Jumat, 11 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #2-1











* * * 


Dua
Sunyi di Bilik Rasa


Perasaan Seta seolah menggeliat tak tentu arah ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Mahesa. Ada rasa sakit dan kemarahan luar biasa meluap keluar dari sorot mata ayahnya itu. Rasa sakit dan kemarahan yang auranya mengudara dalam senyap. Seta mengalihkan fokus pandangannya. Kali ini ke arah lantai.

‘Bagaimana bisa?’ adalah satu-satunya kalimat tanya yang digumamkan Mahesa. Dengan nada pedih yang luar biasa. Membuat Seta terhenyak dalam sunyi.

Pencarian sudah dimulai beberapa jam yang lalu. Hasilnya tentu saja belum ada. Perlu waktu sekian jam untuk sampai ke titik bibir jurang tempat jatuhnya Kresna. Mereka hanya bisa menunggu di salah satu pos tim penyelamat di kaki Gunung Nawonggo.

Mahesa mengalihkan tatapannya dari sosok Seta. Berbagai perasaan muncul dan bergumul dalam hatinya. Yang paling kuat adalah perasaan khawatir sekaligus pesimis. Ia tahu sedalam apa jurang-jurang di Gunung Nawonggo. Sekuat apa pun Kresna, bila harus terperosok ke kedalaman itu, apa yang bisa terjadi? Membayangkan itu, ada yang terasa menyentak hati Mahesa.

Kehilangan lagi?

Pahit terasa menyekat tenggorokan dan benaknya.

Tiga belas tahun berlalu masih terasa seolah kemarin. Titik waktu ketika ia harus kehilangan perempuan yang sangat dicintainya dan calon bayi ketiga mereka. Titik waktu ketika Seta dan Kresna harus kehilangan ibu dan calon adik mereka. Titik paling menyakitkan dalam hidupnya.

Jauh di dalam hatinya, ia merasa bahwa Wilujeng masih ada. Jasadnya memang tak pernah ditemukan, tapi ia telanjur memberi ruang dalam lipatan hatinya untuk kehadiran Wilujeng. Memelihara senyum dan cinta Wilujeng. Mengabadikan sosok Wilujeng. Tak pernah ia membuka ruang lain. Membuatnya bisa membesarkan Seta dan Kresna dengan tangannya sendiri.

Dan sekarang?

Mahesa tertunduk. Dibiarkannya air mata menetes tak terkendali di pangkuannya. Ia hanya diam ketika sebuah sentuhan terasa di bahunya. Ia juga hanya membisu ketika sebuah bisikan menggema di telinganya.

“Maafkan aku, Yah. Aku nggak bisa jaga Kresna dengan baik.”

Tapi sebuah kemarahan kemudian meletup begitu saja setelah beberapa jenak.

“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?” desisnya dengan nada murka.

Seta menciut di sebelahnya.

Ya, apa yang aku bisa lakukan?

* * *

Samadi pelan-pelan turun dengan tali panjang yang terulur dari atas. Di sebelahnya ada Yoga. Terikat pada tali lain.

Walaupun merasa pesimis, tapi ia dan tim harus tetap menjalankan tugas. Sebesar apa misteri yang tersimpan dalam perut-perut lembah Gunung Nawonggo, ia paham seutuhnya.

Sudah tak bisa dihitung dengan jari tangan, berapa kali ia tergabung dalam tim pencarian korban celaka di Gunung Nawonggo. Terkadang berhasil, dengan menemukan korban yang sudah dingin dan kaku, ataupun korban masih hidup dengan luka sangat parah. Terkadang juga pencarian memunculkan korban selamat dengan luka sekadarnya dalam keadaan setengah linglung beberapa hari kemudian. Korban yang seolah-olah muncul dari keremangan kabut yang sering menyelimuti Gunung Nawonggo. Tapi lebih sering lagi, pencarian tak membuahkan hasil apa-apa. Korban bagai lenyap ditelan bumi.

Atau mungkin sudah lebih dulu disergap dan disantap binatang buas...

Lolongan panjang yang menggema dari dasar jurang Gunung Nawonggo, Samadi pernah mendengarnya. Bahkan sering. Saat ia bersama tim terpaksa harus menginap dalam kegelapan hutan untuk melanjutkan pencarian keesokan paginya. Tapi seperti apa bentuk hewan buas itu, ia tak pernah tahu. Tak pernah ingin tahu. Sepertinya anjing hutan. Hewan yang wajar menghuni kedalaman lembah Gunung Nawonggo. Hewan yang belum pernah ditemuinya saat ia melakukan pencarian di bawah. Entah di mana sarangnya.

Sambil terus turun, Samadi mengamati medan di sekitarnya. Ada beberapa bekas semak yang tercabut dari dinding jurang. Ia menoleh pada Yoga.

“Sepertinya benar dia terjatuh di sini,” ucapnya.

Yoga menoleh sekilas. “Jujur, aku pesimis.”

Samadi diam. Tapi ia merasakan hal yang sama dengan Yoga. Jurang yang mereka turuni kali ini paling tidak dalamnya tujuh puluh meter. Dengan bagian dasar lembap karena jarang tersentuh sinar matahari.

“Eh, Sam...”

Samadi menoleh. “Ya?”

“Aku nggak yakin korban terpeleset,” ujar Yoga. “Nggak ada tandanya di bibir jurang. Lagipula semalam purnama. Cukup terang di kegelapan jalur pendakian.”

“Maksudmu, korban sengaja dicemplungkan ke jurang oleh teman-temannya, begitu?”

“Aku nggak bilang gitu,” Yoga mengelak.

“Arah bicaramu menjurus,” gerutu Samadi. “Sudahlah, tugas kita mencari. Ketemu atau tidak, ketemu dalam kondisi apa pun, tugas kita cuma mencari dan mengusahakan evakuasi.”

Mereka berdua sudah sampai di dasar jurang. Kaki mereka menjejak rontokan dedaunan yang terasa empuk, bercampur dengan lumut. Udara terasa cukup dingin, namun sedikit pengap. Dengan mata tajam, mereka mengamati sekeliling.

Dasar jurang itu penuh dengan semak. Bahkan ada beringin di dekat tempat mereka turun yang tumbuh pada tebing. Akarnya meliuk-liuk tak tentu arah, dan akar gantungnya menjuntai-juntai. Bercampur dengan liukan batang pohon akar raga sakti. Suasana yang menimbulkan suasana seram justru karena begitu heningnya. Angin pun seolah mati raga. Sinar matahari pun sepertinya tak cukup bisa menerangi tempat itu. Cahaya hanya menerobos pada satu titik sempit, sekitar tempat mereka menjejakkan kaki.

Nihil. Tak ada tubuh yang mereka temukan di sekitar titik mereka turun. Samadi dan Yoga kemudian memutuskan untuk mencari dalam radius dua puluh meter. Tak bisa lebih, karena semak dan pepohonan terus merapat.

Beberapa menit kemudian tim berikutnya turun. Mereka berlima kini. Berembuk menentukan langkah apa yang harus diambil.

“Secara logika,” ucap Jamil, “minimal Kresna terluka. Nggak mungkin jauh dari sini.”

“Lagipula mau ke mana?” timpal Munawar. “Kondisi rapat begini.”

“Mereka bilang dengar lolongan dari arah bawah sini,” gumam Samadi.

“Mereka nggak bohong,” tukas Yoga pelan. “Aku lihat ada jejak binatang di tanah basah sebelah sana. Seperti jejak anjing, tapi ukurannya lebih besar. Menghilang di tumpukan dedaunan rontok.”

“Kita ini sasaran empuk,” ujar Munawar. “Ini habitat anjing hutan. Mereka bisa ada di mana saja di sini.”

“Dan mungkin Kresna sudah habis,” celetuk Yoga.

“Tapi nggak ada bekasnya sama sekali,” Samadi menggeleng. “Bahkan bekas seretan tubuh pun nggak ada.”

Saat mereka masih berdengung membicarakan kemungkinan yang terjadi, tiba-tiba saja ada sahutan di sekeliling mereka. Dengking pendek-pendek, terdengar nyaris dari segala arah.

“Kik... Kik...”

“Kik... Kik... Kik....”

“Kik... Kik...”

Serentak mereka mundur dan merapat ke arah tebing. Dari balik semak di sekitar mereka, muncul sekurang-kurangnya tiga ekor ajak. Binatang itu menyeringai dengan wajah garang.

Gusti Allah... Paringono slamet...,” gumam Munawar dengan bibir bergetar.

‘Kembalilah ke atas.’

Jantung Samadi hampir berhenti ketika suara berat itu menggema di benaknya. Tatapannya bersirobok dengan tatapan seekor ajak putih yang berada tepat di hadapannya. Sepertinya pemimpin gerombolan itu.

‘Sekarang!’

Tak ada pilihan lain. Apalagi ketika muncul lagi dua ekor ajak, dan kelimanya kini mengelilingi mereka yang makin merapat ke tebing.

“Kita naik,” ujar Samadi pelan, dengan suara sedikit bergetar. “Sekarang!”

Tanpa banyak berpikir kelima orang itu pun meraih tali masing-masing dan mulai merambat naik. Tak ada keberanian untuk menoleh ke bawah, memastikan apakah kawanan ajak itu masih ada ataukah sudah pergi. Tapi rasa-rasanya, kawanan ajak itu masih menunggu.

Ketika mereka sudah berada lima meter dari bibir jurang, terdengar lolongan panjang bersahutan dari arah dasar jurang. Membuat tim yang menunggu di atas terhenyak. Kemudian paham seutuhnya ketika Samadi dan kawan-kawan muncul dengan tangan kosong.

Lalu, sunyi...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

9 komentar:

  1. Yeaayy terbit lagi 👍👍👍

    BalasHapus
  2. Aku jan melu deg2an ki dik. Aduh .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aq sekarang bacae lek ga kedisikan bu Tiwi ya kedisikan papae arek2 wkwkwkwkwkwk
      Jempol soro to the max pokoe cerbung seng iq mb Lis !

      Hapus
    2. Mpun deg-degan, Mbak Tiwi. Balapan kalih Jeng Nita mawon, hehehe... 😘💕

      Matur nuwun rawuhipun, Mbak-Mbak cuantiiik... 🙏

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih singgahnya ya, Mbak Tiest... 🙏💕

      Hapus