Minggu, 20 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #5-2









Sebelumnya



* * *


Tiba-tiba saja Samadi terjaga karena rasa haus menyerang kerongkongannya. Ia melirik ke kiri. Tina masih terlelap dengan wajah damai. Pelan-pelan, ia beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar.

Di dapur, dituangkannya air dingin yang diambilnya dari kulkas ke dalam gelas. Direguknya sampai habis. Udara selewat tengah malam itu, entah kenapa terasa lebih gerah daripada biasanya. Tadi di kamar tidak begitu terasa karena kipas angin menyala cukup kencang. Dituangkannya segelas lagi air dingin, dan dibawanya ke kamar.

Kembali ia membaringkan tubuhnya. Tina sudah berubah posisi. Kali ini membelakanginya. Dengan hati-hati, dipeluknya Tina. Posisi yang membuatnya merasa damai dan nyaman. Pelan-pelan, alam mimpi kembali menguasainya.



Samadi mengerutkan kening ketika mendapati bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di sebuah tempat gelap yang hanya diterangi seberkas cahaya bulan. Ia mendongak. Dari sela-sela dedaunan semak, bulan menampakkan wajah penuhnya di langit. Samadi mengedarkan tatapannya berkeliling menembus remang.

Sepertinya ia mengenali tempat itu. Dinding tebing yang menjulang tinggi di belakangnya, rapatnya semak-semak dan pepohonan di depannya, udara dingin yang terasa pengap... Samadi tersentak.

Ia ada di salah satu jurang Gunung Nawonggo. Lebih tepatnya, jurang tempat korban jatuh dalam pencarian terkininya beberapa hari lalu. Dan, kali ini ia sendirian. Hanya ditemani serangga dan burung malam yang suaranya bersahutan. Sebelum ia memutuskan untuk berbalik, suara gemerisik dedaunan membuatnya membeku. Dan, ia makin membeku ketika melihat apa yang muncul dari balik semak di sekitarnya.

Lima ekor ajak melangkah perlahan keluar dari semak. Mengepungnya, hingga tanda sadar ia merapat ke punggung tebing di belakangnya. Ajak putih, yang ukurannya paling besar, mendengking pendek tiga kali. Lalu...

‘Kamu masih ingat padaku?’

Samadi ternganga ketika suara berat itu bergema di benaknya. Ditatapnya ajak putih itu dengan perasaan ngeri.

‘Jangan takut. Aku dan kawan-kawanku tak bermaksud jahat padamu.’

Samadi mendegut ludah. Mimpi apa ini???

‘Namaku Bondet. Kamu siapa?’

Sekali lagi Samadi mendegut ludah. Tenggorokannya mendadak saja terasa sakit.

“Samadi,” jawabnya dengan suara bergetar.

‘Nah, Samadi, apa hubunganmu dengan Kresna?’

“Kresna?” Samadi terbelalak.

‘Iya, Kresna,’ tatapan Bondet, si ajak putih, terlihat menyiratkan kekesalan. ‘Tempo hari kamu dan teman-temanmu turun ke sini untuk mencari Kresna, kan?’

“Ya... Ya...,” Samadi mengangguk. “Aku mendapat tugas untuk mencari pendaki bernama Kresna yang jatuh ke jurang ini. Tapi dia...”

‘Kresna tidak apa-apa,’ sergah Bondet. ‘Dia ada di tempat yang aman dan tangan yang tepat.’

Samadi menghela napas lega. Tapi...

“Di mana dia sekarang?”

‘Kamu tak perlu tahu. Tapi dia tak akan kembali kecuali pelakunya mengaku.’

“Pelaku?” Samadi mengerutkan kening.

‘Ya. Orang yang sengaja mendorongnya ke arah jurang. Orang yang berusaha membunuhnya.’

Samadi tercekat. Jadi perkiraan Yoga benar...

‘Hubungi ayahnya. Katakan padanya tentang pembunuhan itu. Minta padanya untuk mencari orangnya.’

Samadi tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Ajak putih bersama kawanannya pelan-pelan mundur.

‘Aku pergi dulu. Kembalilah ke atas.’

Sebelum Samadi menjawab, ajak-ajak itu sudah berkelebat pergi dan hilang dalam kegelapan. Ia pun berbalik dengan perasaan campur aduk. Begitu dilihatnya ada tali menggantung di dekatnya, ia buru-buru meraih tali itu, dan...



Samadi tersentak bangun. Napasnya tersengal dan keringat membasahi wajahnya.

Mimpi itu...

Seperti benar-benar hal nyata yang beberapa detik lalu memerangkapnya begitu saja. Samadi segera mengatur napasnya. Rupanya, Tina ikut terbangun karena merasa ada gerakan tak wajar di dekatnya. Perempuan itu menggeliat pelan.

“Jam berapa ini, Mas?” gumamnya.

Sekilas Samadi melirik jam dinding. “Jam empat kurang.”

“Mau apa bangun jam segini?” Tina menguap.

Samadi tak menjawab. Ia merebahkan tubuhnya kembali di samping Tina. Tapi sebelum berhasil memejamkan mata, sayup-sayup didengarnya suara lolongan panjang di luar sana. Samadi kembali tersentak bangun.

“Tin, dengar suara itu?” ia menggoyangkan sedikit tubuh Tina.

“Suara apa?” Tina balik bertanya dengan suara mengantuk.

Samadi mendegut ludah. Tapi sebelum ia kembali berbaring, ada suara berat yang menembus benaknya.

‘Hubungi ayah Kresna sekarang!’

Samadi hampir kehilangan kesadaran. Suara itu...

Dengan perasaan mengambang, ia kemudian meraih ponselnya dan keluar dari kamar. Jemarinya sedikit gemetar ketika menyentuh layar ponselnya.

Jadi itu tadi bukan sekadar mimpi?

Diam-diam Samadi bergidik. Bulu kuduknya meremang, Dan, ia menghela napas lega begitu mendengar sahutan dari seberang sana.

* * *

Sepanjang perjalanan itu ia gelisah. Diliriknya berkali-kali Kresna yang asyik mengobrol dan bercanda. Sementara ia lebih banyak diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri.

Keinginan itu kembali mencengkeramnya. Erat. Keinginan untuk melenyapkan Kresna supaya pesaingnya tidak ada lagi. Lalu, pikirannya melayang pada sesosok gadis cantik berambut ikal panjang bernama Lavia. Gadis yang sudah lama memenuhi pikirannya. Sejak mereka pertama bertemu di bangku kuliah.

Tapi sayangnya, gadis cantik yang satu itu sebelah mata pun tak pernah meliriknya. Desas-desus mengembuskan angin gosip, bahwa sebetulnya Lavia menyukai Kresna. Kenyataannya, ia memang ‘kalah kelas’ bila harus dibandingkan dengan Kresna. Dan, yang membuatnya lebih sakit hati adalah fakta bahwa Kresna sama sekali tak pernah peduli pada Lavia.

Ya, Kresna memang selalu berlaku baik pada siapa pun, apalagi terhadap para gadis. Tapi semuanya sama rata. Tak ada yang dianggapnya istimewa, termasuk Lavia.

Betapa sakit hati dan kecewanya Lavia, ia tak pernah mampu membayangkan. Lalu, ia berusaha mendekati Lavia. Berusaha memenangkan sedikit demi sedikit hati gadis itu. Sayangnya, Lavia tak seutuhnya bisa berpaling. Ya, mereka jadi dekat. Tapi hanya sebagai teman baik. Tak bisa lebih. Bahkan bicara tentang rasa hatinya pada Kresna pun Lavia tak pernah.

Kini, mereka bertujuh sedang dalam perjalanan untuk menggapai puncak Gunung Nawonggo. Bukan pendakian pertama, tapi kini mereka memilih jalur lain yang jauh lebih menantang. Ia yang mengusulkan jalur itu. Jalur ‘neraka’ tapi indah yang penuh dengan jurang menganga di kiri-kanan. Jurang-jurang dalam yang entah berisi apa di bawah sana.

Dua buah SUV milik Yopie dan Rizal sudah terparkir rapi di halaman luas sebuah rumah penduduk setempat, di bagian selatan kaki Gunung Nawonggo. Mereka bertujuh pun bersiap untuk melakukan pendakian. Izin untuk mendaki dari pemangku hutan setempat sudah ada di tangan. Perbekalan pun sudah diperiksa ulang dan lengkap. Pengalaman sudah lebih dari cukup.

Biasanya ia yang berada paling depan. Tapi kali ini ia membiarkan Yopie melakukan tugasnya untuk memimpin rombongan. Di antara mereka bertujuh, hanya Yopie seorang yang punya pengalaman mendaki Gunung Nawonggo dari jalur selatan. Maka, ia memilih untuk berjalan di belakang. Tidak paling belakang, karena masih ada Kresna tepat di belakangnya.

Pos demi pos mereka lalui dengan mulus. Menjelang pukul dua siang, mereka mulai mendirikan tenda di dataran kecil di tepi jalur, tak jauh dari pos kedua sebelum pos terakhir. Beristirahat untuk memulihkan tenaga. Rencananya, mereka akan mendaki lagi nanti selepas gelap, karena ingin menikmati indahnya matahari terbit esok hari di puncak Gunung Nawonggo. Apalagi malam ini bulan purnama akan bersinar penuh. Sinar redupnya pasti akan membantu pendakian mereka.

Dan, gelap pun menjelang. Mereka berkemas. Tenaga pun sudah dipulihkan. Posisi mereka tak berubah. Tapi ia menimbang-nimbang lagi keinginannya.

Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau Kresna siaga dan tidak jadi terjun bebas? Bagaimana...? Bagaimana...? Bagaimana...?

Sayangnya keinginan itu menguat pada langkah demi langkah. Dengan sabar ditunggunya hingga pos terakhir terlampaui. Menurut pengamatannya dari banyak jurnal tentang Gunung Nawonggo, jurang pada titik-titik itu makin dalam. Tentunya...

Pikiran itu terus merangsek. Pada saat yang ‘tepat’, ia pun berbalik dan sekuat tenaga mendorong tubuh Kresna ke arah jurang. Teriakan Kresna yang terus melayang jatuh menjadi alibi baginya untuk pura-pura baru menyadari bahwa Kresna baru saja terjun bebas ke dalam jurang.

Kepanikan pun melanda kelompok itu, dan ia turut melarutkan diri di dalamnya. Seraya hatinya berharap, semoga Kresna tidak selamat...

* * *

Seta tergeragap tiba-tiba. Suara gaduh membuatnya terjaga. Ada yang membuka pintu kamar dengan sangat kasar dari arah luar. Belum sempat ia mengerjapkan mata, sebuah terjangan sudah menerpanya. Ketika ia membuka mata, dilihatnya Mahesa sudah mencengkeram bahunya dan mengguncang sekeras-kerasnya. Suara Mahesa pun menggelegar memenuhi kamar itu dari sudut ke sudut.

“KAMU YANG MENDORONG KRESNA JATUH KE JURANG, KAN?! KAMU YANG MEMBUNUHNYA, KAN?! KAMU! Kamu! Kamu...”

Cengkeraman Mahesa mengendur bersamaan dengan melemahnya suara menggelegarnya. Lalu terlepas bersamaan dengan laki-laki itu merosot ke lantai dan tersimpuh di sana. Kedua telapak tangan Mahesa menutup wajah. Laki-laki itu menangis tersedu-sedu.

Seta yang masih membeku karena rasa kaget yang luar biasa pelan-pelan memperoleh kesadarannya kembali. Ia bangun. Tangannya terulur. Ragu-ragu disentuhnya bahu Mahesa.

“Maafkan... aku, Yah...,” bisiknya terbata. “Aku... tak bisa... menjaga Kresna... Maafkan aku...”

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

6 komentar:

  1. Aduh capslock-nya bikin saya ikut melek 😂

    BalasHapus
  2. Koyoe kape dibanting meneh iki critoe kambek sutradarae. Wado ....... Melok kecanduan harah ! Wkkkkkkkkkk

    BalasHapus