* * *
Wilujeng duduk termenung di atas balai-balai di sudut dapur. Tatapan kosongnya jauh menembus jajaran tungku di seberangnya. Paitun yang baru saja masuk dari kebun belakang dengan membawa nyiru berisi aneka dedaunan kemudian menghampirinya. Ia duduk di sebelah Wilujeng. Nyirunya ia letakkan di atas meja.
“Cepat atau lambat, kita memang harus menjelaskannya pada Kresna,” ucap Paitun halus, mengerti apa yang tengah dipikirkan Wilujeng.
Perempuan ayu itu menghela napas panjang. Ia menoleh dan menatap Paitun.
“Aku bingung, harus mulai dari mana, Mak?” gumam Wilujeng.
“Jawab saja pertanyaan yang dia ajukan.”
Wilujeng kembali menghela napas panjang.
“Aku rasa dia akan dapat memahaminya,” ujar Paitun lagi. “Kulihat Kresna anaknya mudah mengerti.”
Wilujeng mengangguk. “Iya, Mak. Hingga kutinggalkan, dia memang seperti itu anaknya. Tak pernah banyak tuntutan. Selalu bisa memahami dengan baik apa yang aku atau ayahnya katakan.”
“Jangan lupa untuk bertanya siapa yang mencelakainya,” suara Paitun terdengar serius.
“Emak sama sekali tidak bisa melihatnya?”
Paitun menggeleng. “Setiap kali aku mencoba untuk mencari tahu, segera saja aku berhadapan dengan kabut tebal. Itu karena Kresna menyembunyikan kebenarannya. Tapi siapa tahu, kalau ibunya sendiri yang bertanya, barangkali dia mau mengungkapkan?”
Wilujeng kembali mengangguk.
“Pinasti berhasil mengajaknya melihat-lihat tempat ini,” gumam Paitun sembari meraih nyirunya. Tangannya dengan cekatan memisahkan dedaunan yang bercampur di wadah itu sesuai jenisnya.
“Semoga tidak terlalu jauh,” Wilujeng menanggapi.
“Ya,” angguk Paitun. “Aku pesan supaya Pinasti membawa Kresna ke danau.”
“Semoga dia tidak pingsan melihat pemandangan di sana,” Wilujeng menutup ucapannya dengan tawa kecil.
Paitun tersenyum lebar. Keduanya kemudian mulai sibuk mengolah dedaunan itu, sembari bercakap tentang banyak hal.
Wilujeng bercerita tentang masa kecil anak-anaknya, kehidupan awalnya bersama Mahesa, dan kebahagiaannya dengan keluarga. Seutuhnya, Paitun menangkap jutaan kerinduan meluap dari tatapan setengah menerawang Wilujeng. Sejenak ia menghentikan gerakan tangannya. Ditatapnya Wilujeng dengan serius.
“Aku tahu, kamu selalu bertanya tentang keberadaanmu di sini,” ujar Paitun dengan nada halus. “Sampai kapan, dan sebagainya. Kuharap kamu percaya pada suratan takdir, Jeng. Bahwa memang sudah seharusnya kamu untuk sementara waktu ada di sini. Untuk Pinasti. Untuk Kresna.”
Wilujeng mendegut ludah mendengar ucapan Paitun. Tak dapat ditahan lagi, sebutir air mata meluncur jatuh di pipi kirinya.
“Ada saatnya kalian kembali ke atas,” lanjut Paitun. “Pada saat yang tepat.”
“Pinasti?” Wilujeng mengerjapkan matanya.
“Ya,” angguk Paitun. “Pinasti juga.”
Wilujeng tersenyum kini. Pada akhirnya, harapannya akan berujung juga, walaupun waktunya belum tentu. Ada ucapan terima kasih terpancar dari dalam matanya. Paitun menanggapinya dengan senyum. Perempuan tua itu kemudian menunduk, meneruskan pekerjaannya yang terjeda. Sejenak ia menutup ruang pikirannya.
Suatu saat kamu akan tahu yang sebenarnya, Nduk...
Paitun mengerjapkan mata.
Suatu saat, pada waktu yang betul-betul tepat.
* * *
Sulit! Sulit sekali untuk memercayai penglihatannya. Selama beberapa jenak Kresna ternganga, hingga Pinasti meraih tangannya. Gadis muda itu menariknya menuruni bukit. Menuju ke sebuah danau kecil di lembah.
Mereka berdua sudah berada di tepinya kini. Danau itu sudah pasti luar biasa di mata Kresna. Sebuah danau di tempat antah berantah. Danau dengan air sangat bening sehingga bagian dasarnya terlihat jelas. Penuh dengan batuan warna-warni. Serupa dengan ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan kecil yang hilir mudik di dalam air.
Tapi yang membuat Kresna takjub sekaligus bergidik bukanlah danau itu, melainkan apa yang ada di seberangnya. Puluhan ajak tengah berkumpul di sana. Memenuhi benak Kresna dengan dengung-dengung tak jelas bagaikan gumaman sekawanan lebah.
Ia hendak menarik tangan Pinasti untuk segera kabur dari tepian danau, tapi Pinasti sudah lebih dulu melambaikan tangan dan berseru, “Hei! Teman-teman!”
Kawanan ajak itu menoleh. Segera saja dengung bersahut-sahutan menyerbu benak Kresna. Dua ekor ajak terbesar – walaupun tak sebesar Janggo - berwarna putih dan coklat kemerahan serupa Janggo berlari menyeberangi danau yang ternyata dangkal itu. Pinasti berlutut dan kedua ajak itu tenggelam dalam pelukannya.
‘Mana Janggo, Pin?’
‘Janggo tidur manis di rumah,’ Pinasti tersenyum lebar.
Kemudian ajak putih menengok dan menatap Kresna. Tanpa sadar, pemuda itu merapatkan tubuhnya ke arah Pinasti. Gadis itu kemudian tersadar, bahwa ia tak datang sendirian. Ia kemudian berdiri, dan meraih tangan Kresna.
“Ini Mas Kresna, abangku,” ucap Pinasti. Ia kemudian menoleh ke arah Kresna. “Yang putih ini namanya Bondet, yang seperti Janggo itu Sumpil. Keduanya pemimpin kawanan masing-masing. Sudah terpecah jadi beberapa kelompok, tapi Bondet dan Sumpil tetap pemimpin utama.”
Kresna hanya bisa terbengong. Ajak putih itu mendenging pendek tiga kali, kemudian melangkah mengelilingi Kresna dan Pinasti.
‘Hm... Rupanya kamu yang dicari mereka...’
“Mereka siapa?” mata Kresna seketika terbelalak.
‘Orang-orang itu, yang menuruni tebing.’
Tak berkedip, Kresna menatap Bondet. Ajak putih itu menyeringai sekilas. Ia kemudian menatap Pinasti.
‘Pin, kami kembali dulu. Salam buat Janggo.’
Pinasti mengangguk. Ia kemudian melambaikan tangan ketika Bondet dan Sumpil kembali menyeberang. Sesampainya kedua ajak itu di seberang danau, kawanan mereka bersahut-sahutan melolong. Kresna mendegut ludah dengan punggung seolah ditempeli satu balok besar es batu. Sekujur tubuhnya merinding sejadi-jadinya.
Sementara itu Pinasti bertepuk tangan dengan wajah riang. Ia menoleh, menatap Kresna.
“Mereka menyanyi untuk kita. Menyambut Mas,” ucap Pinasti dengan nada manis.
Membuat Kresna ternganga untuk kesekian kalinya.
* * *
Jadi mereka mencariku?
Kresna melangkah setengah tersaruk di sebelah Pinasti.
Setelah apa yang dilakukannya padaku?
Ada sebersit rasa sakit yang menghantam dadanya.
Bagaimana bisa dia tega melakukan ini padaku?
Hatinya masih diliputi kengerian. Teringat bagaimana perasaannya saat terlempar begitu saja dari atas tebing. Meluncur ke bawah sekian puluh meter. Gagal bertahan memegang sesemakan yang tumbuh di tebing. Kemudian terjebak begitu saja di sini. Dunia yang entah.
“Jadi, siapa yang mencelakai Mas?”
Suara halus itu membuat Kresna terlempar keluar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah adiknya. Mendapati gadis muda itu menatapnya dengan mata bening yang luar biasa indah. Sejenak Kresna merasa seperti tenggelam di dalamnya. Tapi ia kembali terlempar di permukaan ketika Pinasti mengerjapkan matanya.
“Dia...,” Kresna mendegut ludah. “Aku... tak tahu...”
Pinasti menggigit bibirnya. Ia mengalihkan tatapan. Keduanya melangkah kembali ke rumah, kembali dalam hening.
Sepanjang kebersamaan di tepi danau tadi, keduanya lebih banyak menikmatinya dalam hening. Ada banyak kejutan yang dialami Kresna. Membuatnya tenggelam dalam lautan tanya yang belum ada jawabannya. Sementara Pinasti lebih banyak diam.
Adik...
Kresna mengerjapkan mata.
Yang tak pernah kutahu dia masih ada. Apakah memang seperti ini rasanya memiliki seorang adik?
Pemuda itu menggeleng samar. Perasaannya benar-benar asing terhadap Pinasti. Tak pelak ada rasa dekat, tapi juga jauh. Sesuatu yang rasanya sulit sekali untuk menjelaskannya.
Segalanya masih terlalu samar untuk dimengerti. Apalagi ia memang belum menerima penjelasan apa-apa. Dihelanya napas panjang. Pondok Paitun sudah kelihatan. Ia sungguh-sungguh berharap ia akan mendapatkannya. Entah seperti apa caranya atau bagaimana ia akan memahami hal itu kelak.
Hal itu.
Serangkaian penjelasan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dik Pin, tolong jaga Masmu baik-baik, ya. Nuwun sewu.
BalasHapusNggiiih... 🙏
HapusMa kasi penghiburane mb Lis.
BalasHapusAq kemping gek sini lagi.
Macamah, Mama NitNit... Ngronda maning yak? 😁😁😁
HapusKadang asik juga kalau au lagi sibuk banget trus gak sempat nengokin lapaknya mbak Lis. Habis itu tinggal borongan aja baca cerbungnya dari awal sampai tamat, jadi nggak mati penasaran hi hi hi.
BalasHapusPinter tenan kok bikin penasaran mbak e ki
Hehehe... Cerbung yang ini mau borongan juga apa gimana nih bacanya? 😁😁😁
HapusLoo.. sesuk prei rek? 😕
BalasHapusHo'oh... Tapi wes dines maneh og... 😁😁😁
Hapus