* * *
Lima
Mimpi-Mimpi
“Liburan yang sangat menyenangkan!”
Mahesa tersenyum lebar mendengar suara dari arah belakangnya itu. Tanpa menoleh pun, ia bisa melihat dengan mata hatinya, bahwa wajah Wilujeng pastilah penuh dengan seri seperti biasanya. Bahkan mungkin lebih. Tapi ia memilih untuk tak menjawab. Konsentrasinya harus disetel maksimum agar mereka bisa melewati kelokan-kelokan tajam di sepanjang punggung Pegunungan Pedut.
Matahari perlahan mulai menggelincir ke barat. Mahesa menurunkan visor agar pandangannya tak terganggu. Kebetulan, saat ini mereka lebih banyak mengarah ke barat. Tapi dengan cepat kabut tipis mulai mengepung. Mahesa pun melipat kembali visor dan lebih berkonsentrasi dengan jalur yang terbentang di depan mobilnya.
Pegunungan Pedut yang terdiri dari tiga gunung kecil bersambungan itu penuh dengan jurang menganga dan tebing menjulang di kiri-kanan jalan. Tapi semua bahaya itu seolah dibayar lunas oleh pemandangan indah yang terbentang luas. Membuat Pegunungan Pedut cukup penuh dengan rumah peristirahatan yang selalu ramai di akhir pekan.
Dan, mereka berempat dalam perjalanan hendak kembali ke kota setelah menghabiskan libur panjang akhir pekan sejak hari Kamis. Lalu lintas di sepanjang jalan berkelok-kelok itu cukup padat walaupun tetap lancar. Di samping deretan mobil kecil dan mobil keluarga, ada juga truk-truk sedang dan besar yang ikut memeriahkan jalur di punggung Pegunungan Pedut. Itu karena jalur Pegunungan Pedut merupakan jalur pintas yang menghubungkan dua provinsi.
Tapi, tiba-tiba saja, di sebuah turunan mobil yang dikemudikan Mahesa terasa berat dan berhenti mendadak. Mahesa menyadari sesuatu. Dengan wajah marah, ia meneriaki salah seorang anak kembarnya yang duduk di sisi kirinya.
“Seta!”
Bersamaan dengan tangannya kirinya berhasil menormalkan rem tangan yang tuasnya ditarik oleh Seta, sebuah guncangan keras terasa dalam mobil kecil itu. Ada yang menyeruduk mobil mereka dari belakang. Begitu saja mereka terdorong ke kiri, membentur tebing dengan sangat keras, terpental ke kanan, disambut oleh sebuah truk besar dari depan tepat di belokan, dan meluncur tak terkendali lagi ke dalam jurang.
Dan, hal terakhir yang bisa diingatnya adalah teriakan histeris Wilujeng dan jeritan Kresna yang duduk di belakang. Setelahnya gelap...
* * *
Mahesa tersentak bangun. Langsung terduduk dengan napas tersengal dan keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Mimpi itu datang lagi. Sudah beberapa malam berturut-turut. Mimpi yang sama. Mimpi buruk tentang kejadian tiga belas tahun lalu. Mimpi yang detail demi detailnya tak pernah bisa ia lupakan.
Tanpa bisa ditahan, air matanya mulai mengucur. Mahesa mendekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis dalam hening.
Betapa rindunya ia pada Wilujeng! Wilujeng tak pernah dibiarkannya meninggalkan hati. Selalu ada Wilujeng dalam hatinya. Bahkan hingga di sudut-sudut yang tersembunyi.
Tanpa Wilujeng, setengah nyawanya seolah melayang pergi. Betapa pun ia berusaha tegar mengasuh si kembar sendirian, dengan mengesampingkan segala rasa marah terhadap Seta, ada saat-saat tertentu ketika ia merasa hidupnya gelap. Pada saat itulah ia membangun keyakinan bahwa Wilujeng-nya masih abadi. Wilujeng tidak akan meninggalkannya sendirian. Dan, bayang-bayang maya Wilujeng itulah yang membuatnya menemukan kembali kekuatan untuk berdiri tegak. Hingga hari ini.
Mahesa menyeka kedua matanya. Ia kembali berbaring. Meringkuk di bawah selimut. Tatapannya jatuh pada jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Ia kemudian bangun lagi. Sudah hampir waktunya untuk bermeditasi seperti biasanya. Salah satu caranya yang lain untuk mencari kekuatan. Ia sangat memerlukan itu. Apalagi kini bukan saja Wilujeng yang tak kembali. Kresna juga. Tanpa kabar.
Tapi, sebelum ia beranjak, ponsel yang tergeletak di samping bantalnya bernyanyi lirih. Ia meraih benda itu. Mengerutkan kening ketika mendapati ada sebaris nomor tak dikenal muncul di layar. Tapi dijawabnya juga panggilan itu.
“Halo, selamat pagi.”
“Selamat pagi, Pak. Dengan Pak Mahesa?”
“Iya, saya sendiri. Maaf, Anda siapa?”
“Saya Samadi, Pak. Salah satu anggota tim penyelamat putra Bapak.”
Seketika, jantung Mahesa berdetak lebih kencang.
* * *
Pelan-pelan Paitun menutup pintu belakang pondoknya. Ia melangkah cepat tanpa bunyi menembus kebun melalui jalan setapak. Pekatnya suasana tak menghalangi gerakannya. Begitu sampai di ujung jalan, ia berbelok ke kanan, menyusuri sungai. Tak jauh ia berjalan, ia sudah sampai di sebuah dermaga mungil dengan sebuah sampan tertambat di sana.
Tanpa suara pula, sampan itu mulai meluncur ke arah yang berlawanan dengan pondoknya. Setelah menembus sebuah air terjun kecil, dalam sekejap ia sudah sampai ke sebuah dermaga mungil lainnya.
Setelah menambatkan sampannya, Paitun turun dan masuk ke dalam gua yang bagian depannya tersambung dengan dermaga itu. Tempat yang ditujunya adalah bagian tengah gua. Sebuah tempat dengan langit-langit sangat tinggi dan bersuasana remang-remang. Ada beberapa lorong di sekitar ruangan besar itu.
Paitun menghentikan langkahnya dan bertepuk tangan tiga kali. Tak ada hitungan menit, sesosok bayangan putih muncul dari lorong di seberang Paitun. Seekor ajak putih.
‘Nini, ada apa mencariku?’ suara berat bernada hormat itu menembus pikiran Paitun.
‘Bondet, benar ada orang dari atas yang mencari Kresna?’
‘Benar, Nini. Tapi karena aku tahu Kang Tirto dan Mbakyu Wilujeng sudah mengambilnya, jadi kusuruh dia membawa teman-temannya kembali ke atas jurang.’
‘Hm... Jadi kamu berhasil bicara dengannya?’
‘Aku coba dan ternyata berhasil, Ni.’
‘Kamu bisa menghubunginya lagi?’
Bondet terdiam sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk.
‘Baik, Nini. Akan kucoba. Apa yang harus aku katakan?’
Dengan panjang lebar, Paitun kemudian memberikan pesannya. Bondet mengangguk-angguk. Pembicaraan itu tak berlangsung lama. Setelah selesai, Paitun pun berpamitan. Bersamaan dengan ia mulai meluncurkan sampan, Bondet pun berkelebat pergi. Kembali masuk ke dalam lorong.
Ajak putih itu punya tugas. Dan, Paitun tentunya tak mau menunggu lebih lama lagi. Ia pun makin bergegas.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Wah, jadi ini yang namanya Mahakresna Prabangkara? Akan kupantau terus ini.
BalasHapusLha kemarin-kemarin dikiranya siapa? 🙄
HapusKemarin sedang berpikir untuk menghubungkan antara dosen muda dengan Kresna. Dan ternyata orang yang sama.
HapusTtd presensi ndisek. Selak disetrap wkkkkkkkkk
BalasHapusLanjot nyah ! Iki dungaren awak mecungul ndisiki ? Wkkkkkkkkk
Mruput arek iki. Padune selak dikon angon arek2 ambek nyonyahe haha..
Hapus🤣🤣🤣
HapusMembayangkan sosok paitun....
BalasHapusSebangsa mbah-mbah hihihi... 😁
HapusTambah garai nyandu cerbung iki. Ciamik wes! 👍
BalasHapusNuwus, Sam 🙏
Hapus