Kamis, 24 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #6-4










* * *


Mahesa duduk diam menghadap sebuah meja bundar berbahan besi tempa bercat putih di halaman belakang rumah. Membiarkan cahaya matahari menghangatkan seluruh tubuh dan hatinya. Seperangkat meja dan kursi itu adalah saksi kebahagiaan mereka berempat bertahun-tahun lalu.

Hampir setiap akhir pekan atau hari libur, mereka berempat menikmati sarapan bersama di halaman belakang rumah. Di bawah hangatnya cahaya matahari. Kadang-kadang juga makan malam. Ditemani temaram cahaya lilin dan lampu taman. Tapi sejak kepergian Wilujeng, mereka bertiga yang tertinggal tak pernah lagi mengulangi ritual penuh kehangatan itu. Rasanya terlalu menyakitkan untuk mengingat saat-saat manis itu.

Tapi entah kenapa, kali ini Mahesa ingin duduk di sana. Mencoba merenungi apa yang belakangan ini terjadi padanya. Juga telepon yang diterimanya dari Samadi dini hari tadi. Harapan sekaligus prasangka yang begitu menyakitkan.

Dalam kedalaman mata Seta, ia tak menemukan apa pun kecuali luka yang sama dengan yang diusungnya. Ya, Seta memang pernah menjadi penyebab kepergian Wilujeng. Tapi tidak untuk kasus Kresna.

Prasangka itu begitu rapat membungkusnya hingga tak lagi bisa berpikir jernih. Baru tersadar ketika Seta menatapnya penuh air mata sembari berbisik, “Aku juga kehilangan Kresna, Yah...  Bukan aku yang melakukannya. Bahkan membayangkan atau berpikir untuk menyakitinya pun aku tak pernah...”

Kemudian keduanya berpelukan erat. Menangis bersama. Ia yang pada akhirnya tersadar bahwa harapan itu  masih ada. Kresna-nya masih bisa kembali. Dengan syarat.

Mahesa menghela napas panjang,  bersamaan dengan secangkir teh lemon terulur padanya. Ia mengangkat wajah. Seta duduk di dekatnya. Pelan, keduanya menyesap isi cangkir masing-masing.

“Sekali lagi, Ayah minta maaf, Seta,” gumamnya, penuh penyesalan.

Seta mengangguk. Tersenyum samar. Kesedihan masih menggantung di matanya. Tapi...

“Ya, aku mengerti, Yah,” ujarnya pelan. “Nggak apa-apa.”

Mahesa kembali menghela napas panjang.

* * *

Seutuhnya ia menyadari dan merasakan, ia tak pernah lagi jadi sosok yang sama di mata ayahnya. Cap sebagai seorang pembunuh kecil sudah menempel begitu saja di keningnya. Sekeras apa pun cara untuk melunturkan kenangan itu dari kehidupan mereka.

Ketika sang ayah belum juga bisa menerima dirinya secara utuh bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, Kresna-lah yang membuatnya mampu bertahan dan sedikit demi sedikit meretas semua rasa sakit dan penyesalan itu. Kresna adalah setengah jiwanya. Dan ketika setengah jiwa itu menghilang, yang ada dalam dirinya adalah sebuah ruang kosong yang sedemikian besarnya.

Ia tak lagi mampu berpikir apa-apa. Ruang kosong itu kini penuh dengan penyesalan dan ‘seandainya’. Seandainya ia tak berjalan tepat di belakang Yopie... Seandainya ia memilih untuk berada di dekat Kresna... Seandainya... Seandainya... Semua itu membuat benaknya pepat.

“Kresna masih hidup,” bisik Mahesa, nyaris tanpa suara.

Bisikan yang membuat Seta seketika terpental keluar dari lingkaran pikirannya sendiri. Ditatapnya Mahesa.

“Ada di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Kapan dia pulang?” diberondongnya sang ayah dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Tapi Mahesa menggeleng dengan wajah muram.

“Ada yang mencelakainya, Set,” gumam Mahesa, patah. “Kresna nggak terpeleset. Kita harus lebih dulu menemukan orang yang mencelakainya itu dan membuatnya mengaku. Baru Kresna bisa kembali.”

“Tapi siapa yang...”

Ucapan itu menggantung begitu saja di udara. Seta mendadak tertegun dan terhenyak.

Dia... Astaga! Benarkah?

Tanpa berkata apa-apa lagi Seta kemudian bangkit dan berlari ke arah garasi. Tak dipedulikannya seruan Mahesa memanggil namanya. Beberapa detik kemudian, ia sudah memacu motornya ke suatu tempat.

* * *

“Aku  minta maaf, Jeng,” ucap Paitun dengan sangat tulus, “yang sebesar-besarnya,”

Wilujeng mengerjapkan matanya yang kembali basah. Ia duduk diam  di atas balai-balai di beranda pondok. Suket Teki duduk di dekatnya. Mengulurkan cakar kanan depannya ke pangkuan Wilujeng. Perempuan itu menggenggam cakar putih Suket Teki, seolah ingin mencari kekuatan lebih.

“Sekali lagi, ini takdir,” lanjut Paitun, dengan nada suara sangat lembut. “Gusti sudah menetapkan demikian. Agar kamu membesarkan Pinasti dengan tanganmu sendiri. Memberinya semua yang dia butuhkan agar bisa menyesuaikan diri nantinya dengan suasana di ‘atas’. Tempatnya memang harus di ‘atas’, bukan di sini. Tapi bukan bersamamu.”

Air mata kembali menderas membasahi pipi Wilujeng. Paitun mengulurkan tangannya. Menyentuh dan meremas lembut bahu Wilujeng.

“Aku mengerti perasaanmu, Jeng,” bisik Paitun. “Seperti itulah yang kami rasakan setiap kali harus melepas kembali orang-orang yang memang sudah seharusnya kembali lagi ke ‘atas’. Tapi aku tidak akan membiarkanmu dan Pinasti menderita karena perpisahan itu. Aku akan menghapus sebagian ingatanmu dan Pinasti. Ingatan tentang ikatan ini. Juga menghapus sebagian ingatan Kresna akan tempat ini.”

Wilujeng masih terisak. Kali ini Suket Teki berdiri dengan kaki belakangnya. Kedua kaki depannya memeluk Wilujeng.

“Satu hal lagi yang harus kamu tahu,” Paitun kembali melanjutkan penjelasannya. “Semua yang terjadi pada kalian bukanlah tanpa alasan. Selalu ada benang merah atas semua peristiwa. Kali ini, benang merah itulah yang menghubungkan Pinasti dan Kresna, melalui dirimu. Karena sesungguhnya, Pinasti dan Kresna adalah belahan jiwa. Suatu saat nanti keduanya harus bersatu kembali. Tapi tidak sekarang, karena Pinasti masih terlalu muda. Juga tidak di sini, karena tempat mereka adalah di ‘atas’ sana. Dunia yang menjadi dunia kalian seharusnya.”

Seketika Wilujeng mengangkat wajahnya. Bibirnya ternganga saat tatapannya bertemu dengan tatapan Paitun yang begitu dalam. Penuh rahasia.

Saat itu, perasaannya mengatakan bahwa kedua buah hatinya sudah dekat. Ia menoleh. Mendapati bahwa Pinasti dan Kresna sudah mulai terlihat sosoknya. Tengah melangkah menyusuri jalan. Tanpa bisa menahan diri, Wilujeng berlari ke arah keduanya, dan begitu saja memeluk perawan suntinya. Erat. Sangat erat.

* * *

Tangan kukuh Kresna menyibakkan rumpun pakis raksasa yang menutupi mulut lorong dari luar. Bahasa tubuhnya menyiratkan agar Pinasti keluar lebih dulu. Perawan sunti itu pun memahaminya. Sejenak kemudian keduanya sudah berada kembali di Bawono Kinayung.

Kebersamaan mereka beberapa saat lalu selama puluhan menit rupanya belum mampu meruntuhkan dinding yang seolah terbangun begitu tinggi di antara keduanya. Ada debar jantung yang susah untuk dikendalikan. Ada perasaan dekat sekaligus jauh. Ada upaya untuk menguasai diri. Juga banyak pertanyaan yang seolah bertaburan di sekitar mereka.

Dalam hening, keduanya kembali melalui jalan berpasir halus itu. Sekilas Kresna melirik Pinasti. Perawan sunti itu masih mengenakan mahkota rangkaian bunga rumput warna-warni di kepalanya. Debar liar itu kembali muncul dalam dadanya. Debar yang belum pernah muncul saat ia bertemu dengan gadis mana pun di ‘atas’. Tapi sekali lagi, untuk kesekian kalinya, penolakan itu kembali muncul di hatinya.

Pinasti adiknya. Bisa jadi perasaan itu muncul karena mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tahu-tahu ia berhadapan dengan seorang perawan sunti cantik yang mampu menggoncangkan hati. Entah bagaimana nanti harus mengubah perasaan itu.

Mungkin Ibu atau Nini tahu...

Kresna menghela napas panjang.

Pondok Paitun sudah terlihat. Tapi, tanpa disangka-sangka, Wilujeng berlari menyongsong mereka. Seketika perempuan itu memeluk erat Pinasti. Dengan wajah bersimbah air mata.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
 

10 komentar: