujeng ketika melepas keduanya.
“Berapa, Mbak?”
“Tiga juga boleh, Kang. Besok sekalian saja aku masakkan buat kita semua di sini.”
“Kelapanya masih ada?”
“Masih.”
Tirto mengangguk dan berpamitan. Laki-laki itu kemudian mengajak Kresna melalui jalan setapak di belakang pondok Paitun, hingga berujung di sungai. Di samping bilik mandi, ternyata ada jalan setapak lain yang mengarah ke kanan. Di ujung belokan itu ada jembatan kecil terbuat dari bambu yang menghubungkan kedua sisi sungai. Melalui jembatan itu, keduanya menyeberang dan masuk ke dalam sebuah hutan yang penuh dengan bambu kuning.
“Nanti saja kita ambil rebungnya, Mas,” celetuk Tirto. “Kita mancing dulu.”
Seketika Kresna merasa rikuh dengan panggilan itu. Sekilas ia menatap laki-laki yang melangkah di sebelahnya.
“Panggil Kresna saja, Paman, nggak usah pakai ‘mas’,” ujarnya.
“Kenapa?” Tirto menoleh. Tersenyum.
“Nggak apa-apa, Paman,” Kresna juga tersenyum. “Kan, Paman lebih tua daripada aku.”
“Hm... Kamu sopan juga, Kres,” Tirto menyimpulkan senyumnya. Memang benar-benar cocok untuk Pinasti.
Tak lama berjalan, mereka pun sampai di tepi lainnya hutan bambu kuning itu. Kresna seketika ternganga.
Ada danau kecil di sana. Tidak terlalu luas, tapi bagian atasnya langsung membuka ke arah langit. Kresna mendongak. Menatap langit biru bersih dan cahaya matahari yang menyorot hangat. Seketika ia merasa bahwa ia benar-benar merindukan cahaya matahari dan sapaan langit biru.
Tirto dengan cekatan menyiapkan alat pancingnya. Ia kemudian duduk di tepi danau yang beralaskan rumput hijau pendek bagai permadani. Kresna pun duduk di sebelah laki-laki pendiam itu. Tapi, ia ternganga lagi.
Danau bening yang tidak terlalu dalam itu nyaris penuh dengan ikan mas besar-besar yang kelihatannya tinggal meraupnya dengan serok saja. Tak perlu dipancing. Tirto yang mengetahui isi benak Kresna tersenyum lebar.
“Mancing itu lebih berseni, Kres,” celetuknya.
Kresna tertawa mendengarnya. “Apalagi mancing perkara, Paman.”
Tirto terbahak.
Tirto hanya membawa satu alat pancing saja, sehingga Kresna hanya bisa menunggui. Pemuda itu kemudian berbaring di rerumputan. Tatapannya menerawang ke atas. Segumpal besar awan putih kini menutupi sinar matahari. Suasana jadi sedikit teduh.
“Tempat ini belum pernah ada yang menemukan, Paman?”
“Maksudmu?” Tirto menoleh sekilas. “Orang-orang dari ‘atas’?”
Kresna mengangguk.
“Bagi kita di bawah sini, tempat ini memang terbuka ke atas,” jawab Tirto. “Tapi orang di ‘atas’ tak akan bisa melihat tempat ini, karena tempat ini tertutup.”
Seketika Kresna ingat sekat tak terlihat yang pernah membuatnya terpental di padang rumput. Hm... Jadi begitu...
“Kamu sebentar lagi kembali ke ‘atas’, ya?” gumam Tirto.
“Iya, Paman,” Kresna menjawab lirih. “Entah apakah aku masih akan bisa mengingat tempat indah ini atau tidak.”
“Ingatanmu pasti akan terhapus. Tapi tidak hatimu.”
“Maksud Paman?” Kresna seketika bangun.
“Kelak kamu akan tahu sendiri,” Tirto tersenyum simpul.
Kresna terbengong.
Tirto cukup lama memancing. Kresna pun sempat tertidur ketika angin sepoi dengan ramah menyapanya. Apalagi perutnya cukup kenyang dengan segala makanan yang tadi dijejalkan Wilujeng ke dalam keranjang rotan.
Ketika tiba waktunya untuk pulang kembali ke Bawono Kinayung, Tirto mengajak Kresna sejenak berbelok masuk ke dalam hutan bambu kuning untuk mengambil rebung pesanan Wilujeng. Sebuah hutan bambu kuning dengan suasana yang sangat mengesankan indahnya. Kresna berusaha mengendapkan dan menyimpan semua pengalamannya itu dalam lipatan-lipatan hati. Tirto tersenyum ketika mendapati hal itu.
Kamu memang selalu tahu caranya, Kres...
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Prei² awak lek ngintip kene es ping piro ae iki mau. Moco sek yoh nyah.
BalasHapusGood post mbak
BalasHapusSenangnya ada yg ditunggu tiap hari
BalasHapusBtw, foto ilustrasinya unik. Cocok buat dijadikan kartu pos. Buat ngirim surat ke Bawono Kinayung. Hehehehe.
BalasHapus