Sebelumnya
* * *
Lilin kehidupannya seolah padam. Mahesa tak tahu apakah ia masih sanggup menjalani kehidupannya lebih lanjut. Tim penyelamat sudah mengambil kesimpulan, Kresna hilang di dasar jurang. Tubuhnya tak bisa diketemukan. Pencarian tak bisa dilanjutkan karena kondisi di dasar jurang sangat berbahaya. Ada kawanan ajak. Berbahaya betul atau tidak, kawanan itu tetaplah hewan liar yang patut diwaspadai.
Mahesa menghela napas panjang. Terasa berat. Tiga belas tahun belakangan ini, kehidupannya sudah remang-remang. Antara keyakinan dan kenyataan sungguh jauh bertolak belakang. Hanya anak-anaklah yang menjadikannya jauh lebih kuat. Terutama Kresna.
Sedangkan Seta?
Mahesa kembali menghela napas panjang.
Jauh di lubuk terdalam hati, ia sungguh ingin menyayangi keduanya secara adil. Bagaimanapun keduanya adalah darah dagingnya sendiri bersama Wilujeng. Kembar identik, dengan watak sangat berbeda.
Pada awalnya ia menerima perbedaan watak itu. Sangat menerima. Tapi sejak kejadian itu, sekeras apa pun usahanya untuk ikhlas, tetap saja ada yang berubah dalam cara pandangnya terhadap Seta dan Kresna. Dan, ia sungguh tak berdaya melawannya.
Bagaimanapun Wilujeng dan si kecil hilang karena Seta. Seandainya dia bisa sedikit lebih manis dan bisa duduk diam, mungkin...
Mahesa mengerjapkan matanya yang diam-diam membasah. Pedih hatinya tak terkira bila terpaksa harus mengingat momen itu. Momen di mana mereka harus kehilangan Wilujeng dan si kecil dalam kandungan Wilujeng.
“Yah...”
Terdengar ketukan di pintu, diikuti panggilan Seta.
“Sarapan dulu, Yah...”
Tapi ia memutuskan untuk diam. Hanya duduk dalam hening di dalam ruang kerjanya. Bersila di atas lantai di depan sebuah meja pendek dengan foto Wilujeng berada di atasnya. Wilujeng-nya yang cantik. Wilujeng-nya yang segar dan penuh energi. Wilujeng-nya yang memancarkan tatapan dan senyum penuh cinta. Biasanya hanya foto Wilujeng yang terpajang. Tapi kini foto itu tak sendirian. Foto Kresna menemaninya dalam sunyi.
Dengan tangan gemetar, Mahesa menyalakan sebatang lilin putih. Ditatapnya cahaya yang berkelip di ujung lilin itu. Berharap asap tipis lilin yang membumbung ke atas bisa menyampaikan kerinduannya pada Wilujeng, di mana pun istri tercintanya itu kini berada. Juga sebait doa untuk Kresna, putra yang sangat dikasihinya.
* * *
Badan Kresna terasa sedikit lebih segar setelah Wilujeng menyekanya. Ia tak lagi telanjang bulat di bawah selimut. Wilujeng menemukan pakaian dalam, sehelai celana pendek, dan kaus oblong di dalam ransel yang ditemukannya di dekat tubuh Kresna di dasar jurang. Baju itulah yang kini dipakai Kresna. Pemuda itu berbaring setengah bersandar di pembaringan
“Setelah ini kamu sarapan dan minum ramuan yang sudah dibuatkan Nini,” ujar Wilujeng seraya membereskan baskom dan handuk. “Biar Nini cepat mengurut kakimu.”
Bersamaan dengan Wilujeng menjangkau handel pintu, pintu itu sudah terbuka dari luar. Paitun masuk dengan membawa sebuah mangkuk kecil terbuat dari tempurung kelapa. Di belakangnya ada Pinasti, membawa sebuah piring terbuat dari tanah liat beralaskan daun jati, dengan makanan berada di atasnya. Gadis itu meletakkan bawaannya di atas meja bambu dekat pembaringan.
“Kamu temani Mas dulu, ya, Nduk,” ucap Wilujeng.
“Iya, Nini juga mau siapkan ramuan buat mengurut kaki masmu,” timpal Paitun.
Beriringan kedua perempuan itu keluar dari kamar. Setelah pintu tertutup, sejenak hening menyelimuti ruangan sempit itu. Pada satu detik, Kresna dan Pinasti saling menatap. Sunyi. Asing. Sebelum Pinasti mengerjapkan mata indahnya. Membuat Kresna tersadar.
“Mm...,” gumam Kresna. “Aku dulu senang sekali ketika tahu mau punya adik. Tapi sayangnya...,” ia tak sanggup meneruskan ucapannya.
Pinasti mengalihkan tatapannya dari wajah Kresna. Tangannya kemudian menjangkau piring di atas meja. Disodorkannya piring itu pada Kresna.
“Makan dulu, Mas,” ucapnya halus.
Makanan biasa..., dalam hati Kresna merasa lega karena tak harus makan yang aneh-aneh. Diterimanya piring berisi nasi merah dan sayur hijau berkuah sedikit kental yang mengandung potongan-potongan sesuatu berwarna putih itu sambil mengucapkan terima kasih.
“Ini sayur apa?” tanya Kresna sambil menyuapkan sesendok nasi dan sayur ke dalam mulutnya.
“Daun kelor, jamur barat, dan sarang burung walet,” jawab Pinasti singkat.
“Enak...,” gumam Kresna. Walaupun rada aneh...
Pinasti tersenyum sedikit. “Aku yang masak tadi.”
Seketika Kresna menghentikan gerakan tangannya. Ditatapnya Pinasti dengan perhatian penuh.
“Kamu?” sedikit rasa tak percaya bersemburat dalam sorot mata Kresna.
Kening Pinasti sedikit berkerut. “Iya. Kenapa?”
Kresna menggeleng samar. “Nggak apa-apa. Enak, kok. Enak banget.”
Dalam waktu singkat, dihabiskannya makanan itu. Sambil tersenyum, Pinasti menerima piring kosong dari Kresna. Sambil meletakkan piring itu kembali di atas meja, Pinasti meraih tempurung kelapa yang tadi dibawa Paitun.
“Kata Nini, Mas harus menghabiskan ramuan ini,” ujar Pinasti dengan nada manis. “Biar Mas cepat sembuh dari dalam. Tapi...”
Kresna menatapnya dengan sorot mata bertanya.
“Mm...,” lanjut Pinasti sedikit meringis, “... Rasanya luar biasa tak enak.”
Kresna pun tanpa sadar mengikuti ekspresi Pinasti.
“Tapi aku bisa menutup sedikit indera perasa dan penciuman Mas,” Pinasti menyodorkan tempurung kelapa berisi cairan pekat berwarna hijau tua kehitaman itu. “Itu juga kalau Mas mau.”
Kresna terbengong sejenak. Ia baru tersadar ketika dilihatnya Pinasti masih menatapnya.
“Wow! Gimana caranya?” Kresna mengerjapkan mata.
“Sini, tangan kanan Mas,” kata Pinasti sambil meletakkan kembali tempurung kelapa ke atas meja.
Dengan patuh, Kresna mengulurkan tangan kanannya. Pinasti menarik napas panjang sebelum mengambil tangan Kresna. Setelah meraba sejenak, dengan sangat lembut tapi kuat ditekannya satu titik pada telapak tangan Kresna dengan telunjuk kanan, tepat di tengah garis tangan. Beberapa detik kemudian gadis itu menggerakkan tangan kirinya di depan hidung Kresna.
“Bau apa?” tanya Pinasti.
Kresna menggeleng. Ia memang tidak membaui apa-apa. Dengan cepat Pinasti melepaskan tekanan telunjuknya, kemudian meraih tempurung kelapa di atas meja. Disodorkannya ramuan itu pada Kresna.
“Cepat minum, Mas,” tegasnya. “Ini cuma bertahan tak sampai satu menit.”
Dengan sekali tenggak, ramuan itu pun meluncur ke dalam mulut dan kerongkongan Kresna. Benar-benar tak berasa dan berbau. Dengan puas Pinasti menatapnya. Diterimanya kembali tempurung kelapa itu dari tangan Kresna.
Tanpa berkata apa-apa, gadis muda itu kemudian membereskan bekas tempat makan dan minum Kresna. Ketika ia akan beranjak, Paitun kembali ke kamar itu dengan membawa tempurung kelapa lain di tangannya.
“Kamu taruh di belakang dulu, Pin,” ujar Paitun sembari duduk di ujung pembaringan, dekat kaki Kresna. “Setelah itu kamu kembali ke sini, ya?”
“Baik, Ni,” ucap Pinasti patuh.
Paitun memeriksa kondisi pergelangan kaki Kresna sambil menunggu Pinasti kembali. Perempuan tua itu tersenyum puas ketika melihat bahwa bengkak di bagian terkilir itu sudah mengempis walaupun masih lebam kebiruan. Tak berapa lama Pinasti muncul lagi.
“Apa lagi, Ni?” tanyanya halus.
“Mm...,” Paitun menatap Kresna, tepat di manik mata. “Urutanku agak menyakitkan. Kira-kira kamu kuat atau tidak?”
Kresna mengerutkan kening. Sesungguhnya ia tak tahu apa-apa soal ini. Tak juga bisa membayangkan akan seperti apa sakitnya. Sebelum ia menjawab, Paitun sudah menjangkau kaki kirinya, dan tangan perempuan itu mulai bekerja.
Pada gerakan pertama, Kresna sudah mengerang keras karena tak bisa lagi menahan nyeri. Paitun menghentikan kegiatannya. Ia menoleh pada Pinasti.
“Kurangi rasa sakit masmu, Nduk,” perintahnya halus.
Pinasti pun mengangguk. Gadis itu pun duduk di tepi pembaringan. Diraihnya tangan kanan Kresna. Kedua telapak tangan mungilnya kemudian menggenggam erat tangan Kresna. Perlahan, Kresna merasakan aliran kehangatan bergerak di sekujur tubuhnya. Pada satu detik, ada sedikit sengatan yang dirasakannya. Tapi sama sekali tidak menyakitkan. Pinasti pun sepertinya merasakan hal yang sama.
“Sudah, Ni,” ucapnya tanpa menoleh ke arah Paitun. “Sudah siap.”
Kresna yang tadinya tak berkedip menatap Pinasti, kini mengalihkan arah pandangnya pada Paitun. Perempuan itu sudah melanjutkan kerja tangannya. Kresna mendesis ketika nyeri masih dirasakannya. Hanya saja, sudah tak sesakit sebelumnya.
Tanpa sadar ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Pinasti. Segera saja semburan rasa hangat terasa kembali mengaliri seluruh tubuhnya. Lebih hangat daripada sebelumnya. Nyeri itu makin berkurang. Masih ada, tapi hampir tak terasa. Ia aman hingga Paitun menyelesaikan urutan itu.
Pelan-pelan Pinasti melepaskan genggaman tangannya. Paitun pun bangkit dari duduknya. Ditatapnya Kresna dengan serius.
“Dalam dua-tiga hari ini, kamu akan bisa berjalan lagi,” senyum Paitun. “Tapi pelan-pelan dulu. Jangan coba-coba langsung jumpalitan tak keruan.”
Kresna membalas senyum itu. Kendati masih terasa sangat asing, tapi ia bisa menangkap aura ramah tempat itu dengan mata hatinya. Paitun kemudian membantunya berbaring kembali.
Tepat saat itu telinganya menangkap dengking pendek-pendek yang berasal dari luar pondok. Ruangan itu pun mendadak jadi makin remang. Ia menoleh, mencari sumber suara itu. Dan, jantungnya serasa hampir copot ketika melihat apa yang ada di luar jendela. Pun, ia nyaris lupa bernapas.
Sesosok makhluk berbulu coklat kemerahan tampak mengintip dari luar jendela. Mirip serigala, cukup besar sehingga setengah tubuhnya hampir menutupi seluruh ruang pandang yang dibatasi bingkai, dan terlihat sangat menyeramkan.
“Tak perlu takut, Mas,” ucap Pinasti lirih, sambil beranjak. “Dia Janggo, sahabatku.”
Seketika Kresna ternganga. Tanpa menunggu tanggapan lanjut dari Kresna, Pinasti pun berpamitan pada Paitun. Lalu, keduanya beriringan keluar dari ruangan. Kresna menghela napas berkali-kali untuk menormalkan kerja paru-paru dan jantungnya.
Ya, Tuhan... Tempat apa ini?
Kresna bergidik. Tepat saat itu ada suara yang menggema di benaknya. Suara bernada teguran tegas.
‘Sudah! Nggak usah mikir macam-macam! Kamu istirahat. Tidur. Nanti kalau pekerjaan Ibu sudah selesai, Ibu temani kamu.’
Kresna mendegut ludah. Pelan-pelan, ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Tak lagi berani berpikir apa-apa. Tapi ada perasaan aman dan nyaman yang menyusup di hatinya.
Ada Ibu. Aku nggak akan kenapa-napa.
Dan, ia pun mulai memejamkan mata.
* * *
My simple breakfast 👍🍴 Asik ad lg besok
BalasHapusMakasih mampirnya ya... 🙏💕
Hapus