Sebelumnya
* * *
Wilujeng menciumi sehelai kaus oblong Kresna yang semalaman dipakai pemuda itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun menyisihkan kaus itu dari tumpukan baju yang hendak dicucinya.
Mungkin tak akan berguna bagiku, tapi buat Pinasti...
Perempuan itu mengerjapkan mata. Kaus yang disisihkannya tadi masih menyisakan aroma harum musk deodoran yang selalu dipakai Kresna. Sudah tak murni lagi karena berbaur dengan sisa aroma tubuh pemuda itu. Justru itu yang menimbulkan ‘aroma khas Kresna’, yang semoga saja masih berguna bagi Pinasti.
Segera diselesaikannya pekerjaan mencuci baju itu. Saat menjemur baju terakhir, ada rangkaian dengking pendek yang terdengar makin mendekat. Wilujeng menoleh sekilas.
‘Cari Emak, Bon?’ sambut Wilujeng ramah. ‘Emak sedang ke ladang.’
‘Oh... Kalau begitu aku titip pesan saja, Mbak,’ sahut Bondet. ‘Sudah kusampaikan pesan Nini pada Kang Saijan.’
‘Baiklah,’ senyum Wilujeng. ‘Terima kasih banyak.’
‘Mm... Setelah Kresna, berikutnya Mbak Jeng,’ suara berat Bondet terdengar seperti gumaman. ‘Lalu Pinasti. Bawono Kinayung akan kembali sepi...’
Wilujeng menghela napas panjang. ‘Emak bilang, selalu ada orang baru, Bon. Semoga kamu bisa berteman juga dengannya.’
‘Janggo pasti akan kehilangan Pinasti.’
Wilujeng kembali tersenyum. Menggeleng. ‘Tidak. Janggo tidak akan kehilangan Pinasti.’
‘Hm... Nini selalu punya cara,’ Bondet menggeleng samar.
Tak lama kemudian ajak putih itu pun berpamitan. Wilujeng melepasnya dengan lambaian tangan.
* * *
Matahari sudah menggelincir ke barat. Menghilang di balik punggung jajaran tebing tinggi di seberang padang bunga. Diam-diam Kresna mendesah.
Pada ujungnya, hari indah ini harus berakhir juga.
Pemuda itu menghela napas sambil tertunduk. Pelan, Pinasti mengulurkan tangan. Digenggamnya hangat jemari Kresna.
“Kita pulang, Mas,” bisiknya.
Kresna hanya bisa mengangguk. Ia meraih keranjang rotan yang sudah rapi dan ringan. Beriringan keduanya menuruni gundukan tanah berumput itu, kemudian melangkah mendekati bibir cerobong yang menyerupai sumur bila dilihat dari luar. Pinasti melongokkan kepalanya ke dalam cerobong itu.
“Nyai Padma yang baik, bolehkah kami turun sekarang?” suara Pinasti menggema lembut dalam cerobong itu.
Tak butuh waktu lama, dari arah dasar cerobong muncul sehelai daun teratai lebar yang seolah melayang. Pinasti meraih tangan Kresna, dan keduanya pun melangkahi bibir cerobong. Dalam hening, keduanya berdiri di atas daun teratai itu. Pelan-pelan, daun itu melayang turun hingga kembali ke dasar cerobong.
“Terima kasih, Nyai Padma yang baik,” ucap Pinasti sebelum melompat ke daun teratai lain.
Sama seperti pagi harinya, Pinasti dan Kresna melompat-lompat dari satu daun teratai ke daun lainnya untuk melintasi dasar cerobong, hingga sampai di mulut lorong. Lalu, keduanya melintasi lorong hingga sampai ke hutan bambu kuning.
Sampai di tengah jembatan kecil, mendadak saja Kresna berhenti. Pinasti pun turut membekukan langkahnya. Ia menoleh. Dilihatnya Kresna seperti tercenung dalam diamnya di tengah remang menjelang senja. Pada satu titik, pemuda itu seperti tersadar. Ia mengangkat wajah dan menatap Pinasti.
“Ini... senja terakhirku di sini,” Kresna mendegut ludah. “Aku... bolehkah aku... memelukmu, Pin?”
Pinasti tercenung sejenak sebelum mengangguk dengan wajah ragu-ragu. Hanya dalam waktu sepersekian detik, tubuh mungilnya sudah tenggelam dalam pelukan hangat Kresna.
Pinasti memejamkan mata ketika rasa itu menghampirinya lagi. Nyaman, damai, tenteram. Pelan, ia mengangkat kedua lengannya. Balas memeluk Kresna. Jantungnya mulai berdetak makin kencang. Dan, tanpa bisa dikendalikan lagi, getaran dari dalam dirinya muncul dan menguat begitu saja. Meloncat keluar dalam bentuk sengatan yang membuatnya dan Kresna sama-sama tersentak dan saling melepaskan pelukan.
Alih-alih marah, Kresna justru tertawa. Sengatan bagai aliran listrik itu tak lagi menyakitkan baginya. Bahkan dirasa membuatnya sedikit geli. Ditatapnya Pinasti, yang tertunduk dengan wajah bersemu merah. Dielusnya kepala Pinasti dengan lembut.
“Kuharap aku masih bisa menyimpan semua ini dalam hatiku, Pin,” bisiknya lembut.
Pinasti hanya bisa mengangguk. Balas berbisik, “Sampai bertemu lagi, Mas...”
Kresna mengangguk juga dengan hati terasa entah. Dihelanya napas panjang.
“Yuk, pulang,” Kresna meraih tangan perawan sunti itu.
Dengan beriringan keduanya kembali ke pondok Paitun melalui bagian belakang.
* * *
Saijan mulai meluncurkan mobil jeep-nya beberapa saat sebelum matahari terbenam sempurna. Ia sudah beberapa kali berurusan dengan penemuan kembali orang yang pernah hilang di Gunung Nawonggo. Polisi yang terlibat dalam pengembalian orang hilang pada keluarganya sudah tak heran lagi dengan kemampuan ‘lebih’ yang dimiliki Saijan.
Laki-laki itu bersih sebersih-bersihnya walaupun diperiksa dengan cara apa pun. Ia hanya sekadar perantara pengembalian. Entah bagaimana pula caranya. Pada akhirnya, yang penting adalah ada orang hilang yang berhasil bertahan hidup dan bisa kembali pada keluarganya.
Pada sebuah pertigaan di kaki sebuah bukit, Saijan mengambil arah ke kiri. Masuk ke sebuah jalan tak beraspal yang terus menanjak. Ada beberapa rumah penduduk di kedua tepi jalan itu. Satu sama lain berjarak cukup jauh. Dan, jalur Sembrani dimulai di akhir jalan itu.
Ada sebuah pos pemangku hutan di ujung jalan itu. Saijan pun membelokkan jeep-nya masuk ke halaman pos itu. Begitu ia berhenti dan mematikan mesin mobil, seseorang keluar dari dalam pos serupa rumah tinggal itu.
“Pak Jalu!” sapa Saijan. “Selamat sore!”
Laki-laki bernama Jalu itu membalas sapaan Saijan dengan jabat tangan erat.
“Tumben mau masuk malam-malam begini, Pak Jan?”
“Iya, nih! Ada yang pesan biji dan kulit kedawung. Saya sibuk seharian tadi. Jadi baru bisa masuk sekarang. Boleh, kan, Pak Jalu?”
Saijan adalah salah satu dari beberapa pencari tumbuhan hutan untuk obat yang punya izin bebas untuk memasuki hutan Gunung Nawonggo. Maka Jalu pun mengangguk sambil berpesan agar Saijan berhati-hati. Saijan berpamitan setelah menitipkan mobilnya pada Jalu. Dengan berbekal sebuah helm bersenter yang bertengger di kepala dan peralatan yang cukup lengkap untuk bermalam di hutan, Saijan pun mulai memasuki jalan setapak yang dimulai di samping kanan pos penjagaan, mengarah masuk ke dalam hutan.
* * *
Suasana makan malam di sekeliling meja kecil itu berlangsung senyap. Berkali-kali Pinasti menghindari tatapan Kresna yang lebih banyak jatuh padanya. Jantungnya berdebar nyaris tak beraturan. Betapa dekatnya mereka pada ujung perpisahan.
Sedikit demi sedikit, Paitun mulai mengurai kesedihan yang menguar dalam ruangan itu. Pelan-pelan, energi kelabu yang mengambang di sekeliling mereka diserap dan dibuangnya jauh-jauh.
“Jadi kamu sudah siap untuk kembali, Kres?” Wilujeng mengulas senyum tipis.
Kresna mengangguk sambil melepaskan tatapannya pada wajah Pinasti. “Ya, Bu. Dengan seizin Nini tentunya.”
“Memang sudah waktunya bagimu untuk kembali,” timpal Paitun dengan nada ringan. “Gusti sudah menggariskan begitu.”
Kresna kembali mengangguk. Rasa rindu rumah itu pelan-pelan muncul dalam hatinya. Pada ayahnya. Pada Seta. Pada kehidupannya semula.
“Sekali lagi kukatakan, Kres, aku akan menghapus ingatanmu sebelum kamu kukembalikan lagi ke ‘atas’.
“Iya, Ni,” Kresna menanggapi dengan nada patuh.
Seusai makan, keempatnya duduk-duduk di beranda depan pondok Paitun. Nyai Sentini, Randu, Kriswo, dan Tirto pun datang bergabung. Ingin mengucapkan salam perpisahan pada Kresna. Paitun terus-menerus menyerap dan membuang energi kelabu yang membersit di sekitar, sehingga obrolan ringan mereka terasa menyenangkan.
Pada satu detik, Pinasti mulai menguap. Wilujeng menyuruhnya tidur, dan perawan sunti cantik itu pun menurut. Kresna sudah akan mengucap salam perpisahan, tapi Pinasti keburu masuk. Dihelanya napas panjang.
“Nah, Kres, waktunya sudah tiba,” ucap Paitun lembut. “Secepatnya kamu akan bertemu kembali dengan ibumu.”
Kresna mengangguk dengan berat. Ditatapnya Wilujeng. Perempuan itu memeluknya erat. Menciumi wajahnya beberapa kali tanpa berkata apa-apa.
“Kuambilkan tasmu,” Wilujeng kemudian berdiri.
“Biar aku saja, Bu,” Kresna buru-buru mencegah. “Biar kuambil sendiri.” Ia kemudian menatap Paitun. Terlihat malu-malu. “Ni..., mm... bolehkah aku... mencium Pinasti... untuk... terakhir kali?”
Paitun tersenyum. Ia mengangguk. Kresna pun buru-buru masuk dan melangkah ke bilik Wilujeng dan Pinasti, bersamaan dengan tangan kanan Paitun membuat lingkaran besar di udara dan meniup lingkaran itu. Pada detik itu juga, ingatan Pinasti tentang Kresna terhapus sempurna.
Kresna menarik napas panjang sebelum memantapkan langkah untuk masuk ke bilik. Pinasti tampak tergolek dengan wajah damai di atas pembaringan. Sehelai selimut katun putih menutupi sebagian tubuhnya. Pelan Kresna mendekatinya.
Sampai jumpa lagi, Cantik... Aku akan menunggumu...
Dengan sangat lembut, dikecupnya kening dan kedua pipi Pinasti.
Sementara itu, Pinasti yang sudah terlelap tengah memimpikan suasana indah padang bunga. Ia tak sendirian berada di sana. Ada seorang pangeran tampan menemaninya. Menganyam mahkota bunga dengan tangannya yang terampil. Lalu, pangeran tampan itu mencium lembut keningnya dengan penuh rasa sayang, sekaligus memahkotainya dengan rangkaian bunga indah.
Kresna melihat Pinasti tersenyum manis dalam tidurnya. Ia sungguh berharap, perawan sunti itu tengah memimpikannya. Dihelanya napas panjang sebelum keluar tanpa suara dari bilik itu.
Tanpa suara, Kresna mengambil ranselnya di bilik depan. Sejenak ia menatap berkeliling tempat itu. Tempat yang sudah memberinya kesempatan hidup yang kedua. Tak lama, ia pun melangkah kembali ke beranda depan. Siap tak siap, ia harus meninggalkan tempat itu.
“Akan ada yang menemukanmu nanti,” ucap Paitun begitu Kresna kembali duduk di sebelah Wilujeng. “Tirto akan mengantarmu.”
Kresna mengangguk sambil mulai berpamitan pada semua yang ada di situ, satu demi satu. Terakhir, dipeluknya Wilujeng.
“Aku pulang dulu, Bu,” bisiknya. “Sampai bertemu lagi.”
Wilujeng mengangguk sambil melepaskan pelukannya. Paitun mengulurkan tangannya pada Kresna. Pemuda itu pun menyambut jabat tangan hangat Paitun. Tapi begitu tangannya ada dalam genggaman tangan Paitun, kegelapan menyergapnya. Ia lunglai begitu saja, tapi dengan cepat ditangkap oleh Tirto.
Tirto segera menggendong Kresna, sedangkan Wilujeng cepat-cepat mengikatkan ransel Kresna pada punggung kukuh Janggo. Setelah berpamitan, keduanya pun menghilang dalam kegelapan malam.
Sepeninggal Tirto dan Janggo, secara tersamar, tangan Paitun mengelus punggung Wilujeng. Perempuan itu terlihat sedikit tersentak. Sedetik kemudian ia mengerjapkan mata.
“Mana ubi kukusnya?” celetuk Paitun tiba-tiba.
“Oh, iya! Sebentar kuambilkan dulu.”
Wilujeng dengan cepat melangkah masuk ke dalam pondok. Ingatannya akan keberadaan Kresna selama beberapa hari di Bawono Kinayung pun sudah terhapus sempurna.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Sampai jumpa juga, Mas Kresna.
BalasHapusGood post mbak
BalasHapusKaet ae jektas isa mampir aq mb Lis.
BalasHapusGae aq cerbunge pean the best kabe.
Tapie iq seng paling soro best e.
Sumpa takjub aq mb Lis !